Tampilkan postingan dengan label Refleksi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Refleksi. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 14 Maret 2015

Pembiasaan

Untuk tenang dalam satu situasi, hal pertama yang paling dibutuhkan adalah sikap pembiasaan. Satu hal yang terus diulang dengan interval pendek dan pengulangan yang tetap di satu situasi, akan menimbulkan represi terus menerus terhadap gejolak dalam diri. Namun pembiasaan akan satu hal lain akan membuat gejolak tersebut melemah dan kebiasaan baru yang dikehendaki akan lebih mudah dilakukan.

Contohnya saja, seseorang yang nyaris setiap hari meninggalkan solat Subuh lantaran begadang sepanjang malam dan menyebabkannya terlambat bangun pagi. Ia perlu pembiasaan ekstra dan kemauan kuat untuk mengkompromikan dirinya dengan konsekuensinya sebagai hamba Tuhan, yakni melaksanakan kewajiban Solat. Ia juga harus memejamkan mata dengan rapat dan erat, membunuh dengan tega kehendak diri yang bergejolak melawan pembiasaan yang tengah dilakukan. Di pagi-pagi selanjutnya, secara perlahan, ia harus berupaya untuk memulai kebiasaan barunya dengan 'perlakuan' yang santai namun terus menerus, sehingga gejolak yang semula sangat kuat melawan, pada akhirnya akan lemah. Dan ia pun akan terbiasa bangun pagi dengan melaksanakan kewajiban solat Subuh.

Contoh lagi, seseorang yang tidak terbiasa dengan aktifitas mencuci pakaiannya sendiri dan membebani sepenuhnya kepada pembantu, ia akan stres dengan cucian kotor yang menumpuk saat pembantu pulang kampung atau sedang sakit. Ini tidak akan terjadi jika ia mencuci semampunya dan sebagian lain dibantu oleh si pembantu.

Contoh lain, banyak ibu-ibu yang bingung dan kewalahan dengan anak-anaknya yang tidak suka mengkonsumsi sayur dan hobi makan makanan instant atau snack. Ada kegalauan tersendiri bagi ibu-ibu ini, mengingat kebiasaan buruk menghindari konsumsi sayur dan menyukai makanan instant dibayangi dengan seabrek penyakit mematikan yang telah menunggu di usia sekian kelak. Kalau sang ibu membiasakan anak sejak bayi memakan masakan alami yang ibu olah, tanpa vetsin, tanpa bumbu instant, dan membiasakan anak untuk tidak ngemil jajanan snack berpengawet, maka hal mengkhawatirkan di atas tidak akan terjadi. Sebab logikanya, lidah anak sejak bayi akan menyukai apa saja yang ibunya berikan. Dan setelah itu kita tahu apa konsekuensinya, kebiasaan akan terjadi dan untuk melakukan pembiasaan lain akan sulit dilakukan.

Anak muda yang terbiasa dengan kehidupan mewah, konsumtif, foya-foya, bersenang-senang, dan bermanja-manja, yang lupa bahwa masa tua akan segera tiba dengan setumpuk kewajiban yang harus dipenuhi, mereka akan kaget begitu masa tua datang dengan beragam situasi yang sulit dikendalikan. Saat krisis finansial, misalnya, mereka akan sulit mengendalikan diri dan menumpahkan kegalauannya dengan mengutuk takdir. Mereka lupa bahwa masa muda yang mereka lalui adalah masa kesenangan yang berlebihan.

Banyak hal yang harus kita ubah. Untuk mengubahnya, bukan serta merta 'menghancurkan' bangunan yang sudah ada dengan alat berat. Melainkan menambalnya dengan bahan-bahan konstruksi yang baru sedikit demi sedikit sampai bangunan yang semula tidak kokoh dan buruk rupa penuh lumut, akan kokoh dan indah.

Banyak hal yang harus kita ubah. Mengubahnya dengan interval pendek dan dalam jangka waktu yang tak boleh berakhir. Mengubah keadaan dan membunuh dengan tega perasaan gentar yang penuh gejolak. Anggap saja ikan di atas adalah kebiasaan buruk kita. Ya, demi memakan makanan yang alami dan bergizi, kita memang harus tega membunuh ikan lucu itu dengan sayatan yang tak kecil! Daripada memakan makanan simsalabim tapi penyakitnya simsalabim juga?

Bismillaah... Bi Idznillaah... Namsyi 'ala Barakatillaah... :)

Jumat, 23 Januari 2015

Menyerahlah

Wahai Amarah, menyerahlah engkau!
Serupa tawanan perang di padang pasir di bawah terik kemenangan lawan. Menyerahlah dengan pasrah, serupa kepasrahan burung yang terjatuh saat terbang lantaran sayapnya telah rapuh mengepak di angkasa luas.
Wahai Amarah, mengalahlah engkau!
Serupa mendung awan tebal yang menurunkan hujan, mengalah pada bumi yang kering meranggas. Mengalahlah dengan kelapangan jiwa, seumpama perahu kecil yang mengalah pada ombak yang berdebur dengan gelombangnya yang besar.
Wahai, Amarah, pejamkan gegas matamu! Karamkan perahu-perahu angkuhmu ke palung samudera terdalam. Pejamkan segera matamu, karena senja telah berakhir dan malam tak boleh dilalui dengan amarah; sebab malam diciptakan hanya bagi jiwa yang pasrah karena lelah mengembara.
Wahai, Amarah, menyerahlah!

Kamis, 18 Desember 2014

Mungkin


"Dan Kami jadikan tidurmu sebagai istirahat. (9)
Dan Kami jadikan malammu sebagai pakaian. (10)
Dan Kami jadikan siangmu sebagai penghidupan. (11)"
[QS. An-Naba': 09-11]
Mungkin tidur manusia adalah sebuah kehendak Tawakal. Penyerahan diri seorang hamba akan ruhnya terhadap Tuhan yang telah menganugerahinya kehidupan.
Mungkin tidur manusia adalah wujud dari kepasarahan diri, sebuah fitrah manusiawi yang dibawanya sejak lahir dan azali. Kepasrahan akan kausalitas, saat mengantuk pelupuk dan kelopak mata akan mengirim impuls kepada saraf sensori untuk bergerak mengatup, melepaskan ruhnya untuk meleburkan lelah di udara, mengembara lepas mengumpulkan titik-titik cahaya untuk bekal di pagi hari.
Mungkin Tidur diciptakan oleh Tuhan sebagai pintu penghubung antara alam realitas dan alam tanpa pancang langit serta daratan sebagai pijakan. Mungkin juga sebagai pintu bagi hikmah; dunia yang lebih luas saat mata tak dapat lagi dibuka.

Kamis, 17 Juli 2014

Epistemologi Dakwah

Iqra'. Bi-ismi Robbika al-Ladzi Khalaqa (QS. 96: 1)
Bacalah. Dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan

"Bacalah!"
Bacalah! Apa saja. Segala sesuatu yang dapat ditangkap oleh indera penglihat. Segala sesuatu yang dapat ditangkap oleh indera pendengar. Segala sesuatu yang dapat ditangkap oleh indera pencium. Segala sesuatu yang dapat ditangkap oleh indera peraba. Dan segala sesuatu yang dapat ditangkap oleh indera pengecap. Bacalah! Apa saja yang ada di sekelilingmu. Bacalah dengan teliti dan hati-hati. Bacalah dengan penuh mawas diri.
Bacalah! Setiap deru nafas, setiap detak jantung, setiap aliran darah, setiap gemuruh di dada, dan setiap inci hati dan otakmu! Bacalah, terik mentari yang menyengat, uap yang membubung ke awan, awan yang menggumpal, air yang tumpah ruah, tumbuhan yang menghijau, dedaunan yang mulai menguning, dedaunan yang mulai gugur; kembali ke tanah, air yang meluap marah, batu-batu es yang meleleh, pasir-pasir yang mengendap di lautan yang dihampar dengan luas, ikan-ikan dan tumbuhan di lautan, binatang-binatang yang beranak-pinak, burung-burung yang berkicau dan terbang riuh rendah, dan setiap partikel yang ada di gugusan tata surya. Bacalah! Bacalah! Bacalah! Lalu bergeraklah! Bergeraklah dengan fitrah!
Bacalah... Setiap jengkal di radius langkah. Seperti Muhammad, Nabi yang membaca bahasa kaumnya untuk kemudian mengarahkan mereka ke jalan yang haq. Bacalah terlebih dahulu; dirimu sendiri. Perbaiki. Bacalah sekelilingmu! Lalu gerakkanlah dengan fitrah...

Rabu, 26 Maret 2014

Belajar Kesetiaan dari Sayyidah Rahmah, Istri Nabi Ayub


Nabi Ayyub adalah seorang yang cerdas dan bijaksana. Di dalam tubuhnya mengalir dua tedak kenabian, yakni dari Nabi Ishaq dan Nabi Luth. Sejak ayahnya wafat, Nabi Ayyub menjadi seorang yang sangat kaya raya. Ia mewarisi sejumlah besar hewan ternak yaitu unta, lembu, domba, kuda, keledai, dan himar sehingga tidak ada yang menandingi kekayaannya di negeri Syam.
Nabi Ayyub menikah dengan tiga orang perempuan, salah satunya bernama Sayyidah Rahmah, yang silsilahnya masih bersambung kepada Nabi Yusuf. Dari Sayyidah Rahmah lah Nabi Ayyub memiliki keturunan 24 orang anak, dengan 12 kali mengandung. Dalam kehidupannya, Nabi Yusuf sangat disayang oleh kaumnya. Itu karena beliau sangat dermawan, beliau selalu menyantuni fakir miskin, yatim piatu, dan para janda.
Keshalehan Nabi Ayyub menyebabkan perasaan iri bagi para makhluk sebangsa jin dan iblis. Mereka berkata, “Ayyub benar-benar sukses usahanya, baik dunia maupun akhiratnya. Untuk itu ia harus dirusak salah satu dari keduanya.” Iblis pun menghadap kepada Allah dan berkata,
“Ya Allah, Ayyub sangat rajin beribadah kepada-Mu lantaran ia Engkau lapangkan rizki dan kehidupannya.”
Allah menjawab, “Tidak. Dia orang shaleh. Sekalipun Aku tidak melapangkan rizki dan hidupnya, dia akan tetap beribadah kepada-Ku.”
“Ya Allah, aku ingin menggodanya. Sejauh mana dia tidak lupa beribadah kepada Engkau. Untuk itu beri aku kemampuan untuk menguasainya.” Allah pun memenuhi tuntutan iblis terkutuk itu. Melalui godaan iblis itu Allah menguji iman dan taqwa Nabi Ayyub. Kekayaan Nabi Ayyub yang melimpah seketika di hancurkan oleh mereka. Putra-putri beliau pun mereka racuni sehingga semuanya wafat. Tetapi sayang, para iblis gagal. Nabi Ayyub tetap ikhlas dan tetap istiqamah beribadah kepada Allah. Musibah-musibah besar yang menimpanya sama sekali tidak menggeser dan menggoyahkan keimanannya kepada Allah.
Suatu ketika, iblis datang kembali menggoda Nabi Ayyub yang sedang melaksanakan solat. Ketika tengah bersujud, iblis meniup hidung dan mulut Nabi Ayyub sehingga tubuhnya menggembung dan berpeluh. Kemudian Nabi Ayyub diserang penyakit cacar. Dari seluruh tubuhnya mengeluarkan bau busuk akibat darah dan nanah yang mengalir di permukaan kulitnya dan ulat-ulat pun berjatuhan. Keadaan tersebut membuat sanak familinya jijik kepada Nabi Ayyub sehingga mereka meninggalkannya. Termasuk dua istrinya yang lain, mereka meminta cerai dari Nabi Ayyub.
Semakin lama penyakit di tubuh Nabi Ayyub bertambah parah. Masyarakat setempat yang semula setia menjadi kaum Nabi Ayyub kini berubah menjadi musuhnya. Mereka mengusir Nabi Ayyub agar meninggalkan kampungnya supaya penyakitnya tidak menular. Bersama Sayyidah Rahmah Nabi Ayyub pergi meninggalkan kampung itu untuk hidup terasing agar masyarakat tidak merasa jijik kepadanya. Akhirnya Nabi Ayyub dan Sayyidah Rahmah tinggal di sebuah gubuk tua yang jauh dari pemukiman warga. Nabi Ayyub melihat Sayyidah Rahmah sangat setia kepadanya. Ia begitu rela menemani Nabi Ayyub saat yang lain meninggalkannya, bahkan dalam kondisi terburuk sekalipun.
Suatu ketika Nabi Ayyub berkata pada Sayyidah Rahmah, “Hai Rahmah, pulanglah. Aku rela jika kau menjauh dariku.”
Sayyidah Rahmah menjawab, “Tidak, suamiku. Kau jangan khawatir. Aku tidak akan meninggalkanmu seorang diri. Aku akan berada di sisimu selama hayat dikandung badan.”
Dan untuk menghidupi Nabi Ayyub, Sayyidah Rahmah bekerja di sebuah perusahaan roti. Namun lama kelamaan, masyarakat di daerah itu mengetahui bahwa Sayyidah Rahmah adalah istri Nabi Ayyub. Pemilik perusahaan roti itupun memberhentikan Sayyidah Rahmah dari pekerjaannya, ia berkata,
“Menjuhlah dari kami, sebab kini aku merasa jijik padamu.”
Sayyidah Rahmah menangis, mengadu pada Allah, “Ya Allah, Engkau melihat keadaanku kini. Seolah-olah dunia berubah menjadi sempit bagiku kini. Mereka selalu menghinaku, namun jangan Kau hina aku di akhirat nanti. Mereka selalu mengusirku namun jangan Kau usir aku di akhirat nanti.”
Sayyidah Rahmah akhirnya memutuskan untuk menjual gelungan rambutnya yang berjumlah 12 buah, sangat dan indah dan banyak orang yang menyukainya. Ia pun menjualnya kepada si pemilik perusahaan roti untuk ditukar dengan roti demi agar Nabi Ayyub tidak kelaparan. Melihat roti segar  itu, Nabi Ayyub menyangka Sayyidah Rahmah telah menjual diri. Tetapi Sayyidah Rahmah menampik, dan berkata bahwa rambutnya akan tumbuh kembali bahkan dengan yang lebih indah.
Setiap ada ulat yang jatuh dari tubuhnya, Nabi Ayyub memungutnya kembali dan mletakkannya kembali ke luka-luka di tubuhnya dan berkata, “Hai Ulat-ulat… Makanlah apa-apa yang Allah rizkikan kepadamu.” Penyakit itu semakin parah. Seluruh dagingnya dimakan habis oleh ulat-ulat yang bersarang di butuh Nabi Ayyub sehingga hanya bersisa tulang, urat, dan sarafnya. Menurut suatu riwayat, penyakit ini diderita Nabi Ayyub selama 18 tahun.
Pada Suatu hari Sayyidah Rahmah berkata kepada Nabi Ayyub, “Suamiku, engkau kan seorang Nabi di sisi Tuhanmu. Kalau saja kau mau berdoa untuk kesembuhan tubuhmu, pasti…”
Nabi Ayyub langsung menjawab, “Sudah berapa tahun masa senang kita?”
Sayyidah Rahmah menjawab, “80 tahun…”
“Sungguh malu rasanya jika aku berdoa kepada Allah meminta penderitaan ini segera berkhir, mengingat masa ditimpa musibah belum seberapa dibandingkan dengan masa kita bersenang-senang.” Kata Nabi Ayyub. Penyakit itu semakin bertambah parah saja sampai-sampai ketika mentari terbit menyinari tembuslah sinarnya dari depan sampai punggungnya. Yang tersisa hanyalah hati dan lisannya, sebab hatinya selalu beriman kepada Allah dan lisannya selalu berdzikir kepada Allah. Dan ketika tiada lagi daging pada tubuhnya yang layak untuk disantap, maka ulat-ulatpun saling menyantap sesamanya hingga tersisa dua ekor ulat saja. Yang satu menyantap lisan Nabi Ayyub dan yang lain hendak menyantap hati nabi Ayyub. Saat itulah Nabi Ayyub berdoa kepada Allah,
“Sesungguhnya aku telah ditimpa kemelaratan, sedangkan Engkau lebih pengasih dari segala pengasih…” (QS. Al-Anbiya’: 83)
Kemudian wahyu Allah turun kepadanya, “Hai Ayyub, hati dan ulat adalah milikKsssu, sedangkan derita dan sakitmu adalah dariKu, kenapa harus bersedih?”
Allah pun memberi Nabi Ayyub obat yang dikirim melalui Malaikat Jibril berupa air yang lalu disiramkannya ke tubuh Nabi Ayyub. Allah berfirman,
“Lalu Kami perkenankan doanya, dan Kami lenyapkan penyakit berbahaya pada dirinya, dan Kami datangkan kepadanya seluruh keluarganya semisal mereka, sebagai rahmat dari sisi Kami dan sebagai peringatan bagi orang-orang yang beribadah.” (QS. Al-Anbiya’: 84)
Segera setelah itu penyakit Nabi Ayyub sembuh dan tubunya kembali bersih seolah tidak pernah terkena penyakit. Selesailah ujian dari Allah bagi Nabi Ayyub. Setelah itu, Allah semakin mendekatkan Nabi Ayyub di sisi-Nya, menjadi hamba Allah yang senantiasa dicintai Allah.
***
Sahabatku yang beriman… Dari Kisah Nabi Ayyub banyak hikmah yang dapat kita petik bersama. Salah satunya agar kita tetap bersabar dan beriman kepada Allah dalam keadaan senang maupun keadaan susah. Dalam keadaan sehat atau keadaan sakit. Sebab kesenangan adalah juga bentuk ujian dari Allah, sejauh mana kita mampu bersyukur sebagaimana kesusahan, sejauh mana kita mampu bersabar atasnya.
Selain itu, kita juga belajar tentang kesetiaan Sayyidah Rahmah kepada kondisi terburuk Nabi Ayyub dalam kehidupan rumah tangga kita. Seberapapun buruknya kesehatan suami atau istri, kita harus tetap setia bersamanya. Mendampinginya dengan tulus, untuk tetap bersama-sama beribadah di hadapn-Nya.
Semoga bermanfaat.

*tulisan ini pernah dimuat dalam situs cyberdakwah.com pada tanggal 19 November 2013

Selasa, 13 Agustus 2013

Cerita dari Bawah Laut: Belajar Tentang Kebijaksanaan Hidup dari Film "Finding Nemo"

Nonton Televisi Bersama Adik-Adik
Di beberapa kondisi, saya sering menggunakan jiwa "anak kecil" saya untuk menjalin komunikasi dengan adik-adik saya. Semisal saat nonton televisi, saya selalu berusaha setia menemani mereka menonton film kartun atau animasi yang menjadi favorit mereka semisal Doraemon, Spongebob Squarepants, Larva Toons, Toy Story, sampai Finding Nemo. Tak jarang kami berdiskusi kecil di tengah-tengah keasyikan kami menonton, mulai dari menanggapi pesan yang hendak disampaikan film yang kami tonton sampai menertawakan adegan-adegan lucu yang tampak di layar kaca televisi kami. Menyenangkan!
Dan kemaren malam saat di salah satu stasiun televisi menayangkan ulang sebuah film animasi, untuk kesekian kalinya saya terperangah oleh penggalan cerita kehidupan seekor ikan clownfish mungil yang disuguhkan film animasi "Finding Nemo" kepada saya. Mungkin lebih sepuluh kali saya menontonnya di televisi dengan perasaan senang, berharap tidak melewati sedikitpun cerita di film itu, dengan tanpa rasa bosan, bahkan saya selalu berdecak kagum atas setiap detail cerita dan gambar animasinya.
Ngunduh
Finding Nemo
Finding Nemo adalah salah satu dari film animasi yang dirilis oleh Walt Disney Pictures yang ratingnya cukup tinggi dan paling sering ditayangkan ulang di stasiun-stasiun televisi swasta sejak film unik ini pertama kali diluncurkan bulan maret 2003 (terlambat saya menefleksikannya). Film berlatar laut di Australia ini berhasil masuk box office (menandingi rating film The Lord of the Rings: The Return of the King) dan meraih beberapa penghargaan bergengsi karena di samping animasinya yang sangat baik, film ini juga syarat akan pesan moral yang berharga.
Dikisahkan dalam film ini seekor ikan Clownfish bernama Nemo tertangkap seorang penyelam akibat ia menyelinap jauh dari ayahnya (Marlin) menuju sebuah perahu setelah ia "dipermalukan" oleh ayahnya  di depan teman-teman sekolahnya karena siripnya yang pendek pasca musibah yang menimpa keluarganya beberapa waktu silam.
ngunduh
Seorang penyelam yang telah menangkap Nemo adalah seorang dokter gigi di Sidney Harbour. Ia menempatkan Nemo di sebuah akuarium yang di dalamnya berisi sekawanan ikan yang rupanya juga senasib dengan Nemo: ditangkap dari laut untuk dijadikan ikan hias! Rencananya, Nemo akan dijadikan hadiah untuk keponakan si dokter gigi yang mereka ketahui pernah membunuh ikan yang sebelumnya juga dihadiahkan kepadanya. Mengetahui akan hal itu, sekawanan ikan itu lalu mencari cara bagaimana Nemo dapat kabur dari "rencana jahat" si dokter... Dan endingnya, akhirnya Nemo dapat bersama kembali dengan Ayahnya yang  ternyata selama ini mencarinya sekuat tenaga dibantu oleh seekor ikan Blue Tang bernama Dory. Dan berkat pertemuan sekawanan ikan itu dengan Nemo, akhirnya mereka juga bisa kabur, kembali ke habitat asalnya, di laut yang luas.
Cukup Padat akan Pesan Moral
Sungguh film ini, menurut saya, mengandung beragam pesan moral yang sangat baik. Dari awal  film ini mengingatkan kita bahwa jauh di belahan bumi lain manapun dimana ada makhluk Allah disitu juga ada kehidupan yang tak kalah indah dan beragam yang sulit untuk dibahasakan oleh keterbatasan akal dan indera manusia, yang haknya harus dijaga oleh kita  manusia, sebagai Khalifah di muka bumi. Ini juga sangat membuktikan bahwa Allah sungguh telah Menjaga (Alhaafidh), Menjamin rezeki setiap makhluknya (Arrazzaaq), dan bahwa setiap makhluk selalu dalam pengawasan Allah.
Nemo yang merasa dipermalukan Ayahnya, sebenarnya sang Ayah tidak berniat demikian. Ia hanya memberitahu temannya bahwa Nemo tidak bisa berenang cepat karena siripnya pendek, khawatir teman-temannya akan meningalkan Nemo. Tetapi Nemo yang merasa tersinggung malah berburuk sangka kepada Ayahnya yang sangat menyayanginya. Ini pesan untuk kita, bahwa orangtua selalu menghendaki yang terbaik untuk anaknya, dan kita sebagai anak, harus berbakti kepada mereka.
Kita juga belajar tentang perjuangan yang harus dilalui demi tercapainya keinginan dan harapan, kendati rintangan yang menghalangi kita sangat besar dan menyadarkan kita bahwa orangtua kita sejatinya selalu berjuang demi kebaikan hidup kita, melalui perjuangan Marlin dan Dory yang hampir disantap ikan hiu di tengah perjalanan ketika hendak mencari Nemo.
ngunduh
Selain itu kita juga dinasehati agar bahu-membahu, saling tolong menolong dalam kebaikan tanpa mempedulikan jenis kelamin, suku, ras, dan budaya, ketika ikan-ikan lain dan burung-burung pelikan yang menunjuki arah pencarian Nemo yang hampir tuntas dilakukan Marlin dan Dory.
Lalu tentang loyalitas dalam persahabatan yang sekalipun singkat, sebagaimana yang telah digambarkan oleh ikan-ikan di akuarium si dokter dalam upaya menyelamatkan Nemo dari ancaman bahaya yang mengintainya, ini pun menggambarkan kepada kita, bahwa "barang siapa yang membebaskan seseorang dari kesusahan maka Allah juga akan membebaskannya dari kesusahan hidup yang menimpanya", buktinya, ikan-ikan di akuarium itu juga akhirnya bebas dari kungkungan si doter gigi.
Subhanallah...
Di dalam Alquran ada firman Allah yang menjelaskan bahwa seluruh jagat semesta telah Allah tundukkan kepada manusia:
"Dia (Allah) menciptakan untuk kamu apa yang ada di bumi seluruhnya." (QS Al-Baqarah [2]: 29)
"Dan Dia (Allah) yang telah menundukkan untuk kamu segala yang ada di langit dan di bumi semua bersumber dari-Nya" (QS Al-Jatsiyah [45]: 13).
Namun perlu diingat, bahwa kita juga diperintahkan oleh Allah agar menghindari perbuatan berlebih-lebihan dalam memanfaatkan anugerah alam raya, seperti pada firman Allah:
"Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." (QS Al A'raf [7]: 31)
Ada satu pesan yang juga tidak kalah pentingnya, yaitu agar kita tidak menjadi manusia yang egois dan serakah, menangkap--mengeksploitasi--fauna laut hanya untuk kepentingan pribadi yang tidak jelas manfaatnya, bahkan menganiaya mereka yang sebenarnya adalah saudara kandung kita! Ya, seluruh fauna--danf lora--di dalam laut, di darat dan di udara adalah saudara kandung kita, yang harus kita lindungi, harus kita sayangi sebagaimana kita menyayangi diri kita sendiri.

Minggu, 11 Agustus 2013

Pengaruh Iklan Es Krim di Televisi

Tahukah?
Anda tahu iklan es krim yang menawarkan hadiah liburan ke Disney World USA bersama keluarga atau berhadiah iPad keluaran terbaru di televisi? Yang hanya dengan cara menukarkan stik es krimnya?
Ini,
ngunduh









Tahu? Nah, iya, itu...!
Sejak adik saya kemaren bertanya dimana tempat penukaran stik es krim tersebut saya tiba-tiba sangat terganggu setiap kali iklan itu muncul di jeda acara televisi. Pasalnya memang belakangan ini kedua adik saya seringkali bergosip tentang makhluk aneh bernama iPad, saya khawatir makhluk aneh itu terus membayangi pikiran mereka sehingga membuat mereka selalu ingin membeli es krim tersebut dan mengganggu waktu bersenangnya dalam bermain dan belajar. Sebab menurut saya iPad adalah makhluk yang cukup berbahaya bagi kesehatan saya dan terlebih adik-adik saya.
Sadarkah?
Entah sudah berapa lama televisi kita mengajarkan hal-hal yang dangkal kepada para penontonnya. Pikiran para orang tua, anak muda, dan anak-anak kini telah banyak dipengaruhi bahkan dihipnotis oleh televisi secara kasat mata. Obsesi, khayalan, mimpi, keinginan, bahkan cita-cita mereka kini telah banyak dipengaruhi oleh televisi. Saya sungguh baru menyadari hal itu. Saya melihat, kita, generasi muda kita, kini telah dijadikan objek komersialisasi oleh kapitalis.
Iklan es krim di televisi tersebut mengajarkan pemborosan kepada generasi muda kita dengan cara membeli es krim dan mengumpulkan stiknya sebanyak-banyaknya agar dapat menukarkan poinnya dengan beragam hadiah menarik yang telah ditawarkan.
Saya katakan hadiahnya menarik karena memang hadiah yang ditawarkan adalah barang yang sangat menggiurkan. Bayangkan! Liburan ke Disney World di Amerika Serikat bersama keluarga, siapa yang tidak mau? Pandai sekali pihak advertiser yang menawarkan hadiah ini kepada anak-anak bersama keluarganya! Ya, jelas saja si anak semakin semangat untuk jajan es krim sebanyak-banyaknya karena didukung oleh orang tuanya, agar bisa liburan gratis  bersama ke Disney World. Duh... Duh... Ck... Ck... Alangkah kompaknya!
Nah, hadiah lain yang tak kalah menariknya adalah iPad. Wow. Anak kecil mana yang tidak tergiur? Tentu karena di dalam gadget tersebut katanya banyak fitur-fitur yang asyik dan seru sehingga mereka termotivasi untuk terus mengumpulkan stik es krimnya. Salah satu alasan yang dapat dipertimbangkan adalah faktor keberuntungan yang jika dikalkulasi akan lebih besar peluang memiliki iPad dengan cara ini atau menunggu lama orang tua tergerak hatinya untuk membelikan iPad secara cuma-cuma dengan merogoh kocek yang tidak sedikit.
Saya sendiri sama sekali tidak tahu apa isi di dalam iPad itu sehingga menyebabkan anak-anak menggandrunginya. Tetapi, setahu saya, gadget dan saudara-saudarinya relatif menimbulkan efek negatif terhadap anak kecil. Kurang lebih, ruang gerak mereka di dunia realitas menjadi cenderung kaku, sempit, eksklusif, antisosial, dan semacamnya.
Konsumerisme
Wikipedia (saya belum punya rujukan yang jauh lebih valid) mengatakan bahwa: "consumerism is a social and economic order that encourages the purchase of goods and services in ever-greater amounts" (Konsumerisme adalah tatanan sosial dan ekonomi yang mendorong pembelian barang dan jasa dalam jumlah yang semakin besar) karena itu tidak berlebihanlah jika saya menilai iklan es krim tersebut beserta dampaknya terhadap anak kecil dan masyarakat secara luas sebagai bagian dari konsumerisme.
Iklan es krim tersebut--dan iklan lain--sebenarnya tanpa kita sadari telah membentuk kita menjadi pribadi yang konsumtif, produk budaya yang membuat kita boros, latah, tabdzir (berlebihan) dan tabarruj (pamer) terhadap hal-hal baru yang manfaatnya bersifat sementara. Inilah yang sangat berbahaya bagi generasi muda kita.
Lalu Bagaimana?
Sebaiknya orang tua tidak terlalu memanjakan anak-anaknya dengan barang-barang yang tidak berguna. Didiklah mereka secara bijaksana dengan kedewasaan yang sesuai dengan usianya. Ajarkan mereka arti "sederhana", sederhana dalam hal apapun. Lagi pula, seharusnya advertiser es krim tersebut tidak perlu menawarkan hadiah menggiurkan yang sama sekali tidak bermanfaat seperti berlibur ke luar negeri bersama keluarga kepada konsumen. Bukankah di Indonesia sendiri banyak cagar-cagar alam dan budaya yang wajib diperkenalkan kepada generasi mudanya? Ada Bunaken, Wakatobi, Raja Ampat, Pulau Komodo, "museum-museum" budaya, dll, kenapa tidak itu saja yang dijadikan hadiah? Atau beasiswa pendidikan? Bukankah itu jaaaa......uh lebih bermanfaat?
Lho, tapi kan es krim itu milik perusahaan asing yang besar di Indonesia? Jangan-jangan... Mereka sudah berafiliasi dengan pihak yang produknya dijadikan hadiah?
Ah, Indonesia... Kapan mau maju?

Rabu, 07 Agustus 2013

Mendefinisikan Kembali Makna Lebaran

Insya Allah ini sore terakhir di bulan Ramadhan yang penuh berkah. Biasanya banyak sekali yang dipersiapkan menjelang lebaran. Mulai dari bersih-bersih rumah, halaman rumah, membuat kue, sampai mempersiapkan baju baru. Nah, yang terakhir ini nih yang menjadi topik tulisan saya kali ini.
Seberapa pentingkah baju baru untuk lebaran bagi kita?
Saya melihat, apalagi seperti sekarang ini, saat baju muslim-muslimah sedang ngetrend dengan berbagai model dari model A sampai model Z (maklum saya paling males update berita soal mode), dari harga murah sampai harga yang mahalnya selangit, baju baru untuk lebaran menjadi menu wajib bagi sebagian besar kalangan umat Islam. Saya pun kerap kali merasa begitu. Dari awal saya tahu "apakah bulan Ramadhan itu?" (bulan dimana umat Islam wajib berpuasa lalu berlebaran dengan menggunakan baju plus sandal baru), saya lalu merasa menggunakan baju baru saat hari raya idul fitri adalah suatu kewajiban yang jika tidak saya penuhi akan membuat saya malas bersilaturrahim karena minder, dan perasaan tak nyaman yang lain.
Tetapi belakangan ini, ketika saya mulai belajar secara perlahan mendefinisikan arti "budaya" dan makna "kesejatian", saya kemudian tahu bahwa: baju baru untuk lebaran hanyalah sebuah simbol kecil bagi lebaran itu sendiri.
Sejatinya, lebaran atau Hari Raya Idul Fitri adalah hari kemenangan bagi umat Islam yang berhasil menahan hawa nafsunya selama menjalankan ibadah puasa. Sejatinya, lebaran adalah saat yang paling pas untuk membangkitkan semangat dalam meningkatkan kualitas ibadah kepada Allah, menyambung kembali tali persaudaraan, berbagi kabahagiaan dengan sesama, dan memperbaiki hubungan dengan alam. Tidak salah jika lebaran kita memakai baju baru, tetapi jika kondisi keuangan kita baik. Artinya jika ada uang lebih, bolehlah kita membeli baju baru. Tapi kalau tidak ada, ya sudah, kita tidak usah memaksakan karena gengsi pada apapun dan siapapun
Hhh... Padahal Allah tidak melihat baju baru yang kita pakai.
Jadi salah--saya rasa--jika lebaran hanya tampak di dalam benak kita sebagai ajang untuk memamerkan baju baru.
Tiba-tiba saya sangat menyesali keadaan semacam ini. Adik-adik saya, yang baru mengenal apa itu puasa, secara langsung disuguhi kebiasaan yang menurut saya tidak baik. Pola hidup konsumerisme dan tidak apa adanya. Sungguh saya teramat menyesal. Tapi saya janji,  saya akan berusaha sekuat tenaga kelak anak-anak saya tidak akan saya perkenalkan dengan budaya ini. Semoga Allah Membantu upaya saya. Aamiin.
Selamat tinggal Bulan Suci Ramadhan... Sampai jumpa di pertemuan mendatang dengan perjumpaan yang lebih baik.... Semoga hari-hari saya kedepan menjadi lebih baik dan berkah... Allahumma Aamiin...

Sabtu, 25 Mei 2013

Catatan April


Beberapa hari terakhir desa Sukorejo diguyur hujan. Udara yang demikian lembab membuat suasana hati juga turut malas berktifitas keluar ruangan. Rasanya ingin meringkuk di dalam selimut atau makan makanan yang hangat bersama teman-teman sekamar, demi sejenak melupakan cucian pakaian yang tak kunjung kering. Mungkin itu yang dirasakan oleh sebagian santri Salafiyah. Namun keadaan ini tiba-tiba membawa ingatan saya pada kejadian beberapa hari lalu. Kejadian yang sangat biasa saja, bahkan jika mau saya bisa sekejap melupakannya tanpa bekas, dan dari kejadian sepele itu lahirlah catatan tak penting ini.
            Beberapa hari lalu saya ke Madura (31/03) untuk suatu kepentingan keluarga di kota Pamekasan, acara walimatul ‘ursy saudara. Dari rumah saya di kota Sampang kami sekeluarga berangkat pukul 06.15 menuju kota Pamekasan (03/04). Bagi saya, di sepanjang perjalanan (kemanapun) tak ada hal yang menarik yang dapat dilakukan di dalam mobil, selain mengamati pemandangan di bahu kanan-kiri jalan. Banyaknya pemandangan itu seakan mengajak saya bertafakkur atas segala yang saya lihat. Namun ada fokus yang menarik perhatian saya. Yaitu Hutan Bakau (Mangrove).
            Memasuki kecamatan Camplong perjalanan kami sedikit terganggu macet karena aktifitas di pasar pesisir Camplong. Tapi itu tidak lama karena lalu lintas kembali normal. Mobil kami pun melintasi jalan raya yang berbatasan langsung dengan laut.
            Di tepian laut yang gelombangnya beriak halus, tampak pepohonan bakau tumbuh dengan indah. Kadang rimbun sehingga laut yang luas di baliknya tampak seolah mengintipku di daratan dan kadang pula mereka tumbuh dengan jarang sehingga laut luas di baliknya seolah akan menenggelamkanku. Mareka yang tumbuh dengan jarang, sungguh terlihat merana. Seperti yatim-piatu yang diasuh oleh ayah ibu yang tak sepenuhnya mencintainya. Bagaimana tidak merana, rerimbunan hijau yang sebagian merupakan hasil reboisasi itu mungkin tak seindah dulu. Terlintas di benakku, kondisi alam saat ini saja sangat indah lalu bagaimana keindahan alam ratusan tahun lalu? Ketika alam masih sangat jarang tersentuh tangan manusia. Mungkin bisa dikatakan miniatur dari surga. Amboi, betapa indahnya mungkin. Subhanallah.

            Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia (antara 2,5 hingga 4,5 juta ha) melebihi Brazil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha) dan Australia (0,97 ha). Di sepanjang garis pantai tersebut tumbuh subur pepohonan bakau yang menjadi habitat beberapa fauna laut yang dapat dikonsumsi karena nilai gizinya yang tinggi. Namun beberapa dekade terakhir, populasi bakau di Indonesia semakin menyusut seiring dengan pertumbuhan penduduk, pembangunan, dan industrialisasi.
Secara fisik, hutan bakau berfungsi sebagai penjaga kestabilan garis pantai, melindungi panatai (dan tebing sungai) dari abrasi dan erosi, atau sebagai filter dari air asin ke air tawar. Secara kimia hutan bakau berfungsi sebagai penyerap karbon dioksida dan tempat recycle (daur ulang) oksigen. Kemudian, secara biologi, hutan bakau berfungsi sebagai kawasan untuk berlindung, bersarang, berkembang biak bagi burung-burung laut serta menjadi salah satu tempat berkembangbiaknya udang, kepiting, kerang, ikan, dll.
            Bagi masyarakat awam, mungkin hutan bakau hanya pemandangan bagi mata, pohon-pohon tak berguna, atau bahkan sampah yang menyempitkan ruang gerak manusia. Tapi sadarkah kita, bahwa tanpa pepohonan tersebut, abrasi pantai, punahnya flora dan fauna di dalam laut , bahkan naiknya permukaan laut (akibat global warming), semua itu akan mengancam kehidupan kita saat ini dan anak cucu kita di masa mendatang.
Tiba-tiba saya teringat perkataan Dee dalam Supernova: Partikel-nya. Begini,
”niat mulia manusia menanam ulang pepohonan tidak akan pernah bisa menggantikan hutan yang terbentuk alami melalui proses puluhan ribu tahun. Dengan naifnya, manusia berusaha mengembalikan hutan kembali seperti sedia kala. Di mataku, kegiatan ini cuma simbolis, sekadar pelipur bagi rasa bersalah kita yang telah merampas sedemikian banyak dari alam. Sama seperti Ayah, aku percaya, cuma alamlah yang punya kekuatan untuk menyembuhkan dirinya sendiri. Dengan atau tanpa kita.”
            Saya tercenung. Pikiran saya merambat kemana-mana. Saya lalu teringat kampung halaman saya di Sukorejo. Desa yang sudah memasuki periode keempat dalam kepemimpinannya itu kini melakukan pembangunan gedung besar-besaran untuk fasilitas pendidikan, banyaknya lahan hijau yang kini dibabat untuk proyek investasi akhirat tersebut membuat desa Sukorejo kian hari semakin bercuaca tak menentu. Desa saya menjadi desa yang paling terakhir menerima hujan.


  Ketidakstabilan cuaca ini disinyalir di antaranya akibat semakin banyaknya masyarakat yang menggunakan kendaraan bermotor (penghasil gas Carbon Dioxide/CO2), penggunaan secara berlebihan barang-barang elektronik yang menyebabkan munculnya gas CFC (Chloro Fluoro Carbon), penggunaan paving yang menghambat tumbuhnya tumbuhan, dan tidak sedikitnya petani-petani yang menyarang hujan karena ketidaksiapan tanaman menerima air hujan sebagai pangairan alami.
           Di Sukorejo padatnya kendaraan bermotor di jalan umum adalah sesuatu yang sangat biasa. Bahkan yang tampak menjadi hal yang langka adalah kendaraan nonmigas (seperti sepeda pedal dan becak pedal). Sederet aktifitas masyarakat yang menggunakan kendaraan bermotor juga menjadi salah satu pemicu banyaknya warga yang terserang penyakit berbahaya seperti Diabetes, Stroke, Jantung Koroner, Asam Urat, dll. Yang hebatnya penyakit-penyakit tersebut tidak hanya menyerang kalangan “atas” saja, bahkan kalangan “bawah” juga mendapat “jatah” ini.
Terbukti saat saya melakukan obrolan singkat dengan salah seorang tukang becak di Sukorejo (22/03), saya bertanya lebih baik mana kondisi kesehatan Anda sebelum dan ketika menggunakan becak motor? Tukang becak itu menjawab bahwa kondisi kesehatannya lebih baik sebelum menggunakan becak motor. Namun karena tuntutan ekonomi (termasuk sosial dan budaya), tukang becak tersebut terpaksa menggunakan becak motor.  Fenomena ini menunjukkan betapa kurangnya kesadaran masyarakat terhadap butuhnya (baca: cinta) mereka terhadap lingkungan, dan semakin membengkaknya budaya instant serta pola hidup konsumerisme yang berakibat sangat fatal bagi kesehatan.
Kondisi masyarakat yang demikian kemudian didukung dengan pembangunan gedung besar-besaran, menyebabkan kompleksitas permasalahan lingkungan di desa saya. Sebut saja program yang baru tuntas dilaksanakan, yaitu pemasangan paving di seluruh halaman pesantren baik asrama putra maupun putri. Sepintas, penggunaan paving memang sangat nyaman bagi kebersihan. Lingkungan tampak bersih, rapi, dan tidak becek ketika hujan. Tapi tahukah kita, bahwa penggunaan paving, pada dasarnya sangat mengurangi kepekaan dan kecintaan kita terhadap lingkungan. Kaki yang semula berpijak pada tanah dan bersahabat dengan lumpur, lalu tangan kita yang saling bertegur sapa saat mencabut rerumputan liar ketika mulai meninggi—dan kembali pada penciptaan manusia yang bermaterial tanah—kini terpangkas sudah karena sikap elitis kita. Bahkan bukan hal yang tidak mungkin adalah ancaman banjir lebih-lebih jika sistem darinase tidak diperhatikan, seperti Plaza UOB di Jakarta yang terendam banjir awal tahun kemarin sehingga memakan banyak korban baik nyawa maupun materi.

 Selain itu juga, kini hampir semua rumah (baca: bangunan) di Sukorejo dengan rajin memproduksi sampah plastik—yang pada kenyataannya sulit terurai di tanah—dan gas CFC. Gas berbahaya ini  merupakan hasil dari pemakaian berlebihan dari senyawa Chlor, Fluor dan Carbon. Ketiga senyawa ini dapat ditemukan dalam lemari pendingin (kulkas), kaleng aerosol (kaleng parfum, kaleng obat nyamuk cair, dll), Air Conditioner (AC), dsb.
Semua gas berbahaya yang merupakan sisa aktifitas manusia di bumi menyebabkan lapisan ozon, yang melindungi bumi dari radiasi, kini menipis sehingga bumi semakin panas, permukaan laut naik yang disebabkan mencairnya gunung es di daerah kutub, cuaca yang sulit diprediksi (tiba-tiba terik, tiba-tiba mendung), hujan asam (hujan yang turun dari awan yang tercemar zat polutan sehingga tumbuhan yang terkena air dari hujan asam ini akan rusak dan fauna dilaut akan sulit menmukan oksigen).
Terus terang saya sedih dengan keadaan ini. Saya takut. Keadaan alam yang beginikah yang kelak akan saya wariskan pada anak-cucu saya…? Kasihan mereka kelak. Diam-diam saya membayangkan, seandainya Sukorejo dihijaukan kembali… Betapa indahnya, gedung-gedung bertingkat akan  tampak ramah dengan pepohonan yang tumbuh di dekatnya, masyarakat dan santri mengadakan penanaman bibit pohon dalam rangka penghijauan, mengurangi setidaknya 50% angka pengguna kendaraan bermotor (mengganti sepeda motor dengan sepeda pedal atau mengganti kembali becak motor dengan becak pedal secara serentak) dan penjagaan ketat terhadap kebersihan (selokan dan membuang sampah ke tempat semestinya).
Pembaca yang budiman, bila ada beberapa orang saja, yang juga setidaknya sama-sama memikirkan keadaan ini namun tak punya teman untuk berbagi keresahan dan melakukan tindakan nyata untuk lingkungan kita ini, jangan cemas. Ayo, ajak saya untuk menemani Anda. Namun jika bayangan saya ini hanya mengusik ketenangan para pembaca, baiklah, semoga Allah SWT Yang Mengatur semuanya, Membantu saya.

Bacaan pendukung catatan ini:
  • Watt, Fiona & Francis Wilson. 2004. Sains & Percobaan dari Usborne, Cuaca & Iklim. Pakar Raya: Bandung.
  • Dee. 2012. Supernova; Partikel. Bentang Pustaka: Jakarta.
 12 April dan 05 Mei 2013

Jumat, 14 Desember 2012

PERCAKAPAN GALAU

Setelah tergesa-gesa berangkat ke kampus untuk mengikuti kuliah malam, ternyata sampai di kampus…
            Mrs. Hil mengirim pesan kepada Bebh, sahabatku;
            “Assalamualaikum…
            Bebh, this is Mrs. Hilya.
            Unfortunately, I can’t come tonight
            for our class.
            I wan’t you all to make an opinion
            about Shahrukh Khan. Indonesian-English. Tq.”
            Sip! Terbayarlah rasa malas yang sungguh luar biasa untuk kuliah Bahasa Inggris tersebut. Akhirnya aku, Ocha, dan Bebh berangkat ke rumah Bebh untuk yaa… katakanlah, obrolan santai mencari malam begitu. Sesampainya di rumah Bebh, rupanya Dyan, salah satu sahabat yang tidak sekampus denganku telah menunggu. Wajahnya muram dan galau lantaran ada masalah dengan pihak Akademi Kebidanan tempatnya berkuliah. Namun begitu aku bukan mau bercerita masalah yang menimpa Dyan. Masalah itu, biar kami simpan saja.
            ----
            Malam beranjak senyap. Samar-samar aroma pandan menyeruak di udara. Malam-malam begini apakah masih ada ibu-ibu yang menanak nasi? Aku teringat ibu yang kadang menyelipkan beberapa daun pandan di dalam beras yang sedang ditanak. Ah, bukan. Bebh bilang itu aroma Musang Pandan yang sering berkeliaran di kebun sebelah timur rumahnya. Ih… Seram. Aku bergidik ngeri.
            Disusul kemudian gerimis turun dengan pelan. Udara dingin berhembus menyelinap kedalam pori-pori cengkrama kami.
            “Kapan, ya… Aku punya Blackberry…” celetuk Ocha tiba-tiba. Haha.. Aku menyahut,
            “Halah… Hari gini Blackberry udah ga musim.”
            “Ya, aku juga sebenernya pengen yang Curve, tapi mahal.” Sahut Bebh. Wah… menular.
            “Hah? Blackberry Curve maksudnya? Itu kan jadul. Sekalian aja Blackberry Dacota, lima jeti. Hahaha…” Tangkis Dyan. Gleg. Ponsel apaan tuh sampai seharga lima juta. Aku mengedarkan pandangan kepada semua temanku satu-persatu.
            “Boh… Ck ck ck ck… Ga sesuai banget dengan isi kantong. Aku pengen yang slide.” Jawab Ocha.
            “Oh, itu Blackberry Torch.” Seru Dyan hapal.
            “Nah, itu tiga jeti.” Kata Bebh. “Aku juga pengen Samsung Galaxy Tab yang warna putih. Keren…!” Lanjutnya sambil menghadap ke udara, membayangkan smartphone tersebut.
            “Sekalian juga iPad sama Android, biar lengkap. Aaa… pengen… pengen…” Ocha mupeng. “Pokoknya aku harus punya Blackberry…!” Tandasnya.
            Aku yang sejak tadi celingukan, dengan penasaran aku bertanya. “Memang apa gunanya sih?”
            “Ya, kan enak, chatting, Facebook, Twitter… keren, gaul pula!” Papar Dyan.
            Aku hanya menjawab sekenanya. Selanjutnya di pikiranku berkelebat berbagai macam-macam keinginan. Balckberry mungkin menempati angka yang sekian-sekian dalam keinginanku, namun hanya satu yang mendesak di angka pertama keinginanku: Aku Ingin Punya Perpustakaan.
            Uang sebanyak lima juta, untuk sebuah ponsel atau elektronik lain yang kita belum tahu memaksimalkan penggunaannya agar benar-benar bermanfaat, dihambur-hamburkan. Bukankah uang sebanyak itu jika dibawa ke toko buku akan mendapat puluhan buku atau beberapa kardus berisi buku—syarat ilmu pengetahuan—yang tidak sedikit bahkan jika kita putar untuk investasi akhirat dengan membuka Taman Baca misalnya, atau yang paling sederhana kita mengamalkan isi dari buku-buku tersebut, bukankah itu jaaauh lebih baik?
            Masya Allah… Modernisasi, sebegitukah?
            Heran, separah inikah tuntutan pergaulan zaman sekarang? Kebutuhan tersier disejajarkan dengan kebutuhan sekunder atau lebih parah menjadi kebutuhan primer. Software yang manakah yang harus diupdate demi kembalinya mindset pada khittahnya? Sehingga tidak demi gengsi kita mengorbankan banyak hal.
            Ponsel bagus itu tidak penting. Yang penting dengan siapa kita berkomunikasi? Dengan orang yang baik atau malah sebaliknya? Dengan cara yang baik atau tidak?
            Ponsel yang aku punya saat ini sudah sedikit lebih maju dari ponselku yang sebelumnya. Tetapi aku belum bisa memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya pemanfaatan. Malah aku seringkali menggunakannya dengan hal-hal negatif. Lalu bagaimana jika aku memakai ponsel seperti yang mereka inginkan? Ah… sulit rasanya membayangkan. Lagi pula ponsel semahal itu tidak mungkin kalau hanya diisi pulsa lima sampai dua puluh ribu, sebagaimana ponsel biasa. Percuma karena fitur-fitur di dalamnya akan sia-sia tak terpakai.
            ----
            Gadget-gadget yang mulai bermunculan saat ini merupakan tuntutan kemajuan zaman. Mereka yang memproduksi memang tengah memperbarui kemajuan perekonomian dunia, tetapi di ruang lain, kebersahajaan tersakiti, kelas sosial semakin kontras, rasa empati mulai terkikis, semuanya serba gengsi, berpotensi tabdzir, tabarruj, dan konsumerisme.
            Mungkin sikapku yang begini memang tampak sok tidak ingin terhadap barang-barang itu. Kalau inginnya sih ingin. Itu manusiawi sekali. Tetapi bukankah masih banyak hal yang lebih penting yang harus dipenuhi?
            Dalam hal dunia kita harus melihat yang lebih rendah dari pada kita dan sebaliknya, dalam hal akhirat kita harus melihat yang lebih tinggi dari kita.
            ----
            Dear, Allah…
            Bimbing hatiku untuk terus bersabar dan bersyukur atas segala keterbatasan dan segala nikmat yang telah Engkau Karuniakan kepadaku…
            Dear, Allah…
            Bimbing hatiku untuk terus menjadi pribadi yang semakin tua semakin  berusaha untuk menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi sesama…
Dear, Allah…
            Bimbing hatiku untuk terus qanaah
            Bersama pulsa yang tak pernah lebih dari dua puluh ribu
            Bersama komputer jadul dengan CPU yang mendesing seperti desing kipas angin yang sekarat dan monitor yang kembung
            Bersama internet yang loadingnya sangat lambat
            Bersama dompet yang isinya tak pernah meluap
            ----
            Ah…
            Apapun semua itu pemberianMu yang senantiasa setiap detik membuatku terus belajar dewasa menyikapi banyak hal.

Selasa, 11 Desember 2012

Transformasi Komunikasi


Sukorejo, Tuesday, November 20, 2012
Dalam berkomunikasi, saya memiliki pengalaman yang sangat tak terlupakan seumur hidup saya. Pengalaman tersebut tentu sangat berharga, sebab boleh jadi jika saya tidak memiliki pengalaman tersebut kemungkinan besar saya tidak akan menjadi akademisi seperti sekarang ini.
Dulu, saat pertama kali saya memasuki dunia SMA, sebagaimana teman-teman lain yang saat itu digandrungi internet saya pun turut terbawa dalam arus alamiah tersebut. Sebut saja Facebook. Sebagai social network dengan segala atribut menariknya saya menjadi salah seorang yang sangat menyukai bahkan kecanduan dengannya. Satu hari saja jika tanpa log in, update status, berkomentar ini itu di status orang, perasaan saya gelisah dan geregetan sekaligus penasaran, “Ada berita terbaru apa saja ya di Facebook?” sungguh saya terkena virus Facebook Addicted.
Di dalam Facebook, saya mengenal banyak orang dari berbagai macam latar pendidikan, sosial, ekonomi dan budaya. Keberagaman tersebut tentunya menyebabkan watak yang berbeda dan cara berkomunikasi yang berbeda pada setiap individunya. Sebenarnya inilah yang menjadi sudut pandang kecanduan saya terhadap Facebook.
Oleh Mark Zuckerberg, saya dikenalkan kepada beberapa akademisi, sastrawan, aktivis sosial dan lingkungan, dan pengacara (pengangguran banyak acara) yang semuanya sangat hebat di bidangnya. Mereka mayoritas memiliki hobi membaca sehingga tak pelak wawasan mereka luas dan etika mereka dalam berkomunikasi secara tertulis di Facebook juga bagus. Oleh karena itu secara tidak langsung, lingkungan ini mengarahkan saya pada hal yang setidaknya sama dengan mereka.
Melalui mereka kecintaan saya terhadap buku semakin terpupuk. Kalau dulu ketika SD dan SMP saya menyukai buku-buku Teenlit, Metropop dan buku bergenre Novel lainnya, maka sejak SMA saya mulai merambah ke dunia buku yang berkali-kali menyuguhkan ilmu pengetahuan setiap saya mengulangi membacanya. Di masa SMA ini saya bertemu dan berkenalan dengan Dewi Lestari (Supernova; Kesatria Puteri dan Bintang Jatuh, Akar, Petir, Partikel. Perahu Kertas, Madre), Gus Mus (Satu Rumah Seribu Pintu, Koridor), Andrea Hirata (Padang Bulan dan Cinta di Dalam Gelas), buku-buku tentang Gus Dur, Asma Nadia (Istana Kedua, Emak Ingin Naik Haji, Catatan Hati, Rumah Tanpa Jendela), Ernest Hemingway (The Old Man and The Sea) serta beberapa penulis lain yang menyuguhkan buku-buku bergizi lainnya.
Begitu juga style mereka dalam mengapresiasi Bahasa Indonesia, mereka sangat menghindari bahasa dan gaya berbahasa alay atau gaya berbahasa yang style-nya membingungkan lawan komunikasinya. Seperti:
“Horeee… Hrii nii aqquwh gaGh dA doseN.a, onLine yuKKk..!”
Kalau pun ada di antara mereka yang keluar dari kaidah berbahasa Indonesia, mungkin itu hanya bahasa-bahasa ekspresif dengan lelucon segar di dalam forum-forum non-formal bersama-sama teman sekomunitasnya.
Dengan mencontoh mereka, saya terus berusaha melatih tata bahasa Indonesia saya dengan menulis status dan berkomentar di status orang lain dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Sementara di sekolah, saya berproses di tengah teman-teman dan guru yang tidak begitu mendisiplinkan tata Bahasa Indonesia. Saya ambil contoh, salah satu guru mata pelajaran Bahasa Indonesia saya setiap memberi penilaian terhadap tugas-tugas menulis siswinya seringkali melewatkan aspek penting dalam menulis dengan membiarkan pola penulisan yang tidak sesuai dengan kaidah Bahasa Indonesia, susunan kalimat yang tidak teratur bahkan terkesan tidak masuk akal, semuanya tidak diteliti secara detail sehingga siswi cenderung mengentengkan mata pelajaran ini.
Pergaulan saya di dunia maya membuat saya perlahan-lahan membangun prinsip agar menjadi akademisi yang  taat pada lalu lintas Bahasa Indonesia. Bagaimana merespon kalimat orang lain, bagaimana etika berkomunikasi di ruang publik seluas Facebook, dan ditambah dengan teman-teman yang menuntut saya harus begitu semua itu membuat saya berpikir selangkah lebih maju dalam berbahasa di antara teman-teman di lingkungan off-line saya.
Dan jauh di dalam lubuk hati saya, tiba-tiba saya memiliki keinginan besar untuk menjadi seorang penulis meski upaya-upaya yang saya lakukan masih sangat tidak sesuai dengan impian besar saya.
Sikap saya yang demikian, menjauhi Alayisme, membuat saya dilecehkan oleh penganut Alayisme tersebut. Saya diklaim kuno, kaku, tidak gaul, dll. Ah, tapi saya tidak peduli. Saya malah semakin termotivasi untuk terus taat pada lalu lintas bahasa Indonesia dan setidaknya saya berusaha belajar menepati Sumpah Pemuda yang terakhir:
“Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.” (Sumpah Pemuda dalam versi ejaan lama)
Mengenai hal ini saya teringat tulisan Asma Nadia:
“Daripada menyingkat Assalamu ‘Alaikum jadi “Ass” [dalam bahasa Inggris ass berarti apa ya?] Lebih baik sempurnakan ucapan salam. Ucapan salam adalah doa, dengan mengucapkan camlequm atau lamlekum, kita membatalkan sebuah doa. Ya Allah, jangan dirubah “Ya Olo ” atau “Ya aloh”, jangan katakan “Masa olo” tapi Masya Allah. Degradasi ajaran Islam, salah satunya melalui bahasa sasaran empuknya melalui anak-anak dan generasi muda, jadi jangan alaykan terminologi Islam.”1
Saya sangat sepakat dengan pendapat Asma Nadia di atas. Sebab dengan demikian saya merasa ada perbedaan mana warga negara yang menghormati dan tidak menghormati Bahasa Indonesia.
1) Asma Nadia, Twittografi Asma Nadia (Depok: Asma Nadia Publishing House, 2011), hal. 60