Jumat, 14 Desember 2012

PERCAKAPAN GALAU

Setelah tergesa-gesa berangkat ke kampus untuk mengikuti kuliah malam, ternyata sampai di kampus…
            Mrs. Hil mengirim pesan kepada Bebh, sahabatku;
            “Assalamualaikum…
            Bebh, this is Mrs. Hilya.
            Unfortunately, I can’t come tonight
            for our class.
            I wan’t you all to make an opinion
            about Shahrukh Khan. Indonesian-English. Tq.”
            Sip! Terbayarlah rasa malas yang sungguh luar biasa untuk kuliah Bahasa Inggris tersebut. Akhirnya aku, Ocha, dan Bebh berangkat ke rumah Bebh untuk yaa… katakanlah, obrolan santai mencari malam begitu. Sesampainya di rumah Bebh, rupanya Dyan, salah satu sahabat yang tidak sekampus denganku telah menunggu. Wajahnya muram dan galau lantaran ada masalah dengan pihak Akademi Kebidanan tempatnya berkuliah. Namun begitu aku bukan mau bercerita masalah yang menimpa Dyan. Masalah itu, biar kami simpan saja.
            ----
            Malam beranjak senyap. Samar-samar aroma pandan menyeruak di udara. Malam-malam begini apakah masih ada ibu-ibu yang menanak nasi? Aku teringat ibu yang kadang menyelipkan beberapa daun pandan di dalam beras yang sedang ditanak. Ah, bukan. Bebh bilang itu aroma Musang Pandan yang sering berkeliaran di kebun sebelah timur rumahnya. Ih… Seram. Aku bergidik ngeri.
            Disusul kemudian gerimis turun dengan pelan. Udara dingin berhembus menyelinap kedalam pori-pori cengkrama kami.
            “Kapan, ya… Aku punya Blackberry…” celetuk Ocha tiba-tiba. Haha.. Aku menyahut,
            “Halah… Hari gini Blackberry udah ga musim.”
            “Ya, aku juga sebenernya pengen yang Curve, tapi mahal.” Sahut Bebh. Wah… menular.
            “Hah? Blackberry Curve maksudnya? Itu kan jadul. Sekalian aja Blackberry Dacota, lima jeti. Hahaha…” Tangkis Dyan. Gleg. Ponsel apaan tuh sampai seharga lima juta. Aku mengedarkan pandangan kepada semua temanku satu-persatu.
            “Boh… Ck ck ck ck… Ga sesuai banget dengan isi kantong. Aku pengen yang slide.” Jawab Ocha.
            “Oh, itu Blackberry Torch.” Seru Dyan hapal.
            “Nah, itu tiga jeti.” Kata Bebh. “Aku juga pengen Samsung Galaxy Tab yang warna putih. Keren…!” Lanjutnya sambil menghadap ke udara, membayangkan smartphone tersebut.
            “Sekalian juga iPad sama Android, biar lengkap. Aaa… pengen… pengen…” Ocha mupeng. “Pokoknya aku harus punya Blackberry…!” Tandasnya.
            Aku yang sejak tadi celingukan, dengan penasaran aku bertanya. “Memang apa gunanya sih?”
            “Ya, kan enak, chatting, Facebook, Twitter… keren, gaul pula!” Papar Dyan.
            Aku hanya menjawab sekenanya. Selanjutnya di pikiranku berkelebat berbagai macam-macam keinginan. Balckberry mungkin menempati angka yang sekian-sekian dalam keinginanku, namun hanya satu yang mendesak di angka pertama keinginanku: Aku Ingin Punya Perpustakaan.
            Uang sebanyak lima juta, untuk sebuah ponsel atau elektronik lain yang kita belum tahu memaksimalkan penggunaannya agar benar-benar bermanfaat, dihambur-hamburkan. Bukankah uang sebanyak itu jika dibawa ke toko buku akan mendapat puluhan buku atau beberapa kardus berisi buku—syarat ilmu pengetahuan—yang tidak sedikit bahkan jika kita putar untuk investasi akhirat dengan membuka Taman Baca misalnya, atau yang paling sederhana kita mengamalkan isi dari buku-buku tersebut, bukankah itu jaaauh lebih baik?
            Masya Allah… Modernisasi, sebegitukah?
            Heran, separah inikah tuntutan pergaulan zaman sekarang? Kebutuhan tersier disejajarkan dengan kebutuhan sekunder atau lebih parah menjadi kebutuhan primer. Software yang manakah yang harus diupdate demi kembalinya mindset pada khittahnya? Sehingga tidak demi gengsi kita mengorbankan banyak hal.
            Ponsel bagus itu tidak penting. Yang penting dengan siapa kita berkomunikasi? Dengan orang yang baik atau malah sebaliknya? Dengan cara yang baik atau tidak?
            Ponsel yang aku punya saat ini sudah sedikit lebih maju dari ponselku yang sebelumnya. Tetapi aku belum bisa memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya pemanfaatan. Malah aku seringkali menggunakannya dengan hal-hal negatif. Lalu bagaimana jika aku memakai ponsel seperti yang mereka inginkan? Ah… sulit rasanya membayangkan. Lagi pula ponsel semahal itu tidak mungkin kalau hanya diisi pulsa lima sampai dua puluh ribu, sebagaimana ponsel biasa. Percuma karena fitur-fitur di dalamnya akan sia-sia tak terpakai.
            ----
            Gadget-gadget yang mulai bermunculan saat ini merupakan tuntutan kemajuan zaman. Mereka yang memproduksi memang tengah memperbarui kemajuan perekonomian dunia, tetapi di ruang lain, kebersahajaan tersakiti, kelas sosial semakin kontras, rasa empati mulai terkikis, semuanya serba gengsi, berpotensi tabdzir, tabarruj, dan konsumerisme.
            Mungkin sikapku yang begini memang tampak sok tidak ingin terhadap barang-barang itu. Kalau inginnya sih ingin. Itu manusiawi sekali. Tetapi bukankah masih banyak hal yang lebih penting yang harus dipenuhi?
            Dalam hal dunia kita harus melihat yang lebih rendah dari pada kita dan sebaliknya, dalam hal akhirat kita harus melihat yang lebih tinggi dari kita.
            ----
            Dear, Allah…
            Bimbing hatiku untuk terus bersabar dan bersyukur atas segala keterbatasan dan segala nikmat yang telah Engkau Karuniakan kepadaku…
            Dear, Allah…
            Bimbing hatiku untuk terus menjadi pribadi yang semakin tua semakin  berusaha untuk menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi sesama…
Dear, Allah…
            Bimbing hatiku untuk terus qanaah
            Bersama pulsa yang tak pernah lebih dari dua puluh ribu
            Bersama komputer jadul dengan CPU yang mendesing seperti desing kipas angin yang sekarat dan monitor yang kembung
            Bersama internet yang loadingnya sangat lambat
            Bersama dompet yang isinya tak pernah meluap
            ----
            Ah…
            Apapun semua itu pemberianMu yang senantiasa setiap detik membuatku terus belajar dewasa menyikapi banyak hal.

5 komentar:

hmmm..sepertinya,,sipenulis memang sungguh2 ,.,

bener...banget. miris banget ya... semoga kita terus berada di jalan yang positif. aamin...