Kau tahu?
Waktu adalah ciptaan Tuhan yang di dalamnya diakumulasi percakapan manusia dari
setiap partikel sejarah. Sederet saja kisah heroik kita berdua, itu hanya
pecahan dari titik kecil atom yang kita endapkan di luas penciptaan-Nya. Dan
seluruh tenaga upaya yang kita miliki sejatinya adalah pinjaman yang harus segera
kita persiapkan untuk kita kembalikan kepada Pemiliknya.
***
Pukul 08.35, setelah Damri
berdesakan di tengah lalu lintas kota Surabaya yang padat, akhirnya kami tiba di
sebelah jembatan penyeberangan yang tak jauh dari Tunjungan Plaza. Kami
menyeberangi jembatan baja itu, terkekeh
sembari melupakan persendian kami yang mulai lelah. Benar saja aku melangkahkan
kaki, tapi di ruang lain jiwaku telah duduk, menemukan tempat nyaman di ruangan
acara yang kubayangkan megah itu.
Setelah bertanya kesana kemari,
akhirnya kami menemukan tempat yang kami tuju. Sebuah bangunan gedung yang
cukup besar dengan arsitektur kuno yang sepertinya telah direnovasi menjadi
semi modern. Begitu kami masuk ke halaman gedung itu, ada keramaian yang
tampaknya sebuah pertunjukan. Pertunjukan Reog. Kami lalu ke sisi lain gedung
itu. Rupanya benar, aku melihat beberapa orang menggunakan kaos hitam, jersey Kampus Fiksi, tengah sibuk
berlalu lalang mempersiapkan acara Kampus Fiksi Roadshow yang masih sejam lagi
akan dimulai.
Kami masuk. Peserta yang datang tak
sampai sepuluh orang. Asyik! Sepertinya kami tidak akan lesehan, lebih-lebih
diusir seperti yang kubayangkan sebelumnya. Satu persatu peserta berdatangan.
Aku segera ke bagian akomodasi untuk ‘mendaftarkan diri’. Hehee...
“Iya, tidak
apa-apa, Mbak. Tapi kami hanya menyediakan kupon untuk 200 orang. Kalau peserta yang hadir kurang dari 200, kami akan masukkan Mbak dan dua
temannya.” Jawab salah satu panitia begitu aku ‘mendaftarkan diri’.
“Oh, baik, Mbak. Terima kasih
banyak, ya?” Balasku.
“Iya, sama-sama.” Jawabnya lagi.
Sekedar untuk melihat suasana, kami
keluar dari ruang acara dan duduk di beranda di sebelah seorang perempuan
berjilbab. Perempuan yang belakangan kuketahui adalah Ibu muda itu tersenyum.
“Permisi,” sapaku.
“Iya, silakan. Eh, Mbak sudah daftar
jauh hari, ya?” Tanya perempuan bernama Ria itu padaku.
“Nggak. Saya baru saja mendaftarkan
diri, tapi kata Panitia masih nunggu peserta
kurang dari 200 orang, lalu kami baru bisa masuk daftar peserta. Kalau Mbak
sendiri?” Jawabku.
“Oya? Kalau begitu sama! Kita
senasib!” Serunya antusias.
Alhamdulillah kami punya teman
senasib. “You never walk alone” kata
Liverpool. Kami pun saling bertukar cerita. Tak berapa lama kemudian, seorang
panitia berpipi gembil menghampiri
kami.
“Permisi, Mbak. Tadi sampeyan yang mau daftar, ya?” Tanya
perempuan itu.
“Iya,” Kami berempat menjawab hampir
bersamaan dibarengi dengan cekikikan.
“Ini ada
kursi kosong, kebetulan empat. Mbak bisa tulis nama, email, dan tanda tangan
disini, dan nanti Mbak ambil kupon buku gratis dan kupon makan di panitia.”
Kata perempuan itu sembari menyerahkan pada kami selembar kertas absensi.
Wuw... Wuw... Wuw...!!!
Aku tahu kami berempat bertepuk
tangan di dalam hati. Asyiiiiiik...!!! Tak
sampai lima menit kertas itu telah kami isi data diri kami.
“Mbak siapa namanya?” Tanya
perempuan imut itu padaku.
“Saya Zyadah.”
“Saya Ve, Avifah Ve. Mbak dari mana,
ya?” Oalah, ini yang dua minggu lalu
kuhubungi itu.
“Oh, sampeyan Mbak Ve yang dua minggu saya telepon itu, ya? Saya Zyadah dari
Situbondo, yang tanya pendaftaran acara ini kemarin? Masih ingat?” Tanyaku
panjang lebar.
“Oh, ya, saya masih ingat. Wah, jauh
banget, ya? Tapi sampai juga kesini.
Alhamdulillah...” Mbak Ve mengangguk cepat dan tertawa. Kami pun berbincang
singkat. Dan setelah itu, pukul 10 kurang kami masuk ke ruang acara karena
acara akan segera dimulai. Tidak sia-sia rupanya aku datang
lebih awal ke tempat ini. Baiklah! Acara pun dimulai.
Detik itu aku baru tahu kalau acara
Kampus Fiksi Roadshow ini merupakan kerjasama yang diadakan oleh UNSA (UNtuk SAhabat),
sebuah komunitas menulis Surabaya, dengan Penerbit Diva Press Jogjakarta. Hal ini tidak dijelaskan di pamflet
pengumuman, so, aku baru tahu.
Selama acara
berlangsung, aku tidak detail menyimaknya. Pikiranku tidak konsentrasi. Yang jelas
aku sudah tahu, yang sejak awal berdiri di depan adalah orang-orang bernama Mas
Ridho, Mbak Jazim, Mas Aji Sidik, Mas Widya, Mas Ken Hanggara, Bella Vanilla,
dan ini, Pak Edi Mulyono, sosok yang
berani-beraninya bikin pikiranku tidak konsentrasi.
Perlu diketahui, bahwa tujuanku ke
tempat ini bukan untuk belajar menulis yang utama. Lebih dari itu, aku ingin
berterima kasih secara langsung kepada orang yang telah memberi teladan berharga
kepadaku melalui waqaf bukunya yang
tumpah satu truk ke desa kami. Ah, ini bukan pujian. Ini bukan Fiksi seperti kampusnya
yang Kampus Fiksi itu. Ini beneran nyata.
Aku mengenal sosoknya yang nyentrik itu
dari seorang Kiai sekaligus Penulis dari Sumenep Madura, yang juga nyentrik, Kiai Muhammad Faizi namanya. Itulah yang ‘mengantarkanku’
jauh-jauh datang ke Surabaya.
Berlebihan, ya? Kurasa tidak.
Pukul 12 siang, acara berhenti
sejenak, dijeda istirahat selama 45 menit. Kami dan para peserta menukar kupon
makan di meja panitia. Setelah makan, sambil menunggu Kak Afuf dan Hurin solat,
aku berjalan melihat-lihat pertunjukan Reog yang masih berlangsung di halaman
Gedung Balai Pemuda. Bosan, aku meninggalkan keramaian itu. Tak jauh dari situ,
aku melihat Pak Edi Mulyono sedang berdiri sibuk dengan gadgetnya, bersandar pada tiang
kokoh penyanggah bangunan gedung.
Aku terus berjalan, mendekatinya.
“Assalamu alaikumm, Pak.” Sapaku. Lelaki
yang mengenakan jersey hitam Kampus
Fiksi, celana skinny jeans, sepatu sneakers, dan berambut klimis itu
menoleh. Sepertinya aku telah mengganggunya.
Seketika
itu, dunia bergerak terasa sangat lambat. Sekelilingku menjadi blur. #Gombal,
ah
“Waalaikum salam.” Jawabnya dengan
seulas senyum.
“Maaf, apa Bapak mengingat saya?”
Tanyaku narsis. Ekspresi wajah Pak Edi
berubah, seperti berusaha mengingat sesuatu namun gagal.
“Ehmm... Iya, ehmm...”
“Saya yang kemarin inbox menyapa
Bapak di Facebook. Nama saya Zyadah Khairoh.” Imbuhku. Ah, kebiasaan nih, ga mungkin ingat, Zyadah. Ga mungkin
ingat!
“Oh, iya,
ingat,” Jawab beliau langsung, masih dengan seulas senyum. Ah, bohong. Masa sih? “Jam berapa sampai?” lanjutnya.
“Tadi pagi jam enam, Pak. Dari terminal
langsung kesini.” Aku menjawab dengan gugup. Grogi.
“Oh, iya. Sudah makan siang?” Wuih, pertanyaan yang benar-benar so sweet. #eh
“Iya, sudah barusan,” Aku menunduk,
mengingat-ingat kalimat apa yang akan kusampaikan setelah kurancang dari
kemarin. “Ehm, saya ingin berterima kasih kepada Bapak.” Kataku akhirnya.
“Oh, iya, soal apa, ya?” tanya
beliau dengan raut muka penasaran. Bah...
belum tahu dia. Hehee.
“Saya dan
teman-teman di rumah sudah menerima banyak sumbangan buku dari Bapak, melalui
Kiai Faizi.” Jawabku terus terang.
“Lho, kok tahu Kiai Faizi?” Lelaki
di hadapanku itu kaget.
“Iya, beliau itu guru saya.”
“Oh, begitu?
Iya, iya, Kiai Faizi juga guru saya. Saya banyak belajar kepada Beliau. Beliau
juga sangat alim dan rendah hati.” Ujarnya.
“Oh, iya, iya. Beliau banyak
bercerita tentang Bapak. Kemudian beliau menawarkan saya buku hibah dari Penerbit
Diva Press, saya menerima tujuh kardus dan teman-teman senang semua.” Jawabku
dengan, lagi-lagi masih gugup. Biasa,
cah... Kopdar pertama!
“Alhamdulillah
kalau senang. Ambil yang bermanfaat saja. Saya juga tidak tahu buku-buku yang
kami hibahkan, semua genre nyampur.”
Tukasnya.
“Iya, tidak apa-apa. Alhamdulillah.
Terima kasih banyak, Pak.”
“Iya, sama-sama,” setelah tak ada
lagi yang kami obrolkan, “Kalau begitu mari masuk, sebentar lagi materi saya.”
Percakapan kami pun berakhir. Aku melangkah duluan
untuk masuk ke ruang acara.
Jarum jam menunjukkan 12.50. Para
peserta Kampus Fiksi telah duduk di kursi masing-masing, kami telah siap
menerima materi selanjutnya yang akan disampaikan langsung oleh Bapak Edi
Mulyono atau yang lebih dikenal dengan Edi Akhiles, CEO Penerbit Diva Press.
Aku menghembuskan napas lega.
Tujuanku sudah tercapai. Dan, tiba saatnya untuk mengikuti pengajian kitab Taklimul Muta’allim,
maksudku pelatihan menulis. Hahaa... Maklum
saja, dari saking seringnya aku
mengikuti pelatihan nulis seperti
ini, aku sampai kenyang blass. Penyakit
malas stadium tiga yang mengeksekusi dari pengajian
langsung kepada Pipiet Senja, Gol A Gong, sampai Habiburrahman El Shirazy! Astaghfirullaaaahh... Tobat, Nak... Tobat! Ah,
tapi semoga setelah ini aku bisa beli truk besar semacam Fuso buat ngelindes
penyakit aneh itu. Diamini lho, ya!
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjVDm7aBFUKYnAE7IM7q0hZA8Yh0FuRIAxtcRvHLvfe_psjwvWOwib-aHo-qi34I-VG2NsvOxj-Hm9mi3qYrhBwdrFVadYRpzoUa5p50Mjge6FPstoCDKlXYB61HtwQmCAvCiIwh3_IN8xx/s1600/Foto-0058.jpg)
Begitu acara usai, kami, sebagaimana
lazimnya sebuah pertemuan dengan penulis hebat, mengantre—aku ambil antrean
yang terakhir—untuk minta tanda tangan penulis di buku “Silabus Menulis Fiksi
dan Non Fiksi” yang gratis dibagikan tadi dan “Andai Aku Jalan Kaki” yang baru
kubeli kemarin lusa di koperasi pesantren. Tak lupa kami meminta foto bersama
dengan Penulis, kapan-kapan jika ada kesempatan, aku masih ingin foto bersama dengan Kiai yang mengenalkanku pada penulis keren ini. Ah, ya, aku memberi Beliau sebuah buku berbahasa Arab yang
kubungkus dengan amplop cokelat, sebagai kenang-kenangan, setidaknya agar aku
tak mudah untuk dilupakan olehnya.
***
Sore itu,
sambil menyusuri trotoar kota Surabaya, kami berdecak kagum akan banyak hal
yang telah Tuhan hidangkan kepada kami. Mendung yang tebal ketika itu
meluruhkan air hujan yang melimpah, mengguyur penat. Dengan membayar ongkos
Rp. 20.000 untuk tiga orang, kami membeli tenaga kakek tua mengayuh pedal
becaknya untuk mengantarkan kami ke Sunan Ampel, lalu bermalam di rumah kawan
Ibuku yang tak jauh dari Sunan Ampel, untuk pulang esok harinya.