23.19 -
Cerita
No comments
![](http://2.bp.blogspot.com/-JT3fWNy_jgM/TpEPF0wj1vI/AAAAAAAAEP8/vq7ZtgglKGw/s1600/ico_file.png)
![](http://2.bp.blogspot.com/-8N6vJXITgi4/TpEPD0ikCcI/AAAAAAAAEPs/YTFszF--q68/s1600/ico_comment.png)
Minus dan Plus
Hai, namaku Mizan. Tepatnya
Mizana Zain. Indah, bukan, namaku? Kata Ayah, arti namaku adalah “hiasan
timbangan”. Belakangan aku tahu maksud dari namaku adalah amal baik yang menghiasi
timbangan amal di hari perhitungan nanti. Sungguh aku kagum pada Ayah karena
telah memberiku nama yang demikian indah dan sarat akan makna.
Kagum sekaligus cemas.
Hidup ini sangat sulit, ya? Aku
tak habis pikir kenapa Tuhan memberiku jalan hidup yang bagiku sangat tidak
masuk akal. Kenapa minus ditambah minus? Kenapa tidak saja plus ditambah plus?
Saat ini aku sedang menunggu
senja mengantarkan hidangan dari langit padaku. Aku puasa, dan kini aku sedang
menunggu azan sembari mangkal di
depan masjid agung. Aku puasa sunnah awal Rajab. Ayah dan Ibu telah membiasakan
ibadah sunnah ini padaku sejak aku baru akil baligh dulu. Katanya sih
agar kita dapat mengendalikan kehendak buruk dalam diri dan belajar berempati
pada saudara sesama yang dalam keadaan lapar.
Empati? Bukankah keluargaku
juga termasuk dalam “saudara sesama yang harus di-empati-kan”? Ah, aku bosan!
Aku bosan hidup seperti ini.
Hidupku datar-datar saja, tak ada warna. Jauh berbeda dengan kehidupan temanku yang
lain. Saat mereka sibuk eksis di sosial media melalui gadget cerdas, aku
masih setia dengan ponsel yang nyaris tanpa kamera. Paling istimewa adalah
fitur radio. Saat mereka eksis hangout ke mall atau bookstore pulang
sekolah, aku sudah di rumah berkutat dengan ulenan tapioka dan terigu.
Saat mereka bermotor matic keren ke sekolah, aku masih saja bertahan
dengan gerobak cimol yang kudorong dengan ayah selepas asar sampai menjelang
isya. Saat mereka...
“Mimi, kenapa bengong begitu?
Kamu sakit, Nak?” Wajah ayah yang tiba-tiba muncul di hadapanku memecahkan
lamunanku seketika.
“Eh, tidak, Ayah. Mizana tidak
sakit.” Jawabku sekenanya.
“Ayo siap-siap, sebentar lagi
azan maghrib.” Ajak ayah. Aku lalu bangkit dari dudukku setelah lelah melayani
pelanggan yang lumayan lebih banyak dari hari biasanya. Sebelum azan
berkumandang kami membersihkan gerobak cimol. Melap bagian-bagian yang kotor.
Samar kudengar napas ayah mendengus, sepertinya ayah sudah lelah. Beberapa
bagian di bajunya tampak basah oleh keringat. Kutatap dalam-dalam wajah ayah.
Ada garis waktu yang tergurat kasar disana.
Setelah azan, berbuka, dan
solat berjamaah di masjid ayah memutuskan untuk langsung pulang karena cimol
yang kami jual sudah laku semua, padahal kami membuatnya lebih banyak dari
sebelumnya. Insya Allah kami mendapat rezeki lebih hari ini. Alhamdulillah.
Kami berjalan menjauh dari mega
yang perlahan berubah menjadi hitam pekat di arah barat. Pelan sekali langkah
kami.
“Mimi...” Panggil ayah.
“Ya, Ayah?” Jawabku seraya
menoleh pada ayah di sampingku.
“Mimi, jangan remehkan apa pun
yang kita miliki saat ini. Sejak ibumu tiada dulu, cinta Ayah semakin besar
padamu, Nak.” Ucap ayah. Perkataan ayah itu menyadap perbincangan keluhanku
pada-Nya.
“Iya, Ayah.” Aku tak mampu
menjawab lebih dari kalimat itu. Hanya itu yang bisa kubalas.
“Maafkan Ayah telah mengajakmu
lelah dan berkeringat seperti ini, ya?” Ucapnya pelan.
“Ayah?” Aku kaget. Sungguh,
lidahku kelu untuk menjawab lebih banyak.
“Maafkan Ayah, Nak.” Ucapnya
lagi. Sakit hatiku mendengarnya.
“Jangan katakan itu, Ayah.” Ada
basahan yang merembes dari mataku.
Malam itu, selepas kami solat
isya berjamaah, Ayah bercerita banyak hal; bahwa tak ada ujung bagi sebuah ikhtiyar.
Karena hidup adalah rangkaian ikhtiyar yang tawakal menjadi
pengingatnya. Dalam garis takdir, kita berjalan dengan beragam aral yang
berbeda satu sama lain. Itu garis tetap, lurus dan tak dapat dibelokkan. Segala
sesuatu yang kita miliki bukan untuk kita hitung, melainkan untuk kita syukuri.
Bukankah di masa muda, Rasulullah tidak bersenang-senang sebagaimana pemuda
lainnya? Bukankah Rasulullah justru lelah bersimbah keringat, menggembala domba
milik orang lain, menjadi pedagang, sampai beliau berani menerima tawaran Sayyidah
Khadijah untuk menjadi qawwamnya? Sungguh potongan masa muda yang amat ‘berat’.
Di atas kasur lapuk dan
berbantal kapuk usang, aku menakar waktu. Bukankah minus ditambah minus justru
akan menjadi plus? Suatu upaya yang berbeda jika plus ditambah plus.
Ayah, dekap aku selalu dalam doamu.