22.23 -
Perjalanan
5 comments
![](http://2.bp.blogspot.com/-JT3fWNy_jgM/TpEPF0wj1vI/AAAAAAAAEP8/vq7ZtgglKGw/s1600/ico_file.png)
![](http://2.bp.blogspot.com/-8N6vJXITgi4/TpEPD0ikCcI/AAAAAAAAEPs/YTFszF--q68/s1600/ico_comment.png)
Catatan Perjalanan Ke Kampus Fiksi Roadshow Surabaya (Bagian I)
Inilah kali keempat aku bepergian
ke tempat jauh, lintas kota, tanpa ditemani oleh ibu atau siapa yang lebih tua
dan berpengalaman. Pengalaman pertama saat aku masih SMA ke kota Jember bersama
seorang teman untuk sebuah urusan sekolah. Kedua ke kota Rembang Jawa Tengah
(ini perjalanan tergawat yang pernah kulakukan) seorang diri, tanpa ditemani
siapapun, berbekal rasa cemas dan kesal orang-orang rumah untuk urusan yang
kuanggap penting, entah anggapan mereka. Ketiga setahun lalu ke kota Jember
lagi bersama saudari tertuaku untuk urusan “bisnis” kecil. Dan inilah yang
keempat, ke kota Surabaya dalam rangka menghadiri acara pelatihan menulis,
Kampus Fiksi Roadshow Divapress bersama saudariku yang pertama, namanya Afuf,
dan seorang temanku bernama Hurin. Ya, kami bertiga saat itu.
Usiaku
sudah 21 tahun lebih 2 bulan. Barangkali catatan perjalanan ini mengindikasikan
karakter pribadiku yang anak rumahan dengan ruang lingkup yang sangat sempit.
Kasihan.
***
Malam
itu kegalauan yang sejak siang melandaku memuncak menunggu keputusan Tuhan
untuk menakdirkanku berangkat ke Surabaya atau tidak. Namun begitu dengan berat
Ibu dan Ayah akhirnya mengijinkan kami untuk berangkat ke Surabaya setelah
kujelaskan betapa pentingnya moment ini untuk mengisi celah-celah kosong di
masa mudaku. Berat karena Ibu dan Ayah tidak dapat mengantarku dan membiarkan
kami bertiga, perempuan, jalan malam hari. Bagi orangtua ini kondisi yang cukup
mencemaskan. Namun ada yang lebih penting dari sekedar mengisi celah kosong itu,
nanti biar kujelaskan.Pukul
22.45 sabtu malam (24/01) setelah salim ke
Ibu kami berangkat, saat itu Ayah sudah tidur. Berbekal niat, sangu yang tidak kurang dan tidak lebih
alias pas, masing-masing tiga botol air minum dan sebungkus nasi. Dengan
menumpangi becak motor kami bertiga telah sampai di congap[1] Sukorejo. Begitu kami tiba Abang Becak yang
mangkal disana berujar bahwa Bus Akas yang ke Barat (Surabaya) baru saja lewat
sekitar setengah jam yang lalu. Sayang sekali...
“Wah,
Mbak, Bus Akas jurusan Surabaya sudah lewat sekitar jam sepuluh tadi.” Ujar
Abang Becak berpakaian kumal dengan topi kupluk sembari menghampiri kami.
“Oya?
Lalu kapan ada Bus lagi?” Jawab Kak
Afuf bertanya.
"Biasanya
kalau Bus yang jam sepuluh sudah lewat, Bus selanjutnya dua jam lagi baru ada.
Kalau dari timur sepi penumpang bisa pukul tiga atau sebelum subuh baru ada.”
Jawaban Abang Becak itu sontak meragukan kami.
“Oh,
baiklah. Kami akan menunggu.” Kataku dengan setengah kawatir.
Akhirnya
kami memutuskan untuk menunggu, berapa pun lama waktunya. Aku tak bisa
terbayang jika tak ada Bus ke arah barat lalu aku kembali pulang ke rumah
dengan memanggul sekarung kekecewaan dan niat yang tinggal niat. Kami menunggu,
menunggu dengan diliputi perasaan harap-harap cemas tak karuan.
Puluhan
Bus malam berlalu sudah meninggalkan kami dengan sapaan klakson dan lampu
terang yang menyilaukan kami bertiga menandakan Bus-bus itu tak mau menaikkan
kami. Mobil-mobil box berlabel besar “PAKET KILAT”, “PAKET EXPRESS”, “JNE
EXPRESS”, sampai “Pos Indonesia” juga telah melintas cepat berlalu lalang di
hadapan kami. Bahkan dua Bus Pariwisata dari arah barat dan timur yang berbelok
masuk ke Sukorejo untuk ziarah ke maqbarah
Hadratus Syaikh KHR. As’ad Syamsul Arifin, Sang Mediator lahirnya ormas
Islam terbesar di Indonesia Nahdlatul Ulama itu, juga keluar dari desa kami.
Oh, begitu lamanya kami menunggu.
Finally,
kesabaran kami berbuah manis. Tepat pukul 00.45 Bus Akas jurusan
Banyuwangi-Surabaya berhenti di depan kami. Ternyata tak terasa dua jam sudah
kami menunggu. Begitu kami naik patutlah kami membaca doa naik kendaraan, mengucap
syukur dan melepas napas lega karena bus tersebut ternyata tidak penuh dengan
penumpang dan ada kursi kosong di formasi tiga paling depan. Duduklah kami di
situ. Ehem, kursi paling depan memang tempat favoritku! Thanks God!
Kami
membeli tiga karcis ke Surabaya langsung. Perkarcis Rp. 47.000. Namun kami cukup membayar Rp. 140.000 saja,
dipotong Rp. 1000. Aku melemparkan pandangan ke barisan belakang menatap
wajah-wajah para penumpang, perasaan takut, curiga, dan negative thinking lainnya perlahan kuhilangkan. Mungkin memang
begini jadi anak rumahan, setiap keluar dari rumah selalu menaruh curiga dan perasaan
awas terhadap orang asing di sekitarnya.
"Oh, God!” Aku menyempalkan perasaan macam itu sesegera mungkin. Asalkan
bersikap wajar, air muka yang tenang dan raut emosi yang stabil, berpenampilan
sesederhana mungkin yang tidak menimbulkan kesan “orang kaya”, barangkali ini
bisa menjadi tips agar tetap aman dalam melakukan perjalanan. Tsah! Baru keluar beberapa kali saja
sudah berlaga ngasih tips. Sok tahu,
nih!
Pukul
01.20 bus berhenti di terminal Situbondo untuk menaikkan penumpang baru.
Sesekali kami bertiga bercanda, ngobrol untuk
menghilangkan suasana tegang dan rasa kantuk yang mulai muncul. Tak berapa lama
kemudian seorang pemuda berpenampilan lusuh sembari menenteng gitar naik ke
Bus. Menyapa para penumpang dengan sapaan khasnya yang disusul dengan petikan
gitarnya perlahan-perlahan. Kurasa aku tak dapat memberinya poin A untuk
petikan gitarnya.
Jreng...
Lalu
menyanyilah ia. Tubuhnya yang kerempeng larut
menyanyikan lagu Jowo Osing dengan
suaranya yang cempreng. Geli sendiri
aku mendengarnya. Baiklah, kudengarkan saja dengan seksama dan harus dengan tempo
yang sesingkat-singkatnya heheheheehh.
Tapi, maaf. Aku tak bisa memberinya duit, rokok, atau permen seperti yang
dipesankannya saat baru memberi sambutan tadi. Maaf, yaa? J
Setelah
tak ada lagi penumpang yang naik, tepat pukul 01.40 Bus kami kemudian melaju
kembali meninggalkan terminal Situbondo. Saat malam hari kota kecil ini sangat
lelap, tidur dalam balutan sunyi. Suasana yang jauh berbeda dengan kota besar
saat malam hari yang tetap sibuk dengan kegiatan malamnya. Beberapa sumber
mengatakan bahwa kotaku ini masuk dalam jajaran kota termiskin di Jawa Timur.
Luas geografisnya yang tak luas, letaknya yang menjorok ke laut dan tak ada
keunggulan hasil alam yang khas membuat kota ini tak semakmur kota-kota lain
yang memiliki ciri khas baik dari hasil alam atau sektor pariwisatanya. Tak
apalah, bagaimana pun “Kota Santri” adalah predikat paling prestisius yang
disandang oleh kota ini. Aku masih ingat kejadian beberapa tahun silam, Kiaiku
beserta ribuan santrinya tumpah ruah turun ke jalan raya, menutup akses jalur
protokol Banyuwangi-Surabaya untuk melakukan demonstrasi atas kasus korupsi
yang dilakukan Bupati Situbondo. Demonstrasi ini sebuah respon sekaligus
desakan agar KPK segera meringkus Bupati yang kemenangannya dimonopoli oleh
suara santri dan masyarakat asuhan Kiaiku itu. Lengkaplah sudah kemiskinan kota
ini. Bagaimana kabar mantan Bupatiku itu, ya? *baik-baik sayang... :D
Jarum
jam menunjukkan pukul 02.20. Sopir menginjak pedal rem tepat di depan sebuah
toko swalayan kecil. Aku mengedarkan pandangan, mencari tahu dimana Bus kami
berhenti. Oh, Besuki. Wah, rupanya Bus ini ngesot dari terminal Situbondo tadi.
Jam segini, jalanan tak begitu ramai, seharusnya kurang dari satu jam waktu
tempuh dari terminal Situbondo ke Besuki. Aku menguap lebar. Rasa kantuk tak
dapat lagi kutahan. Kak Afuf dan Hurin di sebelahku telah lelap. Oh, Pak Edi...
Demi bertemu denganmu... Semoga Tuhan mempertemukan kita dalam mahligai yang
diridaiNya. Wkwkwwkkkk...
Kututup
mataku. Kupasrahkan segalanya kepada Sang Penjaga. Kutitipkan seluruh
perjalanan hidupku kepadaNya. Intinya
tidur! Beberapa waktu kemudian mesin Bus berderum kembali menimbulkan efek
getar pada tubuh, kuintip jam di ponselku, pukul 02.45. Segera kurapatkan
kembali mataku. Semoga aku bisa datang ke tempat acara jauh lebih awal dari
peserta lain, tidak diusir lantaran tidak mendaftarkan diri terlebih dahulu
atau tidak lesehan karena tidak dapat jatah kursi. Hus... Hus... Naudzubillah!
Angin yang berhembus cepat
menghadirkan udara malam yang amat dingin dikombinasi dengan kecepatan Bus yang
melesat dibawah kendali sopir yang kesetanan. Aku tidur semakin lelap saja.
Inilah yang dimaksud tebak-tebakan yang
sering kita dengar, mengapa kita dapat tidur nyenyak di atas Bus? Karena ban
Bus-nya bundar, bukan persegi. Hahahhh!
Cckkkiiiiiitttttt!!!!!
Prrannnggg!!!!!
Bus
tiba-tiba berhenti, ngerem mendadak.
Kaca jendela Bus sebelah kiri pecah berserakan. Segera kubuka mata, terlonjak
kaget. Suasana di dalam Bus seketika itu menjadi riuh dan kacau. Semua mantra
keselamatan segera kurapal. Ada apa ini? Perasaan takut dan cemas menyergap
para penumpang sekaligus. Ada apa? Ada apa???
Pak
Kenek dan Pak Kondektur Bus turun dari Bus dan berlari mengejar pelaku. Menurut
saksi mata, penumpang Bus yang melihat kejadian itu, sekelompok ABG yang tampak
mabuk telah melempar sebuah batu dengan
keras ke arah Bus sehingga tepat mengenai ke kaca Bus bagian kiri yang melintas
di hadapannya. Pak Kenek dan Pak Kondektur yang mengejar ABG itu kembali ke Bus
dengan nihil. Rupanya ABG itu kabur.
Akhirnya
suasana kacau itu tak segawat yang kupikirkan. Kukira kecelakaan hebat telah
menimpa kami. Di kepalaku berkelebat bayangan ban Bus bagian depan
menggelinding lepas, disusul Bus yang mendadak berhenti menyekaratkan seluruh
penumpang yang ada. Lalu polisi berdatangan dengan tim-tim penyelamat. Seperti
di berita-berita di televisi. Astaghfirullah...
Lindungi kami Tuhan....
Pak Kenek, Pak Kondektur, dan Pak
Sopirnya pun berusaha menenangkan diri. Setelah itu perjalanan pun dilanjutkan
kembali. Kasak-kusuk penumpang masih terdengar riuh di dalam Bus. Agaknya
mereka merasa iba pada “aparat” Bus, termasuk kami bertiga. Kecelakaan macam
itu sudah barang tentu “memakan” jatah penghasilan mereka hari ini atau syukur
kalau tidak.
Tak
jauh dari jarak kecelakaan tadi, Bus berhenti lagi, ditunggu Bus baru yang
penumpangnya masih sedikit. Kami semua dioper. Sepertinya memang lebih baik
begitu, tapi aku tetap merasa iba pada Pak Sopir dan rekannya itu. Mereka pasti
bingung.
Tanpa parkir di terminal Probolinggo,
Bus kami terus melaju. Melintasi jalanan kota yang sesak dengan haru biru
kehidupan. Malam merambat di dinding langit yang mulai merekahkan fajarnya.
Kami yang lelap pun terbangun begitu sinar mentari menyorot kaca jendela Bus,
menyilaukan mata. Indera penciumanku menghela aroma pagi yang segar dibauri
gas-gas polutan yang berputar-putar di udara. Begitu membuka mata dengan lebar,
kami tengah melintasi jalan Tol Gempol yang tampak lengang berbeda dari
biasanya.
Pukul
06.07 WIB kami tiba di terminal Bungurasih Surabaya. Begitu turun dari Bus kami
disambut oleh para calo Bus, sopir taksi, sopir Bus kota, dan penjaja makanan
kecil. Kami menolak karena kami masih harus ke Masjid untuk istirahat sebentar,
bersiap-siap untuk langsung ke tempat acara Kampus Fiksi Roadshow di Gedung
Balai Pemuda.
Kami
bertiga melangkah menuju masjid dekat pintu masuk terminal, sayangnya aku tak
menangkap suasana ini ke dalam kamera ponselku. Disana kami membersihkan diri,
mandi, Kak Afuf dan Hurin mengganti solat subuh. Setelah itu kami makan nasi
bekal yang kami bawa. Hahaha... Selain
sebagai bentuk penghematan, membawa bekal makanan saat melakukan perjalanan adalah
salah satu cara menghindari makanan warung cepat saji yang sudah tentu mengandung pengawet makanan yang berbahaya,
atau yang lebih sadis makanan di warung pinggir jalan yang bikin ngeri pas lihat tempat cuci piringnya jorok. Alesan nih, anak. Bilang aja kere!
Selesai bersiap dan makan kami
bertiga bergegas ke terminal
keberangkatan Bus Kota. Sesampainya, kami lalu naik Bus Kota jurusan Tunjungan
Plaza. Lagi-lagi mendapat kursi di bagian depan. Kami duduk dan tak berapa lama
kemudian, silih berganti pedagang asongan masuk menjajakan jualannya. Mulai dari jualan suara alias ngamen, buku-buku mewarnai
untuk anak, buku-buku tutorial hijab, pulpen warna-warni, kancing celana denim,
sampai sabuk celana yang harganya murah meriah hanya Rp. 10.000. Sayangnya aku
tak membeli sesuatupun dari mereka.
Sesaat
setelah mereka mempromosikan jualannya, pukul
07.49Damri yang mengangkut kami pun beringsut meninggalkan terminal yang
ramainya tak berujung ini. Dengan membayar karcis Rp.6000x3= Rp. 18.000, kami
bertiga diantar dengan selamat dan turun di sebelah jembatan penyeberangan yang
tak jauh dari Tunjungan Plaza. Dan tahukah, bahwa hatiku semakin penasaran, apa
saja yang hendak Tuhan hidangkan padaku setelah ini?
[1] aduh, susah ngejelasinnya. yang tau, bantu, ya?!!!
5 komentar:
Inspiratif! Akan lebih menarik jika ditambahkan beberapa foto dukumentasi perjalanan lagi, Mbak :).
saya suka catatan perjalanan. Ini kisah pertama Anda yang Anda tulis di blog, ya? Teruskan. Sebetulnya, menulis catatan perjalanan itu tidak harus secara kronologis, namun bisa pakai sorot balik. Ceritakan langsung perjalanan Anda, misalnya, langsung ke bagian yang 'tegang' atau ada konflik, seperti ketika ada orang yang mengatakan bahwa bus yang ke surabaya itu sudah lewat. Lantas jelaskan yang lain setelah itu.
Satu hal lagi, sebaiknya kita sertakan pendapat atau opini kita tentang nilai nilai kemanusiaan yang ada di dalam perjalanan itu. Ini akan bermanfaat lebih banyak kepada pembaca
Mas Rizal Triarto, aduh... Komentar Anda sangat sedikit, Mas. Baik, lain kali akan saya detailkan dokumentasi fotonya, ya? :D Terima kasih banyak, Mas.
Kiai Faizi, ini bukan yang pertama. Di blog ini saya juga pernah mengunggah catatan perjalanan. Di buku catatan harian saya lebih banyak tulisan semacam puisi, dan refleksi singkat. Hanya satu dua saja catatan perjalanannya. Setelah ini saya akan lebih rajin lagi merekam perjalanan saya ke dalam tulisan. Biar detailnya sekeren Catatan Perjalanan yang Anda tulis :)
Terima kasih banyak, ya, Kiai :D Jazakumullah :)
Wah, kok ya saya yang berdomisili di Surabaya malah gak hadir di acara itu ya? Hehe....
Ohya sebagai informasi, saya mampir ke blog ini juga lebih dulu lewat Kormeddal-nya Kiai Faizi.
Salam.
Posting Komentar