Minggu, 19 April 2015

Minus dan Plus



Hai, namaku Mizan. Tepatnya Mizana Zain. Indah, bukan, namaku? Kata Ayah, arti namaku adalah “hiasan timbangan”. Belakangan aku tahu maksud dari namaku adalah amal baik yang menghiasi timbangan amal di hari perhitungan nanti. Sungguh aku kagum pada Ayah karena telah memberiku nama yang demikian indah dan sarat akan makna.

Kagum sekaligus cemas.

Hidup ini sangat sulit, ya? Aku tak habis pikir kenapa Tuhan memberiku jalan hidup yang bagiku sangat tidak masuk akal. Kenapa minus ditambah minus? Kenapa tidak saja plus ditambah plus?

Saat ini aku sedang menunggu senja mengantarkan hidangan dari langit padaku. Aku puasa, dan kini aku sedang menunggu azan sembari mangkal  di depan masjid agung. Aku puasa sunnah awal Rajab. Ayah dan Ibu telah membiasakan ibadah sunnah ini padaku sejak aku baru akil baligh dulu. Katanya sih agar kita dapat mengendalikan kehendak buruk dalam diri dan belajar berempati pada saudara sesama yang dalam keadaan lapar.

Empati? Bukankah keluargaku juga termasuk dalam “saudara sesama yang harus di-empati-kan”? Ah, aku bosan!

Aku bosan hidup seperti ini. Hidupku datar-datar saja, tak ada warna. Jauh berbeda dengan kehidupan temanku yang lain. Saat mereka sibuk eksis di sosial media melalui gadget cerdas, aku masih setia dengan ponsel yang nyaris tanpa kamera. Paling istimewa adalah fitur radio. Saat mereka eksis hangout ke mall atau bookstore pulang sekolah, aku sudah di rumah berkutat dengan ulenan tapioka dan terigu. Saat mereka bermotor matic keren ke sekolah, aku masih saja bertahan dengan gerobak cimol yang kudorong dengan ayah selepas asar sampai menjelang isya. Saat mereka...

“Mimi, kenapa bengong begitu? Kamu sakit, Nak?” Wajah ayah yang tiba-tiba muncul di hadapanku memecahkan lamunanku seketika.

“Eh, tidak, Ayah. Mizana tidak sakit.” Jawabku sekenanya.

“Ayo siap-siap, sebentar lagi azan maghrib.” Ajak ayah. Aku lalu bangkit dari dudukku setelah lelah melayani pelanggan yang lumayan lebih banyak dari hari biasanya. Sebelum azan berkumandang kami membersihkan gerobak cimol. Melap bagian-bagian yang kotor. Samar kudengar napas ayah mendengus, sepertinya ayah sudah lelah. Beberapa bagian di bajunya tampak basah oleh keringat. Kutatap dalam-dalam wajah ayah. Ada garis waktu yang tergurat kasar disana.

Setelah azan, berbuka, dan solat berjamaah di masjid ayah memutuskan untuk langsung pulang karena cimol yang kami jual sudah laku semua, padahal kami membuatnya lebih banyak dari sebelumnya. Insya Allah kami mendapat rezeki lebih hari ini. Alhamdulillah.
Kami berjalan menjauh dari mega yang perlahan berubah menjadi hitam pekat di arah barat. Pelan sekali langkah kami.

“Mimi...” Panggil ayah.

“Ya, Ayah?” Jawabku seraya menoleh pada ayah di sampingku.

“Mimi, jangan remehkan apa pun yang kita miliki saat ini. Sejak ibumu tiada dulu, cinta Ayah semakin besar padamu, Nak.” Ucap ayah. Perkataan ayah itu menyadap perbincangan keluhanku pada-Nya.

“Iya, Ayah.” Aku tak mampu menjawab lebih dari kalimat itu. Hanya itu yang bisa kubalas.

“Maafkan Ayah telah mengajakmu lelah dan berkeringat seperti ini, ya?” Ucapnya pelan.

“Ayah?” Aku kaget. Sungguh, lidahku kelu untuk menjawab lebih banyak.

“Maafkan Ayah, Nak.” Ucapnya lagi. Sakit hatiku mendengarnya.

“Jangan katakan itu, Ayah.” Ada basahan yang merembes dari mataku.

Malam itu, selepas kami solat isya berjamaah, Ayah bercerita banyak hal; bahwa tak ada ujung bagi sebuah ikhtiyar. Karena hidup adalah rangkaian ikhtiyar yang tawakal menjadi pengingatnya. Dalam garis takdir, kita berjalan dengan beragam aral yang berbeda satu sama lain. Itu garis tetap, lurus dan tak dapat dibelokkan. Segala sesuatu yang kita miliki bukan untuk kita hitung, melainkan untuk kita syukuri. Bukankah di masa muda, Rasulullah tidak bersenang-senang sebagaimana pemuda lainnya? Bukankah Rasulullah justru lelah bersimbah keringat, menggembala domba milik orang lain, menjadi pedagang, sampai beliau berani menerima tawaran Sayyidah Khadijah untuk menjadi qawwamnya? Sungguh potongan masa muda yang amat ‘berat’.

Di atas kasur lapuk dan berbantal kapuk usang, aku menakar waktu. Bukankah minus ditambah minus justru akan menjadi plus? Suatu upaya yang berbeda jika plus ditambah plus.

Ayah, dekap aku selalu dalam doamu.

Sabtu, 14 Maret 2015

Pembiasaan

Untuk tenang dalam satu situasi, hal pertama yang paling dibutuhkan adalah sikap pembiasaan. Satu hal yang terus diulang dengan interval pendek dan pengulangan yang tetap di satu situasi, akan menimbulkan represi terus menerus terhadap gejolak dalam diri. Namun pembiasaan akan satu hal lain akan membuat gejolak tersebut melemah dan kebiasaan baru yang dikehendaki akan lebih mudah dilakukan.

Contohnya saja, seseorang yang nyaris setiap hari meninggalkan solat Subuh lantaran begadang sepanjang malam dan menyebabkannya terlambat bangun pagi. Ia perlu pembiasaan ekstra dan kemauan kuat untuk mengkompromikan dirinya dengan konsekuensinya sebagai hamba Tuhan, yakni melaksanakan kewajiban Solat. Ia juga harus memejamkan mata dengan rapat dan erat, membunuh dengan tega kehendak diri yang bergejolak melawan pembiasaan yang tengah dilakukan. Di pagi-pagi selanjutnya, secara perlahan, ia harus berupaya untuk memulai kebiasaan barunya dengan 'perlakuan' yang santai namun terus menerus, sehingga gejolak yang semula sangat kuat melawan, pada akhirnya akan lemah. Dan ia pun akan terbiasa bangun pagi dengan melaksanakan kewajiban solat Subuh.

Contoh lagi, seseorang yang tidak terbiasa dengan aktifitas mencuci pakaiannya sendiri dan membebani sepenuhnya kepada pembantu, ia akan stres dengan cucian kotor yang menumpuk saat pembantu pulang kampung atau sedang sakit. Ini tidak akan terjadi jika ia mencuci semampunya dan sebagian lain dibantu oleh si pembantu.

Contoh lain, banyak ibu-ibu yang bingung dan kewalahan dengan anak-anaknya yang tidak suka mengkonsumsi sayur dan hobi makan makanan instant atau snack. Ada kegalauan tersendiri bagi ibu-ibu ini, mengingat kebiasaan buruk menghindari konsumsi sayur dan menyukai makanan instant dibayangi dengan seabrek penyakit mematikan yang telah menunggu di usia sekian kelak. Kalau sang ibu membiasakan anak sejak bayi memakan masakan alami yang ibu olah, tanpa vetsin, tanpa bumbu instant, dan membiasakan anak untuk tidak ngemil jajanan snack berpengawet, maka hal mengkhawatirkan di atas tidak akan terjadi. Sebab logikanya, lidah anak sejak bayi akan menyukai apa saja yang ibunya berikan. Dan setelah itu kita tahu apa konsekuensinya, kebiasaan akan terjadi dan untuk melakukan pembiasaan lain akan sulit dilakukan.

Anak muda yang terbiasa dengan kehidupan mewah, konsumtif, foya-foya, bersenang-senang, dan bermanja-manja, yang lupa bahwa masa tua akan segera tiba dengan setumpuk kewajiban yang harus dipenuhi, mereka akan kaget begitu masa tua datang dengan beragam situasi yang sulit dikendalikan. Saat krisis finansial, misalnya, mereka akan sulit mengendalikan diri dan menumpahkan kegalauannya dengan mengutuk takdir. Mereka lupa bahwa masa muda yang mereka lalui adalah masa kesenangan yang berlebihan.

Banyak hal yang harus kita ubah. Untuk mengubahnya, bukan serta merta 'menghancurkan' bangunan yang sudah ada dengan alat berat. Melainkan menambalnya dengan bahan-bahan konstruksi yang baru sedikit demi sedikit sampai bangunan yang semula tidak kokoh dan buruk rupa penuh lumut, akan kokoh dan indah.

Banyak hal yang harus kita ubah. Mengubahnya dengan interval pendek dan dalam jangka waktu yang tak boleh berakhir. Mengubah keadaan dan membunuh dengan tega perasaan gentar yang penuh gejolak. Anggap saja ikan di atas adalah kebiasaan buruk kita. Ya, demi memakan makanan yang alami dan bergizi, kita memang harus tega membunuh ikan lucu itu dengan sayatan yang tak kecil! Daripada memakan makanan simsalabim tapi penyakitnya simsalabim juga?

Bismillaah... Bi Idznillaah... Namsyi 'ala Barakatillaah... :)

Kamis, 12 Maret 2015

Negeri Asing

Raja Ampat,Google
Bosan. Aku tak dapat mendefinisikan suasana yang telah lama berlangsung di negeri ini selain dengan kata "Bosan". Hanya itu!

Negeri ini terlahir dari rahim Waktu sejak 21 tahun yang lalu dan terasing karena ia termasuk dalam salah satu gugusan pulau terpencil di bumi. Di sepanjang usianya yang kini telah renta aku hanya dapat menyaksikan manusia hilir mudik melintas di atas lintasan air bernama lautan dari pinggir pantai nan berpasir pasi ini.
Sebenarnya aku juga ingin seperti mereka, menggunakan perahu memecah lautan meninggalkan jejak-jejak buih kesementaraan. Ah, tapi sayang... Aku tak punya perahu. Negeriku belum menyediakan perahu, untukku yang menjadi satu-satunya penghuni asli di sini.
Suasana Haul di Sukorejo, Fb. K. Azaim
Benar atau tidak, bagiku tidak ada perbedaan antara masa lalu, saat ini, dan masa depan jika semua masa dilalui hanya di satu tempat. Kau tak akan mengalami beragam perasaan dan sensasi saat kau singgah di satu pulau ke pulau lain sampai kau meraih satu fase untuk menopang kematangan pribadimu, pun kau tak akan punya cerita menarik untuk kau ceritakan pada anak-anakmu selain cerita tentang kebosanan. Aku tengah membaca situasi itu saat ini, yang benar-benar kualami. Syahdan, betapa perihnya hati setiap melihat suka cita orang-orang nomaden yang datang silih berganti mengunjungi negeri ini dengan beragam maksud, sementara aku sebagai anak pulau hanya diam, melukis khayalan di langit yang tak terbentang, tanpa tahu kelak ia dapat diwujudkan atau tidak.
Bosan, koleksi pribadi
Maka biarkan aku menceritakan, lebih lanjut, lebih mendalam, bahwa kebosanan telah memenjaraku ke atas sebuah menara tertinggi. Semakin detik itu bergerak, semakin tinggi menara ini. Semakin tinggi hingga nyaris membuatku putus komunikasi dari sesuatu selain diriku. Bayangkan segera... Bagaimana jika kita bertukar cerita, aku di tempatmu dan kau di tempatku? Bayangkan dan dengarkan aku bercerita banyak hal padamu...

Aku ingin pergi dari sini, sejauh-jauhnya, untuk kembali membawa beragam impian yang tak hanya khayalan lagi...
Raja Ampat, google

Minggu, 01 Februari 2015

Catatan Perjalanan Ke Kampus Fiksi Roadshow Surabaya (Bagian 2)


Kau tahu? Waktu adalah ciptaan Tuhan yang di dalamnya diakumulasi percakapan manusia dari setiap partikel sejarah. Sederet saja kisah heroik kita berdua, itu hanya pecahan dari titik kecil atom yang kita endapkan di luas penciptaan-Nya. Dan seluruh tenaga upaya yang kita miliki sejatinya adalah pinjaman yang harus segera kita persiapkan untuk kita kembalikan kepada Pemiliknya.
***

Pukul 08.35, setelah Damri berdesakan di tengah lalu lintas kota Surabaya yang padat, akhirnya kami tiba di sebelah jembatan penyeberangan yang tak jauh dari Tunjungan Plaza. Kami menyeberangi jembatan baja itu, terkekeh sembari melupakan persendian kami yang mulai lelah. Benar saja aku melangkahkan kaki, tapi di ruang lain jiwaku telah duduk, menemukan tempat nyaman di ruangan acara yang kubayangkan megah itu. 


Setelah bertanya kesana kemari, akhirnya kami menemukan tempat yang kami tuju. Sebuah bangunan gedung yang cukup besar dengan arsitektur kuno yang sepertinya telah direnovasi menjadi semi modern. Begitu kami masuk ke halaman gedung itu, ada keramaian yang tampaknya sebuah pertunjukan. Pertunjukan Reog. Kami lalu ke sisi lain gedung itu. Rupanya benar, aku melihat beberapa orang menggunakan kaos hitam, jersey Kampus Fiksi, tengah sibuk berlalu lalang mempersiapkan acara Kampus Fiksi Roadshow yang masih sejam lagi akan dimulai. 

Kami masuk. Peserta yang datang tak sampai sepuluh orang. Asyik! Sepertinya kami tidak akan lesehan, lebih-lebih diusir seperti yang kubayangkan sebelumnya. Satu persatu peserta berdatangan. Aku segera ke bagian akomodasi untuk ‘mendaftarkan diri’. Hehee...

“Iya, tidak apa-apa, Mbak. Tapi kami hanya menyediakan kupon untuk 200 orang. Kalau peserta yang hadir kurang dari 200, kami akan masukkan Mbak dan dua temannya.” Jawab salah satu panitia begitu aku ‘mendaftarkan diri’. 

“Oh, baik, Mbak. Terima kasih banyak, ya?” Balasku.

“Iya, sama-sama.” Jawabnya lagi.

Sekedar untuk melihat suasana, kami keluar dari ruang acara dan duduk di beranda di sebelah seorang perempuan berjilbab. Perempuan yang belakangan kuketahui adalah Ibu muda itu tersenyum.

“Permisi,” sapaku. 

“Iya, silakan. Eh, Mbak sudah daftar jauh hari, ya?” Tanya perempuan bernama Ria itu padaku.

“Nggak. Saya baru saja mendaftarkan diri, tapi kata Panitia masih nunggu peserta kurang dari 200 orang, lalu kami baru bisa masuk daftar peserta. Kalau Mbak sendiri?” Jawabku. 

“Oya? Kalau begitu sama! Kita senasib!” Serunya antusias.

Alhamdulillah kami punya teman senasib. “You never walk alone” kata Liverpool. Kami pun saling bertukar cerita. Tak berapa lama kemudian, seorang panitia berpipi gembil menghampiri kami. 

“Permisi, Mbak. Tadi sampeyan yang mau daftar, ya?” Tanya perempuan itu.

“Iya,” Kami berempat menjawab hampir bersamaan dibarengi dengan cekikikan.

“Ini ada kursi kosong, kebetulan empat. Mbak bisa tulis nama, email, dan tanda tangan disini, dan nanti Mbak ambil kupon buku gratis dan kupon makan di panitia.” Kata perempuan itu sembari menyerahkan pada kami selembar kertas absensi.

Wuw... Wuw... Wuw...!!! 

Aku tahu kami berempat bertepuk tangan di dalam hati. Asyiiiiiik...!!! Tak sampai lima menit kertas itu telah kami isi data diri kami.

“Mbak siapa namanya?” Tanya perempuan imut itu padaku. 

“Saya Zyadah.”

“Saya Ve, Avifah Ve. Mbak dari mana, ya?” Oalah, ini yang dua minggu lalu kuhubungi itu.

“Oh, sampeyan Mbak Ve yang dua minggu saya telepon itu, ya? Saya Zyadah dari Situbondo, yang tanya pendaftaran acara ini kemarin? Masih ingat?” Tanyaku panjang lebar. 

“Oh, ya, saya masih ingat. Wah, jauh banget, ya? Tapi sampai juga kesini. Alhamdulillah...” Mbak Ve mengangguk cepat dan tertawa. Kami pun berbincang singkat. Dan setelah itu, pukul 10 kurang kami masuk ke ruang acara karena acara akan segera dimulai. Tidak sia-sia rupanya aku datang lebih awal ke tempat ini. Baiklah! Acara pun dimulai. 

Detik itu aku baru tahu kalau acara Kampus Fiksi Roadshow ini merupakan kerjasama yang diadakan oleh UNSA (UNtuk SAhabat), sebuah komunitas menulis Surabaya, dengan Penerbit Diva Press Jogjakarta. Hal ini tidak dijelaskan di pamflet pengumuman, so, aku baru tahu.

Selama acara berlangsung, aku tidak detail menyimaknya. Pikiranku tidak konsentrasi. Yang jelas aku sudah tahu, yang sejak awal berdiri di depan adalah orang-orang bernama Mas Ridho, Mbak Jazim, Mas Aji Sidik, Mas Widya, Mas Ken Hanggara, Bella Vanilla, dan ini, Pak Edi Mulyono, sosok yang berani-beraninya bikin pikiranku tidak konsentrasi.

Perlu diketahui, bahwa tujuanku ke tempat ini bukan untuk belajar menulis yang utama. Lebih dari itu, aku ingin berterima kasih secara langsung kepada orang yang telah memberi teladan berharga kepadaku melalui waqaf bukunya yang tumpah satu truk ke desa kami. Ah, ini bukan pujian. Ini bukan Fiksi seperti kampusnya yang Kampus Fiksi itu. Ini beneran nyata. Aku mengenal sosoknya yang nyentrik itu dari seorang Kiai sekaligus Penulis dari Sumenep Madura, yang juga nyentrik, Kiai Muhammad Faizi namanya. Itulah yang ‘mengantarkanku’ jauh-jauh datang ke Surabaya. 

Berlebihan, ya? Kurasa tidak.
Pukul 12 siang, acara berhenti sejenak, dijeda istirahat selama 45 menit. Kami dan para peserta menukar kupon makan di meja panitia. Setelah makan, sambil menunggu Kak Afuf dan Hurin solat, aku berjalan melihat-lihat pertunjukan Reog yang masih berlangsung di halaman Gedung Balai Pemuda. Bosan, aku meninggalkan keramaian itu. Tak jauh dari situ, aku melihat Pak Edi Mulyono sedang berdiri sibuk dengan gadgetnya, bersandar pada tiang  kokoh penyanggah bangunan gedung. 

Aku terus berjalan, mendekatinya.
“Assalamu alaikumm, Pak.” Sapaku. Lelaki yang mengenakan jersey hitam Kampus Fiksi, celana skinny jeans, sepatu sneakers, dan berambut klimis itu menoleh. Sepertinya aku telah mengganggunya.

Seketika itu, dunia bergerak terasa sangat lambat. Sekelilingku menjadi blur. #Gombal, ah
“Waalaikum salam.” Jawabnya dengan seulas senyum. 

“Maaf, apa Bapak mengingat saya?” Tanyaku narsis. Ekspresi wajah Pak Edi berubah, seperti berusaha mengingat sesuatu namun gagal.

“Ehmm... Iya, ehmm...” 

“Saya yang kemarin inbox menyapa Bapak di Facebook. Nama saya Zyadah Khairoh.” Imbuhku. Ah, kebiasaan nih, ga mungkin ingat, Zyadah. Ga mungkin ingat! 

“Oh, iya, ingat,” Jawab beliau langsung, masih dengan seulas senyum. Ah, bohong. Masa sih? “Jam berapa sampai?” lanjutnya.

“Tadi pagi jam enam, Pak. Dari terminal langsung kesini.” Aku menjawab dengan gugup. Grogi.

“Oh, iya. Sudah makan siang?” Wuih, pertanyaan yang benar-benar so sweet. #eh

“Iya, sudah barusan,” Aku menunduk, mengingat-ingat kalimat apa yang akan kusampaikan setelah kurancang dari kemarin. “Ehm, saya ingin berterima kasih kepada Bapak.” Kataku akhirnya.

“Oh, iya, soal apa, ya?” tanya beliau dengan raut muka penasaran. Bah... belum tahu dia. Hehee.

“Saya dan teman-teman di rumah sudah menerima banyak sumbangan buku dari Bapak, melalui Kiai Faizi.” Jawabku terus terang.

“Lho, kok tahu Kiai Faizi?” Lelaki di hadapanku itu kaget.

“Iya, beliau itu guru saya.”

“Oh, begitu? Iya, iya, Kiai Faizi juga guru saya. Saya banyak belajar kepada Beliau. Beliau juga sangat alim dan rendah hati.” Ujarnya.

“Oh, iya, iya. Beliau banyak bercerita tentang Bapak. Kemudian beliau menawarkan saya buku hibah dari Penerbit Diva Press, saya menerima tujuh kardus dan teman-teman senang semua.” Jawabku dengan, lagi-lagi masih gugup. Biasa, cah... Kopdar pertama!

“Alhamdulillah kalau senang. Ambil yang bermanfaat saja. Saya juga tidak tahu buku-buku yang kami hibahkan, semua genre nyampur.” Tukasnya.

“Iya, tidak apa-apa. Alhamdulillah. Terima kasih banyak, Pak.”

“Iya, sama-sama,” setelah tak ada lagi yang kami obrolkan, “Kalau begitu mari masuk, sebentar lagi materi saya.” Percakapan kami pun berakhir. Aku melangkah duluan untuk masuk ke ruang acara.

Jarum jam menunjukkan 12.50. Para peserta Kampus Fiksi telah duduk di kursi masing-masing, kami telah siap menerima materi selanjutnya yang akan disampaikan langsung oleh Bapak Edi Mulyono atau yang lebih dikenal dengan Edi Akhiles, CEO Penerbit Diva Press.


Aku menghembuskan napas lega. Tujuanku sudah tercapai. Dan, tiba saatnya untuk mengikuti pengajian kitab Taklimul Muta’allim, maksudku pelatihan menulis. Hahaa... Maklum saja, dari saking seringnya aku mengikuti pelatihan nulis seperti ini, aku sampai kenyang blass. Penyakit malas stadium tiga yang mengeksekusi dari pengajian langsung kepada Pipiet Senja, Gol A Gong, sampai Habiburrahman El Shirazy! Astaghfirullaaaahh... Tobat, Nak... Tobat! Ah, tapi semoga setelah ini aku bisa beli truk besar semacam Fuso buat ngelindes penyakit aneh itu. Diamini lho, ya!
Begitu acara usai, kami, sebagaimana lazimnya sebuah pertemuan dengan penulis hebat, mengantre—aku ambil antrean yang terakhir—untuk minta tanda tangan penulis di buku “Silabus Menulis Fiksi dan Non Fiksi” yang gratis dibagikan tadi dan “Andai Aku Jalan Kaki” yang baru kubeli kemarin lusa di koperasi pesantren. Tak lupa kami meminta foto bersama dengan Penulis, kapan-kapan jika ada kesempatan, aku masih ingin foto bersama dengan Kiai yang mengenalkanku pada penulis keren ini. Ah, ya, aku memberi Beliau sebuah buku berbahasa Arab yang kubungkus dengan amplop cokelat, sebagai kenang-kenangan, setidaknya agar aku tak mudah untuk dilupakan olehnya.
 ***
Sore itu, sambil menyusuri trotoar kota Surabaya, kami berdecak kagum akan banyak hal yang telah Tuhan hidangkan kepada kami. Mendung yang tebal ketika itu meluruhkan air hujan yang melimpah, mengguyur penat. Dengan membayar ongkos Rp. 20.000 untuk tiga orang, kami membeli tenaga kakek tua mengayuh pedal becaknya untuk mengantarkan kami ke Sunan Ampel, lalu bermalam di rumah kawan Ibuku yang tak jauh dari Sunan Ampel, untuk pulang esok harinya.