Kamis, 18 September 2014

Kecewa dan Karma



Malam ini benar-benar menyedihkan. Saat kutulis cerita ini, internetku sedang dalam gangguan dan aku belum bisa langsung mengunggahnya ke blog.

Barangkali cerita ini terlalu berlebihan. Lebay atau sejenisnya. Tapi... Sesungguhnya... inilah aku yang sesungguhnya. Aku selalu kagum pada ciptaan Allah bernama “Persahabatan”, begitupun aku sangat menghargai persahabatanku dengannya, dan berharap tak ada hal apapun yang memisahkan persahabatan ini.

Perjalanan pada hari minggu itu di Glenmore-Banyuwangi (14/09) bagiku tak lebih dari sekedar menikmati perjalanan menyusuri belantara hutan Baluran atau membeli sebuah buku dari penerbit yang tak cukup populer dari toko buku yang tak bisa kukatakan besar. Rencana bertemu dengan seorang sahabat di sebuah helatan pernikahan gagal dengan tanpa jejak pertemuan sedikitpun. Aku yakin kejadian memilukan ini ada unsur kesengajaan. Ya, kesengajaan yang Tuhan takdirkan.
Hampir tiga jam aku menunggunya di parkir mobil dengan gelisah dan kalut tanpa kabar apapun darinya. Telepon dan pesan singkat yang kukirim ke ponselnya sama sekali tak ada respon. Apa sih maunya orang itu? Apakah memang sengaja disetting begini? Menunggu, dengan cuaca yang cukup gerah siang itu, pukul sebelas sampai pukul satu siang, telah membuatku menandaskan berkeping-keping crackers ber-taste daun bawang dan berbotol-botol air mineral. Ya, sungguh! Sebagaimana lazimnya, menunggu memang hal yang sangat mengesalkan. Kenyang? Ya, aku kenyang. Tapi soal nasib perut tak kuhiraukan bagaimana kondisinya sebab yang kualami ketika itu adalah kekecewaan yang sangat mendalam.
Semua seolah tiba-tiba bagiku. Kemarin saat kami merencanakan pertemuan kami yang pertama itu, hal yang dapat kami bayangkan adalah pertemuan singkat dengan sapaan manis dan tawa lepas khas sepasang sahabat yang begitu tulus. Namun, apalah daya, semua nyaris tak terbayangkan bahwa apa yang kami bayangkan tak terwujud secuilpun. Oh, malangnya!
Setelah acara pernikahan berakhir dan para undangan berhamburan keluar dari tempat acara, mobil merah yang kuaniki pun keluar dari area parkir roda empat lalu menunggu di seberang jalan. Aku keluar dari mobil, menunggu berkumpulnya keluarga yang semobil denganku. Tiba-tiba dari tempat acara sosok yang tunggu muncul dengan wajah celingukan sembari tangannya sibuk memencet-mencet ponselnya. Mungkin orang itu baru melihat beberapa pesan singkat dan belasan missed call ku. Ya, itu dia orangnya! Sosoknya yang mencuat di antara banyak orang telah meyakinkanku bahwa orang itu adalah orang yang kutunggu. Berkemeja hijau (batik?) lengan pendek, tinggi tubuhnya menjulang, wajahnya yang jenaka dibingkai oleh rambut gondrong yang sangat aneh di mataku. Hhh... Ada selaput bening di mataku. Teganya kamu lakukan semua ini padaku!
Setelah semua keluarga berkumpul kami pun naik ke mobil dan mobilku pun melaju dengan kecepatan sedang. Sembari saling berkirim pesan dengan lelaki itu aku menoleh ke belakang. Kulihat ia yang sedang berdiri di pinggir jalan raya tengah kehilangan jejakku yang terlah berlalu.
Di sepanjang perjalanan pulang aku menatap kosong apa saja yang kulihat. Pemandangan megah jajaran pegunungan vulkanik Gunung ijen dan Gunung Raung dari kejauhan kuabaikan dengan tega meskipun aku tahu mereka menyapaku. Pemandangan laut biru Selat Bali yang begitu anggun turut kuabaikan. Aku mati rasa...
Begitu tiba di daerah kota kuminta Ayah agar mampir sebentar ke toko buku Togamas. Letaknya berhadapan dengan Roxy Square dan bersebelahan dengan Warung Soto. Sementara yang lain makan di Warung Soto aku “menyibukkan diri” di Togamas. Toko buku kecil berlantai dua itu rasanya hambar bagiku. Kupaksakan mencari buku yang menarik, tapi nihil. Koleksi buku disitu sangat sedikit, berbeda dengan Togamas Jember atau Togamas Malang. Namun akhirnya pilihanku jatuh pada sebuah buku berjudul “...” (Aduh... Lupa...)
Setelah selesai membeli buku dan makan di warung soto kami pun melanjutkan perjalanan pulang. Sungguh gagal rupanya, upayaku melupakan kekecewaan itu. Membeli buku dengan berharap aku pulang ke rumah dengan tanpa “tangan kosong” tak cukup mengobati perasaan itu. Oh, Tuhan...
Senja perlahan turun begitu perjalanan telah sampai  kembali di hutan Baluran. Hutan yang tak ada jaringan alat komunikasi dan yang otonomi daerahnya diperebutkan Kapubaten Situbondo dan kabupaten Banyuwangi ini kering meranggas karena musim telah memasuki pertengahan musim panas. Pepohonan gundul. Daun-daunnya yang kering berserakan di tanah. Dengan kecepatan 80 KM/ Jam laju mobil kami pemandangan di sepanjang jalan menimbulkan kesan mewah tersendiri bagiku, pepohonan Jati yang menjulang tinggi tampak menimbulkan efek garis-garis vertikal artistik dengan berlatarbelakang matahari yang mulai berwarna jingga pekat. Subhanallah! Tanpa henti aku berdecak kagum.
Begitu keluar dari area hutan Baluran dan sinyal di ponselku muncul kembali beberapa pesan singkat masuk. Dari sahabatku itu. Isinya pesan yang tak dapat kutangkap dengan rasa maafku. Namun aku tahu kendati pesan singkatnya selama ini nyaris neyeleneh aku tahu penyesalan besar telah melandanya. Untuk sementara kuabaikan.
Hari itu berakhir penat. Aku memejamkan mata, melelapkan semua lelah di kasur kecilku.

Saat kutulis dan kuunggah cerita ini semuanya telah membaik. Kami saling memaklumi; bahwa setiap rencana yang telah dirancang manusia sangat tidak lepas dari kendali dia, Allah, Tuhan Semesta Alam yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dan satu hal yang kulupakan kala itu; aku pernah mengabaikan seseorang yang hendak menemuiku. Mungkinkah ini karma? Jika ya, semoga hal ini tidak menimbulkan karma yang sama pada sahabatku yang hatinya baik itu. Amiin, dengan segala dimensi maknanya.

2 komentar:

duuhhh...
ce' ngennesnya paean saat itu,,,
tapi lebih baik melihatnya dari kejauhan dari pada tidak sama sekali,,,

Ophie, tidak. saya sudah biasa dikecewakan kok :)