09.52 -
Refleksi
5 comments
![](http://2.bp.blogspot.com/-JT3fWNy_jgM/TpEPF0wj1vI/AAAAAAAAEP8/vq7ZtgglKGw/s1600/ico_file.png)
![](http://2.bp.blogspot.com/-8N6vJXITgi4/TpEPD0ikCcI/AAAAAAAAEPs/YTFszF--q68/s1600/ico_comment.png)
PERCAKAPAN GALAU
Setelah
tergesa-gesa berangkat ke kampus untuk mengikuti kuliah malam, ternyata sampai
di kampus…
Mrs. Hil mengirim pesan kepada Bebh,
sahabatku;
“Assalamualaikum…
Bebh, this is Mrs. Hilya.
Unfortunately, I can’t come tonight
for our class.
I wan’t you all to make an opinion
about Shahrukh Khan.
Indonesian-English. Tq.”
Sip! Terbayarlah rasa malas yang
sungguh luar biasa untuk kuliah Bahasa Inggris tersebut. Akhirnya aku, Ocha,
dan Bebh berangkat ke rumah Bebh untuk yaa… katakanlah, obrolan santai mencari
malam begitu. Sesampainya di rumah Bebh, rupanya Dyan, salah satu
sahabat yang tidak sekampus denganku telah menunggu. Wajahnya muram dan galau
lantaran ada masalah dengan pihak Akademi Kebidanan tempatnya berkuliah. Namun
begitu aku bukan mau bercerita masalah yang menimpa Dyan. Masalah itu, biar
kami simpan saja.
----
Malam beranjak senyap. Samar-samar
aroma pandan menyeruak di udara. Malam-malam begini apakah masih ada ibu-ibu
yang menanak nasi? Aku teringat ibu yang kadang menyelipkan beberapa daun
pandan di dalam beras yang sedang ditanak. Ah, bukan. Bebh bilang itu
aroma Musang Pandan yang sering berkeliaran di kebun sebelah timur rumahnya.
Ih… Seram. Aku bergidik ngeri.
Disusul kemudian gerimis turun
dengan pelan. Udara dingin berhembus menyelinap kedalam pori-pori cengkrama
kami.
“Kapan, ya… Aku punya Blackberry…”
celetuk Ocha tiba-tiba. Haha.. Aku menyahut,
“Halah… Hari gini Blackberry udah ga
musim.”
“Ya, aku juga sebenernya pengen yang
Curve, tapi mahal.” Sahut Bebh. Wah… menular.
“Hah? Blackberry Curve maksudnya?
Itu kan
jadul. Sekalian aja Blackberry Dacota, lima
jeti. Hahaha…” Tangkis Dyan. Gleg. Ponsel apaan tuh sampai seharga lima juta. Aku
mengedarkan pandangan kepada semua temanku satu-persatu.
“Boh… Ck ck ck ck… Ga sesuai banget
dengan isi kantong. Aku pengen yang slide.” Jawab Ocha.
“Oh, itu Blackberry Torch.” Seru
Dyan hapal.
“Nah, itu tiga jeti.” Kata Bebh.
“Aku juga pengen Samsung Galaxy Tab yang warna putih. Keren…!” Lanjutnya sambil
menghadap ke udara, membayangkan smartphone tersebut.
“Sekalian juga iPad sama Android,
biar lengkap. Aaa… pengen… pengen…” Ocha mupeng. “Pokoknya aku harus punya
Blackberry…!” Tandasnya.
Aku yang sejak tadi celingukan, dengan
penasaran aku bertanya. “Memang apa gunanya sih?”
“Ya, kan enak, chatting, Facebook, Twitter…
keren, gaul pula!” Papar Dyan.
Aku hanya menjawab sekenanya. Selanjutnya
di pikiranku berkelebat berbagai macam-macam keinginan. Balckberry mungkin
menempati angka yang sekian-sekian dalam keinginanku, namun hanya satu yang
mendesak di angka pertama keinginanku: Aku Ingin Punya Perpustakaan.
Uang sebanyak lima juta, untuk sebuah ponsel atau
elektronik lain yang kita belum tahu memaksimalkan penggunaannya agar
benar-benar bermanfaat, dihambur-hamburkan. Bukankah uang sebanyak itu jika
dibawa ke toko buku akan mendapat puluhan buku atau beberapa kardus berisi
buku—syarat ilmu pengetahuan—yang tidak sedikit bahkan jika kita putar untuk
investasi akhirat dengan membuka Taman Baca misalnya, atau yang paling sederhana
kita mengamalkan isi dari buku-buku tersebut, bukankah itu jaaauh lebih baik?
Masya Allah… Modernisasi, sebegitukah?
Heran, separah inikah tuntutan
pergaulan zaman sekarang? Kebutuhan tersier disejajarkan dengan kebutuhan
sekunder atau lebih parah menjadi kebutuhan primer. Software yang manakah yang
harus diupdate demi kembalinya mindset pada khittahnya? Sehingga tidak
demi gengsi kita mengorbankan banyak hal.
Ponsel bagus itu tidak penting. Yang
penting dengan siapa kita berkomunikasi? Dengan orang yang baik atau malah
sebaliknya? Dengan cara yang baik atau tidak?
Ponsel yang aku punya saat ini sudah
sedikit lebih maju dari ponselku yang sebelumnya. Tetapi aku belum bisa
memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya pemanfaatan. Malah aku seringkali
menggunakannya dengan hal-hal negatif. Lalu bagaimana jika aku memakai ponsel
seperti yang mereka inginkan? Ah… sulit rasanya membayangkan. Lagi pula ponsel
semahal itu tidak mungkin kalau hanya diisi pulsa lima sampai dua puluh ribu, sebagaimana
ponsel biasa. Percuma karena fitur-fitur di dalamnya akan sia-sia tak terpakai.
----
Gadget-gadget yang mulai bermunculan
saat ini merupakan tuntutan kemajuan zaman. Mereka yang memproduksi memang
tengah memperbarui kemajuan perekonomian dunia, tetapi di ruang lain,
kebersahajaan tersakiti, kelas sosial semakin kontras, rasa empati mulai
terkikis, semuanya serba gengsi, berpotensi tabdzir, tabarruj, dan
konsumerisme.
Mungkin sikapku yang begini memang
tampak sok tidak ingin terhadap barang-barang itu. Kalau inginnya sih ingin.
Itu manusiawi sekali. Tetapi bukankah masih banyak hal yang lebih penting yang
harus dipenuhi?
Dalam hal dunia kita harus melihat
yang lebih rendah dari pada kita dan sebaliknya, dalam hal akhirat kita harus
melihat yang lebih tinggi dari kita.
----
Dear, Allah…
Bimbing hatiku untuk terus bersabar
dan bersyukur atas segala keterbatasan dan segala nikmat yang telah Engkau
Karuniakan kepadaku…
Dear, Allah…
Bimbing hatiku untuk terus menjadi
pribadi yang semakin tua semakin berusaha untuk menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi sesama…
Dear,
Allah…
Bimbing hatiku untuk terus qanaah
Bersama pulsa yang tak pernah lebih
dari dua puluh ribu
Bersama komputer jadul dengan CPU
yang mendesing seperti desing kipas angin yang sekarat dan monitor yang kembung
Bersama internet yang loadingnya
sangat lambat
Bersama dompet yang isinya tak
pernah meluap
----
Ah…
Apapun semua itu pemberianMu yang
senantiasa setiap detik membuatku terus belajar dewasa menyikapi banyak hal.
5 komentar:
hmmm..sepertinya,,sipenulis memang sungguh2 ,.,
bener...banget. miris banget ya... semoga kita terus berada di jalan yang positif. aamin...
Amiiin.,.
istajiblana..
terima kasih... sob..
ma tama.,.,
Posting Komentar