Tampilkan postingan dengan label Perjalanan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Perjalanan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 01 Februari 2015

Catatan Perjalanan Ke Kampus Fiksi Roadshow Surabaya (Bagian 2)


Kau tahu? Waktu adalah ciptaan Tuhan yang di dalamnya diakumulasi percakapan manusia dari setiap partikel sejarah. Sederet saja kisah heroik kita berdua, itu hanya pecahan dari titik kecil atom yang kita endapkan di luas penciptaan-Nya. Dan seluruh tenaga upaya yang kita miliki sejatinya adalah pinjaman yang harus segera kita persiapkan untuk kita kembalikan kepada Pemiliknya.
***

Pukul 08.35, setelah Damri berdesakan di tengah lalu lintas kota Surabaya yang padat, akhirnya kami tiba di sebelah jembatan penyeberangan yang tak jauh dari Tunjungan Plaza. Kami menyeberangi jembatan baja itu, terkekeh sembari melupakan persendian kami yang mulai lelah. Benar saja aku melangkahkan kaki, tapi di ruang lain jiwaku telah duduk, menemukan tempat nyaman di ruangan acara yang kubayangkan megah itu. 


Setelah bertanya kesana kemari, akhirnya kami menemukan tempat yang kami tuju. Sebuah bangunan gedung yang cukup besar dengan arsitektur kuno yang sepertinya telah direnovasi menjadi semi modern. Begitu kami masuk ke halaman gedung itu, ada keramaian yang tampaknya sebuah pertunjukan. Pertunjukan Reog. Kami lalu ke sisi lain gedung itu. Rupanya benar, aku melihat beberapa orang menggunakan kaos hitam, jersey Kampus Fiksi, tengah sibuk berlalu lalang mempersiapkan acara Kampus Fiksi Roadshow yang masih sejam lagi akan dimulai. 

Kami masuk. Peserta yang datang tak sampai sepuluh orang. Asyik! Sepertinya kami tidak akan lesehan, lebih-lebih diusir seperti yang kubayangkan sebelumnya. Satu persatu peserta berdatangan. Aku segera ke bagian akomodasi untuk ‘mendaftarkan diri’. Hehee...

“Iya, tidak apa-apa, Mbak. Tapi kami hanya menyediakan kupon untuk 200 orang. Kalau peserta yang hadir kurang dari 200, kami akan masukkan Mbak dan dua temannya.” Jawab salah satu panitia begitu aku ‘mendaftarkan diri’. 

“Oh, baik, Mbak. Terima kasih banyak, ya?” Balasku.

“Iya, sama-sama.” Jawabnya lagi.

Sekedar untuk melihat suasana, kami keluar dari ruang acara dan duduk di beranda di sebelah seorang perempuan berjilbab. Perempuan yang belakangan kuketahui adalah Ibu muda itu tersenyum.

“Permisi,” sapaku. 

“Iya, silakan. Eh, Mbak sudah daftar jauh hari, ya?” Tanya perempuan bernama Ria itu padaku.

“Nggak. Saya baru saja mendaftarkan diri, tapi kata Panitia masih nunggu peserta kurang dari 200 orang, lalu kami baru bisa masuk daftar peserta. Kalau Mbak sendiri?” Jawabku. 

“Oya? Kalau begitu sama! Kita senasib!” Serunya antusias.

Alhamdulillah kami punya teman senasib. “You never walk alone” kata Liverpool. Kami pun saling bertukar cerita. Tak berapa lama kemudian, seorang panitia berpipi gembil menghampiri kami. 

“Permisi, Mbak. Tadi sampeyan yang mau daftar, ya?” Tanya perempuan itu.

“Iya,” Kami berempat menjawab hampir bersamaan dibarengi dengan cekikikan.

“Ini ada kursi kosong, kebetulan empat. Mbak bisa tulis nama, email, dan tanda tangan disini, dan nanti Mbak ambil kupon buku gratis dan kupon makan di panitia.” Kata perempuan itu sembari menyerahkan pada kami selembar kertas absensi.

Wuw... Wuw... Wuw...!!! 

Aku tahu kami berempat bertepuk tangan di dalam hati. Asyiiiiiik...!!! Tak sampai lima menit kertas itu telah kami isi data diri kami.

“Mbak siapa namanya?” Tanya perempuan imut itu padaku. 

“Saya Zyadah.”

“Saya Ve, Avifah Ve. Mbak dari mana, ya?” Oalah, ini yang dua minggu lalu kuhubungi itu.

“Oh, sampeyan Mbak Ve yang dua minggu saya telepon itu, ya? Saya Zyadah dari Situbondo, yang tanya pendaftaran acara ini kemarin? Masih ingat?” Tanyaku panjang lebar. 

“Oh, ya, saya masih ingat. Wah, jauh banget, ya? Tapi sampai juga kesini. Alhamdulillah...” Mbak Ve mengangguk cepat dan tertawa. Kami pun berbincang singkat. Dan setelah itu, pukul 10 kurang kami masuk ke ruang acara karena acara akan segera dimulai. Tidak sia-sia rupanya aku datang lebih awal ke tempat ini. Baiklah! Acara pun dimulai. 

Detik itu aku baru tahu kalau acara Kampus Fiksi Roadshow ini merupakan kerjasama yang diadakan oleh UNSA (UNtuk SAhabat), sebuah komunitas menulis Surabaya, dengan Penerbit Diva Press Jogjakarta. Hal ini tidak dijelaskan di pamflet pengumuman, so, aku baru tahu.

Selama acara berlangsung, aku tidak detail menyimaknya. Pikiranku tidak konsentrasi. Yang jelas aku sudah tahu, yang sejak awal berdiri di depan adalah orang-orang bernama Mas Ridho, Mbak Jazim, Mas Aji Sidik, Mas Widya, Mas Ken Hanggara, Bella Vanilla, dan ini, Pak Edi Mulyono, sosok yang berani-beraninya bikin pikiranku tidak konsentrasi.

Perlu diketahui, bahwa tujuanku ke tempat ini bukan untuk belajar menulis yang utama. Lebih dari itu, aku ingin berterima kasih secara langsung kepada orang yang telah memberi teladan berharga kepadaku melalui waqaf bukunya yang tumpah satu truk ke desa kami. Ah, ini bukan pujian. Ini bukan Fiksi seperti kampusnya yang Kampus Fiksi itu. Ini beneran nyata. Aku mengenal sosoknya yang nyentrik itu dari seorang Kiai sekaligus Penulis dari Sumenep Madura, yang juga nyentrik, Kiai Muhammad Faizi namanya. Itulah yang ‘mengantarkanku’ jauh-jauh datang ke Surabaya. 

Berlebihan, ya? Kurasa tidak.
Pukul 12 siang, acara berhenti sejenak, dijeda istirahat selama 45 menit. Kami dan para peserta menukar kupon makan di meja panitia. Setelah makan, sambil menunggu Kak Afuf dan Hurin solat, aku berjalan melihat-lihat pertunjukan Reog yang masih berlangsung di halaman Gedung Balai Pemuda. Bosan, aku meninggalkan keramaian itu. Tak jauh dari situ, aku melihat Pak Edi Mulyono sedang berdiri sibuk dengan gadgetnya, bersandar pada tiang  kokoh penyanggah bangunan gedung. 

Aku terus berjalan, mendekatinya.
“Assalamu alaikumm, Pak.” Sapaku. Lelaki yang mengenakan jersey hitam Kampus Fiksi, celana skinny jeans, sepatu sneakers, dan berambut klimis itu menoleh. Sepertinya aku telah mengganggunya.

Seketika itu, dunia bergerak terasa sangat lambat. Sekelilingku menjadi blur. #Gombal, ah
“Waalaikum salam.” Jawabnya dengan seulas senyum. 

“Maaf, apa Bapak mengingat saya?” Tanyaku narsis. Ekspresi wajah Pak Edi berubah, seperti berusaha mengingat sesuatu namun gagal.

“Ehmm... Iya, ehmm...” 

“Saya yang kemarin inbox menyapa Bapak di Facebook. Nama saya Zyadah Khairoh.” Imbuhku. Ah, kebiasaan nih, ga mungkin ingat, Zyadah. Ga mungkin ingat! 

“Oh, iya, ingat,” Jawab beliau langsung, masih dengan seulas senyum. Ah, bohong. Masa sih? “Jam berapa sampai?” lanjutnya.

“Tadi pagi jam enam, Pak. Dari terminal langsung kesini.” Aku menjawab dengan gugup. Grogi.

“Oh, iya. Sudah makan siang?” Wuih, pertanyaan yang benar-benar so sweet. #eh

“Iya, sudah barusan,” Aku menunduk, mengingat-ingat kalimat apa yang akan kusampaikan setelah kurancang dari kemarin. “Ehm, saya ingin berterima kasih kepada Bapak.” Kataku akhirnya.

“Oh, iya, soal apa, ya?” tanya beliau dengan raut muka penasaran. Bah... belum tahu dia. Hehee.

“Saya dan teman-teman di rumah sudah menerima banyak sumbangan buku dari Bapak, melalui Kiai Faizi.” Jawabku terus terang.

“Lho, kok tahu Kiai Faizi?” Lelaki di hadapanku itu kaget.

“Iya, beliau itu guru saya.”

“Oh, begitu? Iya, iya, Kiai Faizi juga guru saya. Saya banyak belajar kepada Beliau. Beliau juga sangat alim dan rendah hati.” Ujarnya.

“Oh, iya, iya. Beliau banyak bercerita tentang Bapak. Kemudian beliau menawarkan saya buku hibah dari Penerbit Diva Press, saya menerima tujuh kardus dan teman-teman senang semua.” Jawabku dengan, lagi-lagi masih gugup. Biasa, cah... Kopdar pertama!

“Alhamdulillah kalau senang. Ambil yang bermanfaat saja. Saya juga tidak tahu buku-buku yang kami hibahkan, semua genre nyampur.” Tukasnya.

“Iya, tidak apa-apa. Alhamdulillah. Terima kasih banyak, Pak.”

“Iya, sama-sama,” setelah tak ada lagi yang kami obrolkan, “Kalau begitu mari masuk, sebentar lagi materi saya.” Percakapan kami pun berakhir. Aku melangkah duluan untuk masuk ke ruang acara.

Jarum jam menunjukkan 12.50. Para peserta Kampus Fiksi telah duduk di kursi masing-masing, kami telah siap menerima materi selanjutnya yang akan disampaikan langsung oleh Bapak Edi Mulyono atau yang lebih dikenal dengan Edi Akhiles, CEO Penerbit Diva Press.


Aku menghembuskan napas lega. Tujuanku sudah tercapai. Dan, tiba saatnya untuk mengikuti pengajian kitab Taklimul Muta’allim, maksudku pelatihan menulis. Hahaa... Maklum saja, dari saking seringnya aku mengikuti pelatihan nulis seperti ini, aku sampai kenyang blass. Penyakit malas stadium tiga yang mengeksekusi dari pengajian langsung kepada Pipiet Senja, Gol A Gong, sampai Habiburrahman El Shirazy! Astaghfirullaaaahh... Tobat, Nak... Tobat! Ah, tapi semoga setelah ini aku bisa beli truk besar semacam Fuso buat ngelindes penyakit aneh itu. Diamini lho, ya!
Begitu acara usai, kami, sebagaimana lazimnya sebuah pertemuan dengan penulis hebat, mengantre—aku ambil antrean yang terakhir—untuk minta tanda tangan penulis di buku “Silabus Menulis Fiksi dan Non Fiksi” yang gratis dibagikan tadi dan “Andai Aku Jalan Kaki” yang baru kubeli kemarin lusa di koperasi pesantren. Tak lupa kami meminta foto bersama dengan Penulis, kapan-kapan jika ada kesempatan, aku masih ingin foto bersama dengan Kiai yang mengenalkanku pada penulis keren ini. Ah, ya, aku memberi Beliau sebuah buku berbahasa Arab yang kubungkus dengan amplop cokelat, sebagai kenang-kenangan, setidaknya agar aku tak mudah untuk dilupakan olehnya.
 ***
Sore itu, sambil menyusuri trotoar kota Surabaya, kami berdecak kagum akan banyak hal yang telah Tuhan hidangkan kepada kami. Mendung yang tebal ketika itu meluruhkan air hujan yang melimpah, mengguyur penat. Dengan membayar ongkos Rp. 20.000 untuk tiga orang, kami membeli tenaga kakek tua mengayuh pedal becaknya untuk mengantarkan kami ke Sunan Ampel, lalu bermalam di rumah kawan Ibuku yang tak jauh dari Sunan Ampel, untuk pulang esok harinya.

Sabtu, 31 Januari 2015

Catatan Perjalanan Ke Kampus Fiksi Roadshow Surabaya (Bagian I)

Inilah kali keempat aku bepergian ke tempat jauh, lintas kota, tanpa ditemani oleh ibu atau siapa yang lebih tua dan berpengalaman. Pengalaman pertama saat aku masih SMA ke kota Jember bersama seorang teman untuk sebuah urusan sekolah. Kedua ke kota Rembang Jawa Tengah (ini perjalanan tergawat yang pernah kulakukan) seorang diri, tanpa ditemani siapapun, berbekal rasa cemas dan kesal orang-orang rumah untuk urusan yang kuanggap penting, entah anggapan mereka. Ketiga setahun lalu ke kota Jember lagi bersama saudari tertuaku untuk urusan “bisnis” kecil. Dan inilah yang keempat, ke kota Surabaya dalam rangka menghadiri acara pelatihan menulis, Kampus Fiksi Roadshow Divapress bersama saudariku yang pertama, namanya Afuf, dan seorang temanku bernama Hurin. Ya, kami bertiga saat itu. 

Usiaku sudah 21 tahun lebih 2 bulan. Barangkali catatan perjalanan ini mengindikasikan karakter pribadiku yang anak rumahan dengan ruang lingkup yang sangat sempit. Kasihan.
***

Malam itu kegalauan yang sejak siang melandaku memuncak menunggu keputusan Tuhan untuk menakdirkanku berangkat ke Surabaya atau tidak. Namun begitu dengan berat Ibu dan Ayah akhirnya mengijinkan kami untuk berangkat ke Surabaya setelah kujelaskan betapa pentingnya moment ini untuk mengisi celah-celah kosong di masa mudaku. Berat karena Ibu dan Ayah tidak dapat mengantarku dan membiarkan kami bertiga, perempuan, jalan malam hari. Bagi orangtua ini kondisi yang cukup mencemaskan. Namun ada yang lebih penting dari sekedar mengisi celah kosong itu, nanti biar kujelaskan.Pukul 22.45 sabtu malam (24/01) setelah salim ke Ibu kami berangkat, saat itu Ayah sudah tidur. Berbekal niat, sangu yang tidak kurang dan tidak lebih alias pas, masing-masing tiga botol air minum dan sebungkus nasi. Dengan menumpangi becak motor kami bertiga telah sampai di congap[1] Sukorejo. Begitu kami tiba Abang Becak yang mangkal disana berujar bahwa Bus Akas yang ke Barat (Surabaya) baru saja lewat sekitar setengah jam yang lalu. Sayang sekali...

“Wah, Mbak, Bus Akas jurusan Surabaya sudah lewat sekitar jam sepuluh tadi.” Ujar Abang Becak berpakaian kumal dengan topi kupluk sembari menghampiri kami.

“Oya? Lalu kapan ada Bus  lagi?” Jawab Kak Afuf  bertanya.

"Biasanya kalau Bus yang jam sepuluh sudah lewat, Bus selanjutnya dua jam lagi baru ada. Kalau dari timur sepi penumpang bisa pukul tiga atau sebelum subuh baru ada.” Jawaban Abang Becak itu sontak meragukan kami.

“Oh, baiklah. Kami akan menunggu.” Kataku dengan setengah kawatir.
Akhirnya kami memutuskan untuk menunggu, berapa pun lama waktunya. Aku tak bisa terbayang jika tak ada Bus ke arah barat lalu aku kembali pulang ke rumah dengan memanggul sekarung kekecewaan dan niat yang tinggal niat. Kami menunggu, menunggu dengan diliputi perasaan harap-harap cemas tak karuan.

Puluhan Bus malam berlalu sudah meninggalkan kami dengan sapaan klakson dan lampu terang yang menyilaukan kami bertiga menandakan Bus-bus itu tak mau menaikkan kami. Mobil-mobil box berlabel besar “PAKET KILAT”, “PAKET EXPRESS”, “JNE EXPRESS”, sampai “Pos Indonesia” juga telah melintas cepat berlalu lalang di hadapan kami. Bahkan dua Bus Pariwisata dari arah barat dan timur yang berbelok masuk ke Sukorejo untuk ziarah ke maqbarah Hadratus Syaikh KHR. As’ad Syamsul Arifin, Sang Mediator lahirnya ormas Islam terbesar di Indonesia Nahdlatul Ulama itu, juga keluar dari desa kami. Oh, begitu lamanya kami menunggu. 

Finally, kesabaran kami berbuah manis. Tepat pukul 00.45 Bus Akas jurusan Banyuwangi-Surabaya berhenti di depan kami. Ternyata tak terasa dua jam sudah kami menunggu. Begitu kami naik patutlah kami membaca doa naik kendaraan, mengucap syukur dan melepas napas lega karena bus tersebut ternyata tidak penuh dengan penumpang dan ada kursi kosong di formasi tiga paling depan. Duduklah kami di situ. Ehem, kursi paling depan memang tempat favoritku! Thanks God! 

Kami membeli tiga karcis ke Surabaya langsung. Perkarcis Rp. 47.000. Namun  kami cukup membayar Rp. 140.000 saja, dipotong Rp. 1000. Aku melemparkan pandangan ke barisan belakang menatap wajah-wajah para penumpang, perasaan takut, curiga, dan negative thinking lainnya perlahan kuhilangkan. Mungkin memang begini jadi anak rumahan, setiap keluar dari rumah selalu menaruh curiga dan perasaan awas terhadap orang asing di sekitarnya. 
"Oh, God!” Aku menyempalkan perasaan macam itu sesegera mungkin. Asalkan bersikap wajar, air muka yang tenang dan raut emosi yang stabil, berpenampilan sesederhana mungkin yang tidak menimbulkan kesan “orang kaya”, barangkali ini bisa menjadi tips agar tetap aman dalam melakukan perjalanan. Tsah! Baru keluar beberapa kali saja sudah berlaga ngasih tips. Sok tahu, nih!

Pukul 01.20 bus berhenti di terminal Situbondo untuk menaikkan penumpang baru. Sesekali kami bertiga bercanda, ngobrol untuk menghilangkan suasana tegang dan rasa kantuk yang mulai muncul. Tak berapa lama kemudian seorang pemuda berpenampilan lusuh sembari menenteng gitar naik ke Bus. Menyapa para penumpang dengan sapaan khasnya yang disusul dengan petikan gitarnya perlahan-perlahan. Kurasa aku tak dapat memberinya poin A untuk petikan gitarnya. 

Jreng...
Lalu menyanyilah ia. Tubuhnya yang kerempeng larut menyanyikan lagu Jowo Osing dengan suaranya yang cempreng. Geli sendiri aku mendengarnya. Baiklah, kudengarkan  saja dengan seksama dan harus dengan tempo yang sesingkat-singkatnya heheheheehh. Tapi, maaf. Aku tak bisa memberinya duit, rokok, atau permen seperti yang dipesankannya saat baru memberi sambutan tadi. Maaf, yaa? J

Setelah tak ada lagi penumpang yang naik, tepat pukul 01.40 Bus kami kemudian melaju kembali meninggalkan terminal Situbondo. Saat malam hari kota kecil ini sangat lelap, tidur dalam balutan sunyi. Suasana yang jauh berbeda dengan kota besar saat malam hari yang tetap sibuk dengan kegiatan malamnya. Beberapa sumber mengatakan bahwa kotaku ini masuk dalam jajaran kota termiskin di Jawa Timur. Luas geografisnya yang tak luas, letaknya yang menjorok ke laut dan tak ada keunggulan hasil alam yang khas membuat kota ini tak semakmur kota-kota lain yang memiliki ciri khas baik dari hasil alam atau sektor pariwisatanya. Tak apalah, bagaimana pun “Kota Santri” adalah predikat paling prestisius yang disandang oleh kota ini. Aku masih ingat kejadian beberapa tahun silam, Kiaiku beserta ribuan santrinya tumpah ruah turun ke jalan raya, menutup akses jalur protokol Banyuwangi-Surabaya untuk melakukan demonstrasi atas kasus korupsi yang dilakukan Bupati Situbondo. Demonstrasi ini sebuah respon sekaligus desakan agar KPK segera meringkus Bupati yang kemenangannya dimonopoli oleh suara santri dan masyarakat asuhan Kiaiku itu. Lengkaplah sudah kemiskinan kota ini. Bagaimana kabar mantan Bupatiku itu, ya? *baik-baik sayang... :D

Jarum jam menunjukkan pukul 02.20. Sopir menginjak pedal rem tepat di depan sebuah toko swalayan kecil. Aku mengedarkan pandangan, mencari tahu dimana Bus kami berhenti. Oh, Besuki. Wah, rupanya Bus ini ngesot dari terminal Situbondo tadi. Jam segini, jalanan tak begitu ramai, seharusnya kurang dari satu jam waktu tempuh dari terminal Situbondo ke Besuki. Aku menguap lebar. Rasa kantuk tak dapat lagi kutahan. Kak Afuf dan Hurin di sebelahku telah lelap. Oh, Pak Edi... Demi bertemu denganmu... Semoga Tuhan mempertemukan kita dalam mahligai yang diridaiNya. Wkwkwwkkkk... 

Kututup mataku. Kupasrahkan segalanya kepada Sang Penjaga. Kutitipkan seluruh perjalanan hidupku kepadaNya. Intinya tidur! Beberapa waktu kemudian mesin Bus berderum kembali menimbulkan efek getar pada tubuh, kuintip jam di ponselku, pukul 02.45. Segera kurapatkan kembali mataku. Semoga aku bisa datang ke tempat acara jauh lebih awal dari peserta lain, tidak diusir lantaran tidak mendaftarkan diri terlebih dahulu atau tidak lesehan karena tidak dapat jatah kursi. Hus... Hus... Naudzubillah! 

Angin yang berhembus cepat menghadirkan udara malam yang amat dingin dikombinasi dengan kecepatan Bus yang melesat dibawah kendali sopir yang kesetanan. Aku tidur semakin lelap saja. Inilah yang dimaksud  tebak-tebakan yang sering kita dengar, mengapa kita dapat tidur nyenyak di atas Bus? Karena ban Bus-nya bundar, bukan persegi. Hahahhh! 

Cckkkiiiiiitttttt!!!!! Prrannnggg!!!!!

Bus tiba-tiba berhenti, ngerem mendadak. Kaca jendela Bus sebelah kiri pecah berserakan. Segera kubuka mata, terlonjak kaget. Suasana di dalam Bus seketika itu menjadi riuh dan kacau. Semua mantra keselamatan segera kurapal. Ada apa ini? Perasaan takut dan cemas menyergap para penumpang sekaligus. Ada apa? Ada apa??? 

Pak Kenek dan Pak Kondektur Bus turun dari Bus dan berlari mengejar pelaku. Menurut saksi mata, penumpang Bus yang melihat kejadian itu, sekelompok ABG yang tampak mabuk  telah melempar sebuah batu dengan keras ke arah Bus sehingga tepat mengenai ke kaca Bus bagian kiri yang melintas di hadapannya. Pak Kenek dan Pak Kondektur yang mengejar ABG itu kembali ke Bus dengan nihil. Rupanya ABG itu kabur.

Akhirnya suasana kacau itu tak segawat yang kupikirkan. Kukira kecelakaan hebat telah menimpa kami. Di kepalaku berkelebat bayangan ban Bus bagian depan menggelinding lepas, disusul Bus yang mendadak berhenti menyekaratkan seluruh penumpang yang ada. Lalu polisi berdatangan dengan tim-tim penyelamat. Seperti di berita-berita di televisi. Astaghfirullah... Lindungi kami Tuhan.... 

Pak Kenek, Pak Kondektur, dan Pak Sopirnya pun berusaha menenangkan diri. Setelah itu perjalanan pun dilanjutkan kembali. Kasak-kusuk penumpang masih terdengar riuh di dalam Bus. Agaknya mereka merasa iba pada “aparat” Bus, termasuk kami bertiga. Kecelakaan macam itu sudah barang tentu “memakan” jatah penghasilan mereka hari ini atau syukur kalau tidak.

Tak jauh dari jarak kecelakaan tadi, Bus berhenti lagi, ditunggu Bus baru yang penumpangnya masih sedikit. Kami semua dioper. Sepertinya memang lebih baik begitu, tapi aku tetap merasa iba pada Pak Sopir dan rekannya itu. Mereka pasti bingung.

Tanpa parkir di terminal Probolinggo, Bus kami terus melaju. Melintasi jalanan kota yang sesak dengan haru biru kehidupan. Malam merambat di dinding langit yang mulai merekahkan fajarnya. Kami yang lelap pun terbangun begitu sinar mentari menyorot kaca jendela Bus, menyilaukan mata. Indera penciumanku menghela aroma pagi yang segar dibauri gas-gas polutan yang berputar-putar di udara. Begitu membuka mata dengan lebar, kami tengah melintasi jalan Tol Gempol yang tampak lengang berbeda dari biasanya.
Pukul 06.07 WIB kami tiba di terminal Bungurasih Surabaya. Begitu turun dari Bus kami disambut oleh para calo Bus, sopir taksi, sopir Bus kota, dan penjaja makanan kecil. Kami menolak karena kami masih harus ke Masjid untuk istirahat sebentar, bersiap-siap untuk langsung ke tempat acara Kampus Fiksi Roadshow di Gedung Balai Pemuda. 

Kami bertiga melangkah menuju masjid dekat pintu masuk terminal, sayangnya aku tak menangkap suasana ini ke dalam kamera ponselku. Disana kami membersihkan diri, mandi, Kak Afuf dan Hurin mengganti solat subuh. Setelah itu kami makan nasi bekal yang kami bawa. Hahaha... Selain sebagai bentuk penghematan, membawa bekal makanan saat melakukan perjalanan adalah salah satu cara menghindari makanan warung cepat saji yang sudah tentu  mengandung pengawet makanan yang berbahaya, atau yang lebih sadis makanan di warung pinggir jalan yang bikin ngeri pas lihat tempat cuci piringnya jorok. Alesan nih, anak. Bilang aja kere! 

Selesai bersiap dan makan kami bertiga  bergegas ke terminal keberangkatan Bus Kota. Sesampainya, kami lalu naik Bus Kota jurusan Tunjungan Plaza. Lagi-lagi mendapat kursi di bagian depan. Kami duduk dan tak berapa lama kemudian, silih berganti pedagang asongan masuk menjajakan jualannya. Mulai dari jualan suara alias ngamen, buku-buku mewarnai untuk anak, buku-buku tutorial hijab, pulpen warna-warni, kancing celana denim, sampai sabuk celana yang harganya murah meriah hanya Rp. 10.000. Sayangnya aku tak membeli sesuatupun dari mereka.
Sesaat setelah mereka mempromosikan jualannya, pukul 07.49Damri yang mengangkut kami pun beringsut meninggalkan terminal yang ramainya tak berujung ini. Dengan membayar karcis Rp.6000x3= Rp. 18.000, kami bertiga diantar dengan selamat dan turun di sebelah jembatan penyeberangan yang tak jauh dari Tunjungan Plaza. Dan tahukah, bahwa hatiku semakin penasaran, apa saja yang hendak Tuhan hidangkan padaku setelah ini?
 

[1] aduh, susah ngejelasinnya. yang tau, bantu, ya?!!!