Kamis, 28 Juni 2012

Elegi Bangil


            Senin 25 Juni 2012

            Aku ingin mencatat sebuah kisah dalam perjalanan yang beberapa jam lalu kutempuh bersama-sama orang terkasih. Ibu, adik bungsu (jagoan kedua Ibu dan Ayahku), paman, kedua bibi, dan adik-adik sepupuku.
            Ingin membacanya? Baik, biar kumulai menulisnya…
            _
            Jum’at lalu.
Kalimat-kalimat doa kami hantarkan kepergiannya dengan penuh harap agar ingatan dan doa-doa sedikitpun tak pernah diluputkan Bibi selama di tanah suci nanti. Mobil yang kami naiki pun bertolak dari Juanda Airport Surabaya setelah melepas kepergian Bibi untuk ibadah umroh setelah sebelumnya transit di Jakarta.
Selepas itu, dalam perjalanan menuju Bangil, Pasuruan, seisi mobil mulai ribut. Pasalnya paman yang bertindak sebagai sopir dalam perjalanan itu kebingungan untuk melewati jalan yang mana menuju rumah kawan lama Ibu bernama Farida yang terletak di jantung kota Bangil. Maklum, paman belum cukup berpengalaman dalam hal mengmudi mobil di jalan raya. Sedangkan Ibu yang sejak memasuki kota Sidoarjo digertak oleh paman agar segera sigap, jalan yang mana yang harus dilewati, mulai tampak sangat kebingungan dan kesal terhadap gertakan-gertakan paman begitu dua jalan searah atau persimpangan telah tampak di hadapan kemudi paman.
“Kalau kamu tidak sigap mobil ini terpaksa berhenti di tengah jalan. Dan kamu ‘kan tahu apa risikonya? Mobil-mobil di belakang akan mengklakson atau kita akan ditilang polisi…!” Pekik paman.
“Iya, coba sampeyan bersikap santai sedikit. Jangan gaduh agar saya tidak tambah kebingungan. Saya sudah lama tidak main ke rumah Farida jadi saya tidak ingat betul jalannya. Lagi pula saya tidak pernah naik mobil tiap main ke rumahnya. Saya selalu naik Bus.” Timpal Ibu kesal.
Tampak emosi yang meletup-letup dari wajah Ibu. Sejenak Ibu melirikku, dan hati kami pun bercakap. “Paman memang begitu. Di samping sikapnya yang humoris, paman berwatak keras dan agak egois. Kalau bercanda sangat menyenangkan tapi kalau sedang kalap, suaranya keras dan agak… huh! Yah intinya begitulah.” Cukup.
 Hari beranjak sore. Setelah menempuh perjalanan yang cukup menguras emosi di samping  menguras tenaga, akhirnya mobil kami berbelok ke arah kiri memasuki kawasan pemukiman warga. Lagi-lagi, banyaknya persimpangan membuat paman kembali bingung, untungnya jalanan di kawasan pemukiman ini cukup lebar dan agak sepi. Ibu pun menghubungi Farida agar di jemput di satu titik persimpangan tempat kami berhenti karena kebingungan.
Tiga tahun lebih tak menjalin silaturrahim dengan Farida membuat ibu benar-benar lupa jalan menuju rumah Farida.
_
Dari kejauhan tampak mendekat seorang perempuan             berjilbab bertubuh mungil mengendarai motor maticnya yang berwarna merah. Rupanya Farida. Perempuan itu melempar senyum menyapa. Lalu dikawalnya mobil kami menuju ke arah rumahnya.
Memasuki gang sempit selebar mobil kami.
Sesampainya di rumah Farida. Rumah kecil dipagari besi, di sampingnya terdapat halaman yang tidak begitu luas yang cukup untuk digunakan parkir mobil kami. Setelah itu kami pun dipersilakan masuk.
Sembari paman berbincang-bincang hangat dengan suami Farida, Farida menghidangkan beberapa kudapan dan kopi susu hangat.
Rumah kecil yang nyaman, ruang tamu yang mungil, dua buah kamar yang mungil, sebuah dapur di ujung rumah, kamar mandi dan musolla yang juga mungil. Rumah kecil tapi teramat bersih.
Selepas solat isya setelah kami diparantah* dan makan, paman dan putrinya yang juga ikut pamit untuk pulang ke rumah istrinya di daerah Kramat, Pasuruan. Dan tinggallah aku, ibu dan adikku menginap di rumah itu untuk esoknya ke Malang, menjemput adik laki-laki pertamaku yang sedang menempuh pendidikan di sebuah pesantren Alqur’an.
Malam mulai pekat. Ibu pun bercengkrama dengan Farida, bernostalgia masa-masa remaja mereka sementara aku bertindak sebagai pendengar.
_
Di balik keluwesannya bersikap, Farida yang tampak sangat welcome dengan kedatangan kami ternyata menyimpan kisah yang syarat kedewasaan, ketulusan menerima takdir sebagai seorang istri dan ibu bagi kedua anaknya. Dalam keadaan setengah sadar, aku yang mulai mengantuk, mendegar kisah hidup yang ia ceritakan pada Ibu.
_
Umurnya yang masih sangat muda, menjadi ibu yang lemah lembut dan penuh kesabaran bagi kedua anaknya.
Suaminya, Taufik, adalah seorang kepercayaan Kyai di pesantren tempat ia mengaji dulu, menjadi sopir keluarga pesantren yang terpercaya. Sampai masa pertama pernikahannya dengan Farida ia masih mengabdi pada keluarga pesantren tersebut dengan penuh keikhlasan dan ketakziman. Sampai suatu ketika ia harus angkat kaki menjadi sopir, disebabkan fitnah yang menimpanya. Aku menarik kesimpulan, inilah babak baru dalam rumah tangga mereka di mana keimanan dan kesabaran mereka tengah diuji oleh Allah.
Sejak berhenti menjadi sopir Kyai, Taufik tak memiliki kerja yang tetap. Kadang mencari uang dengan jalan ini dan jalan itu, namun tetap dalam koridor halal di mata syari’at. Ia bekerja dengan tidak menentu. Jika menemukan pekerjaan, ia bekerja. Jika tak menemukan, ia tidak bekerja. Ketabahannya benar-benar diuji.
Wajahnya yang sendu tetap terpancar bahwa jauh di dalam hati dan jantungnya yang masih berdegup, ada nama Allah yang senantiasa bertahta menemani dan menyemangati ikhtiarnya.
Di hati yang lain, Farida menyungkur sujudnya kepada Allah. Matanya yang sayu menangis setiap malam dalam munajatnya. Ribuan bahkan jutaan doa ia iringkan bagi suaminya, agar diberi kekutan membina rumah tangganya dengan baik. Menghidupi denyut ibadah dalam hati istri dan kedua anaknya yang mulai bersekolah. Hari demi hari ia berusaha hidup sewajarnya, menghemat dan menabung, jika ada uang.
Melihat jerih payah Taufik, Farida kemudian berinisiatif untuk meringankan beban suaminya dengan ikut bekerja. Mencari pekerjaan ternyata susahnya bukan main, demikian ia berpikir, mengingat dulu ketika masih nyantri di pesantren Kyai tempat suaminya mengabdi -lalu berjodoh dengan dirinya- ia sering kali meminta ini itu pada Ayahnya di rumah untuk dikirim ke pondok.
Ia pun melamar pekerjaan di sebuah pabrik sepatu milik Seorang Korea yang letak pabriknya agak jauh dari rumahnya. Setelah diterima, dalam masa trainning ia mendapat tugas yang entah apa sebutan tepatnya, mengelem kulit-kulit imitasi elastis yang sudah diberi motif ke alas yang sudah tercetak sehingga menjadi sepatu yang utuh. Itu ia lakukan mulai dari pukul tujuh pagi sampai bedug siang, istirahat, bekerja lagi sampai sore, tanpa berbicara tak penting dengan sesama karyawan, karena jika itu dilanggar, Seorang Korea yang menjadi juragannya akan marah besar, murka, dengan ancaman pemecatan.
“Kalau tidak siap disiplin, lebih baik kamu angkat kaki dari pabrik ini! Tidak ada gunanya saya punya karyawan selengean seperti kamu!” Begitu biasanya Si Bos membentak dengan kasar dan mengerikan dengan bahasa Indonesianya yang kacau bercampur dengan bahasa ibunya.
Kemarahannya juga bisa terjadi disebabkan kerja para karyawannya yang tidak becus. Misalnya mengelem dengan cara yang salah sehingga menyebabkan lemnya tidak merekat kuat.
“Dasar tidak becus! Hoahhh!!! Apa kamu mau saya pecat??!! Hah??!!!” Demikian Si Bos membentak sembari melempar dengan keras sepatu yang salah lem tersebut ke lantai. Hal ini pernah terjadi suatu ketika pada Farida. Kemarahan Si Bos yang mengerikan ditambah wajahnya yang kemerah-merahan semakin membuat Farida terkaget-kaget.
Dengan gaji lumayan besar selama hampir sebulan tersebut, akhirnya kesabaran Farida terkikis. Ibunya yang sakit parah di Surabaya meminta agar Farida pulang menjenguknya. Ia pun meminta waktu untuk cuti kepada Bosnya. Namun dengan tega dan tak punya hati, Si Bos tidak mengabulkan permintaan cutinya dengan alasan perusahaan tidak ingin mempunyai karyawan yang plin-plan dengan pekerjaannya. Menurutnya, menjenguk Ibu yang sedang sakit bukanlah hal yang pantas dimintai waktu cuti.
Dan kesabarannya pun mulai terkikis. Bagaimana tidak, ia yang sejak pagi bekerja sampai sore menjelang, menyebabkan tangannya luka-luka melepuh, panas akibat lem sepatu tadi. Setiap pulang dari pabrik sesampainya di rumah ia segera merendam kedua tangannya yang sukar digerakkan karena luka-lukanya yang mulai mengering ke dalam baskom berisi air hangat. Begitu pun sebelum berangkat kerja. Melihat wajah istrinya yang meringis menahan perih lukanya, suaminya yang lebih dahulu datang dari bekerja serabutannya merasa kasihan dan tak tega.
“Maafkan Mas, Dik. Tidak seharusnya kamu begini.” Taufik berujar pelan. Air yang mejadi kaca-kaca di matanya mulai jatuh.
“Mas, tidak, jangan minta maaf. Bukankah mas pernah bilang bahwa Allah yang akan membalas semua ini dengan pahala yang berlipat? Adik ikhlas…” Jawabnya lirih. Perlahan tangannya yang perih mengangkat menuju pipi suaminya. Ia seka air mata suaminya dengan penuh ketulusan. Kemudian didekaplah tubuh istrinya dengan penuh cinta.
Begitu.
Akhirnya Farida memutuskan untuk menjenguk ibunya di Surabaya setelah sebelumnya berpamitan pada Bos-nya untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya. Memang makan hati menjadi karyawan dari juragan yang terlalu idealis seperti bos Farida. Lagi pula bukankah telah maklum, pekerja keras yang berasal dari negara-negara maju, salah satunya seperti Korea disiplinnya luar biasa. Tidak seperti kita, Orang Indonesia.
_
Mendengar cerita yang dituturkan Farida, Ibu hanya menasehati dengan kesabaran dan keikhlasan serta keyakinan kuat bahwa perjuangan dalam berumahtangga adalah dalam rangka meraih ridha Allah serta mendapat investasi besar di Akhirat kelak.
Risiko orang hidup memang seperti itu. Terlebih ketika kita dihadapkan dengan pilihan mutlak sebagai ibu dari anak-anak yang mau tidak mau juga sedikit banyak harus membantu ikhtiyar suami. Jalannya hanya dengan keimanan dan kesabaran kita mampu bertahan, sebab inilah jihad besar terutama bagi perempuan yang membantu perjuangan suami.
Farida hanya berterima kasih. Selanjutnya malam semakin larut. Farida memutuskan untuk segera beristirahat dan mempersilakan Ibu beristrirahat. Sementara aku yang sejak tadi samar-samar menguping perbincangan keduanya, menarik ikhtisar untuk pelajaran penting bagi masa depanku untuk kemudian benar-benar menutup mata. Melunasi kantuk.
_
Esok paginya, pagi-pagi sekali kami memohon pamit kepada Farida untuk keberangkatan kami menjemput adik ke Malang. Farida pun mengantar kami ke pertigaan jalan raya untuk menunggu jemputan paman.
***


*dipersilakan untuk makan setelah asyik bercengkrama.