09.57 -
Perjalanan
No comments
![](http://2.bp.blogspot.com/-JT3fWNy_jgM/TpEPF0wj1vI/AAAAAAAAEP8/vq7ZtgglKGw/s1600/ico_file.png)
![](http://2.bp.blogspot.com/-8N6vJXITgi4/TpEPD0ikCcI/AAAAAAAAEPs/YTFszF--q68/s1600/ico_comment.png)
Elegi Bangil
Senin
25 Juni 2012
Aku
ingin mencatat sebuah kisah dalam perjalanan yang beberapa jam lalu kutempuh
bersama-sama orang terkasih. Ibu, adik bungsu (jagoan kedua Ibu dan Ayahku),
paman, kedua bibi, dan adik-adik sepupuku.
Ingin
membacanya? Baik, biar kumulai menulisnya…
_
Jum’at
lalu.
Kalimat-kalimat
doa kami hantarkan kepergiannya dengan penuh harap agar ingatan dan doa-doa
sedikitpun tak pernah diluputkan Bibi selama di tanah suci nanti. Mobil yang
kami naiki pun bertolak dari Juanda Airport Surabaya setelah melepas kepergian
Bibi untuk ibadah umroh setelah sebelumnya transit di Jakarta.
Selepas itu,
dalam perjalanan menuju Bangil, Pasuruan, seisi mobil mulai ribut. Pasalnya
paman yang bertindak sebagai sopir dalam perjalanan itu kebingungan untuk melewati
jalan yang mana menuju rumah kawan lama Ibu bernama Farida yang terletak di
jantung kota
Bangil. Maklum, paman belum cukup berpengalaman dalam hal mengmudi mobil di
jalan raya. Sedangkan Ibu yang sejak memasuki kota Sidoarjo digertak oleh paman agar segera
sigap, jalan yang mana yang harus dilewati, mulai tampak sangat kebingungan dan
kesal terhadap gertakan-gertakan paman begitu dua jalan searah atau
persimpangan telah tampak di hadapan kemudi paman.
“Kalau kamu
tidak sigap mobil ini terpaksa berhenti di tengah jalan. Dan kamu ‘kan tahu apa risikonya?
Mobil-mobil di belakang akan mengklakson atau kita akan ditilang polisi…!”
Pekik paman.
“Iya, coba sampeyan
bersikap santai sedikit. Jangan gaduh agar saya tidak tambah kebingungan. Saya
sudah lama tidak main ke rumah Farida jadi saya tidak ingat betul jalannya.
Lagi pula saya tidak pernah naik mobil tiap main ke rumahnya. Saya selalu naik
Bus.” Timpal Ibu kesal.
Tampak emosi
yang meletup-letup dari wajah Ibu. Sejenak Ibu melirikku, dan hati kami pun
bercakap. “Paman memang begitu. Di samping sikapnya yang humoris, paman
berwatak keras dan agak egois. Kalau bercanda sangat menyenangkan tapi kalau
sedang kalap, suaranya keras dan agak… huh! Yah intinya begitulah.” Cukup.
Hari beranjak sore. Setelah menempuh
perjalanan yang cukup menguras emosi di samping
menguras tenaga, akhirnya mobil kami berbelok ke arah kiri memasuki
kawasan pemukiman warga. Lagi-lagi, banyaknya persimpangan membuat paman
kembali bingung, untungnya jalanan di kawasan pemukiman ini cukup lebar dan
agak sepi. Ibu pun menghubungi Farida agar di jemput di satu titik persimpangan
tempat kami berhenti karena kebingungan.
Tiga tahun
lebih tak menjalin silaturrahim dengan Farida membuat ibu benar-benar lupa
jalan menuju rumah Farida.
_
Dari kejauhan
tampak mendekat seorang perempuan berjilbab
bertubuh mungil mengendarai motor maticnya yang berwarna merah. Rupanya Farida.
Perempuan itu melempar senyum menyapa. Lalu dikawalnya mobil kami menuju ke
arah rumahnya.
Memasuki gang
sempit selebar mobil kami.
Sesampainya di
rumah Farida. Rumah kecil dipagari besi, di sampingnya terdapat halaman yang
tidak begitu luas yang cukup untuk digunakan parkir mobil kami. Setelah itu
kami pun dipersilakan masuk.
Sembari paman
berbincang-bincang hangat dengan suami Farida, Farida menghidangkan beberapa
kudapan dan kopi susu hangat.
Rumah kecil
yang nyaman, ruang tamu yang mungil, dua buah kamar yang mungil, sebuah dapur
di ujung rumah, kamar mandi dan musolla yang juga mungil. Rumah kecil tapi
teramat bersih.
Selepas solat
isya setelah kami diparantah* dan makan, paman dan putrinya yang juga
ikut pamit untuk pulang ke rumah istrinya di daerah Kramat, Pasuruan. Dan
tinggallah aku, ibu dan adikku menginap di rumah itu untuk esoknya ke Malang, menjemput adik
laki-laki pertamaku yang sedang menempuh pendidikan di sebuah pesantren
Alqur’an.
Malam mulai
pekat. Ibu pun bercengkrama dengan Farida, bernostalgia masa-masa remaja mereka
sementara aku bertindak sebagai pendengar.
_
Di balik
keluwesannya bersikap, Farida yang tampak sangat welcome dengan kedatangan kami
ternyata menyimpan kisah yang syarat kedewasaan, ketulusan menerima takdir
sebagai seorang istri dan ibu bagi kedua anaknya. Dalam keadaan setengah sadar,
aku yang mulai mengantuk, mendegar kisah hidup yang ia ceritakan pada Ibu.
_
Umurnya yang
masih sangat muda, menjadi ibu yang lemah lembut dan penuh kesabaran bagi kedua
anaknya.
Suaminya,
Taufik, adalah seorang kepercayaan Kyai di pesantren tempat ia mengaji dulu,
menjadi sopir keluarga pesantren yang terpercaya. Sampai masa pertama
pernikahannya dengan Farida ia masih mengabdi pada keluarga pesantren tersebut
dengan penuh keikhlasan dan ketakziman. Sampai suatu ketika ia harus angkat
kaki menjadi sopir, disebabkan fitnah yang menimpanya. Aku menarik kesimpulan,
inilah babak baru dalam rumah tangga mereka di mana keimanan dan kesabaran
mereka tengah diuji oleh Allah.
Sejak berhenti
menjadi sopir Kyai, Taufik tak memiliki kerja yang tetap. Kadang mencari uang
dengan jalan ini dan jalan itu, namun tetap dalam koridor halal di mata
syari’at. Ia bekerja dengan tidak menentu. Jika menemukan pekerjaan, ia
bekerja. Jika tak menemukan, ia tidak bekerja. Ketabahannya benar-benar diuji.
Wajahnya yang
sendu tetap terpancar bahwa jauh di dalam hati dan jantungnya yang masih berdegup,
ada nama Allah yang senantiasa bertahta menemani dan menyemangati ikhtiarnya.
Di hati yang
lain, Farida menyungkur sujudnya kepada Allah. Matanya yang sayu menangis
setiap malam dalam munajatnya. Ribuan bahkan jutaan doa ia iringkan bagi
suaminya, agar diberi kekutan membina rumah tangganya dengan baik. Menghidupi
denyut ibadah dalam hati istri dan kedua anaknya yang mulai bersekolah. Hari
demi hari ia berusaha hidup sewajarnya, menghemat dan menabung, jika ada uang.
Melihat jerih
payah Taufik, Farida kemudian berinisiatif untuk meringankan beban suaminya
dengan ikut bekerja. Mencari pekerjaan ternyata susahnya bukan main, demikian
ia berpikir, mengingat dulu ketika masih nyantri di pesantren Kyai
tempat suaminya mengabdi -lalu berjodoh dengan dirinya- ia sering kali meminta
ini itu pada Ayahnya di rumah untuk dikirim ke pondok.
Ia pun melamar
pekerjaan di sebuah pabrik sepatu milik Seorang Korea yang letak pabriknya agak
jauh dari rumahnya. Setelah diterima, dalam masa trainning ia mendapat tugas
yang entah apa sebutan tepatnya, mengelem kulit-kulit imitasi elastis yang
sudah diberi motif ke alas yang sudah tercetak sehingga menjadi sepatu yang
utuh. Itu ia lakukan mulai dari pukul tujuh pagi sampai bedug siang, istirahat,
bekerja lagi sampai sore, tanpa berbicara tak penting dengan sesama karyawan,
karena jika itu dilanggar, Seorang Korea yang menjadi juragannya akan marah
besar, murka, dengan ancaman pemecatan.
“Kalau tidak
siap disiplin, lebih baik kamu angkat kaki dari pabrik ini! Tidak ada gunanya
saya punya karyawan selengean seperti kamu!” Begitu biasanya Si Bos
membentak dengan kasar dan mengerikan dengan bahasa Indonesianya yang kacau
bercampur dengan bahasa ibunya.
Kemarahannya
juga bisa terjadi disebabkan kerja para karyawannya yang tidak becus. Misalnya
mengelem dengan cara yang salah sehingga menyebabkan lemnya tidak merekat kuat.
“Dasar tidak
becus! Hoahhh!!! Apa kamu mau saya pecat??!! Hah??!!!” Demikian Si Bos
membentak sembari melempar dengan keras sepatu yang salah lem tersebut ke
lantai. Hal ini pernah terjadi suatu ketika pada Farida. Kemarahan Si Bos yang
mengerikan ditambah wajahnya yang kemerah-merahan semakin membuat Farida
terkaget-kaget.
Dengan gaji
lumayan besar selama hampir sebulan tersebut, akhirnya kesabaran Farida
terkikis. Ibunya yang sakit parah di Surabaya
meminta agar Farida pulang menjenguknya. Ia pun meminta waktu untuk cuti kepada
Bosnya. Namun dengan tega dan tak punya hati, Si Bos tidak mengabulkan
permintaan cutinya dengan alasan perusahaan tidak ingin mempunyai karyawan yang
plin-plan dengan pekerjaannya. Menurutnya, menjenguk Ibu yang sedang sakit
bukanlah hal yang pantas dimintai waktu cuti.
Dan
kesabarannya pun mulai terkikis. Bagaimana tidak, ia yang sejak pagi bekerja
sampai sore menjelang, menyebabkan tangannya luka-luka melepuh, panas akibat
lem sepatu tadi. Setiap pulang dari pabrik sesampainya di rumah ia segera
merendam kedua tangannya yang sukar digerakkan karena luka-lukanya yang mulai
mengering ke dalam baskom berisi air hangat. Begitu pun sebelum berangkat
kerja. Melihat wajah istrinya yang meringis menahan perih lukanya, suaminya
yang lebih dahulu datang dari bekerja serabutannya merasa kasihan dan tak tega.
“Maafkan Mas,
Dik. Tidak seharusnya kamu begini.” Taufik berujar pelan. Air yang mejadi
kaca-kaca di matanya mulai jatuh.
“Mas, tidak,
jangan minta maaf. Bukankah mas pernah bilang bahwa Allah yang akan membalas
semua ini dengan pahala yang berlipat? Adik ikhlas…” Jawabnya lirih. Perlahan
tangannya yang perih mengangkat menuju pipi suaminya. Ia seka air mata suaminya
dengan penuh ketulusan. Kemudian didekaplah tubuh istrinya dengan penuh cinta.
Begitu.
Akhirnya Farida
memutuskan untuk menjenguk ibunya di Surabaya
setelah sebelumnya berpamitan pada Bos-nya untuk mengundurkan diri dari
pekerjaannya. Memang makan hati menjadi karyawan dari juragan yang terlalu
idealis seperti bos Farida. Lagi pula bukankah telah maklum, pekerja keras yang
berasal dari negara-negara maju, salah satunya seperti Korea
disiplinnya luar biasa. Tidak seperti kita, Orang Indonesia.
_
Mendengar
cerita yang dituturkan Farida, Ibu hanya menasehati dengan kesabaran dan
keikhlasan serta keyakinan kuat bahwa perjuangan dalam berumahtangga adalah
dalam rangka meraih ridha Allah serta mendapat investasi besar di Akhirat
kelak.
Risiko orang
hidup memang seperti itu. Terlebih ketika kita dihadapkan dengan pilihan mutlak
sebagai ibu dari anak-anak yang mau tidak mau juga sedikit banyak harus
membantu ikhtiyar suami. Jalannya hanya dengan keimanan dan kesabaran kita
mampu bertahan, sebab inilah jihad besar terutama bagi perempuan yang membantu
perjuangan suami.
Farida hanya
berterima kasih. Selanjutnya malam semakin larut. Farida memutuskan untuk
segera beristirahat dan mempersilakan Ibu beristrirahat. Sementara aku yang
sejak tadi samar-samar menguping perbincangan keduanya, menarik ikhtisar untuk
pelajaran penting bagi masa depanku untuk kemudian benar-benar menutup mata.
Melunasi kantuk.
_
Esok paginya,
pagi-pagi sekali kami memohon pamit kepada Farida untuk keberangkatan kami
menjemput adik ke Malang.
Farida pun mengantar kami ke pertigaan jalan raya untuk menunggu jemputan
paman.
***
*dipersilakan
untuk makan setelah asyik bercengkrama.
0 komentar:
Posting Komentar