Minggu, 01 Februari 2015

Catatan Perjalanan Ke Kampus Fiksi Roadshow Surabaya (Bagian 2)


Kau tahu? Waktu adalah ciptaan Tuhan yang di dalamnya diakumulasi percakapan manusia dari setiap partikel sejarah. Sederet saja kisah heroik kita berdua, itu hanya pecahan dari titik kecil atom yang kita endapkan di luas penciptaan-Nya. Dan seluruh tenaga upaya yang kita miliki sejatinya adalah pinjaman yang harus segera kita persiapkan untuk kita kembalikan kepada Pemiliknya.
***

Pukul 08.35, setelah Damri berdesakan di tengah lalu lintas kota Surabaya yang padat, akhirnya kami tiba di sebelah jembatan penyeberangan yang tak jauh dari Tunjungan Plaza. Kami menyeberangi jembatan baja itu, terkekeh sembari melupakan persendian kami yang mulai lelah. Benar saja aku melangkahkan kaki, tapi di ruang lain jiwaku telah duduk, menemukan tempat nyaman di ruangan acara yang kubayangkan megah itu. 


Setelah bertanya kesana kemari, akhirnya kami menemukan tempat yang kami tuju. Sebuah bangunan gedung yang cukup besar dengan arsitektur kuno yang sepertinya telah direnovasi menjadi semi modern. Begitu kami masuk ke halaman gedung itu, ada keramaian yang tampaknya sebuah pertunjukan. Pertunjukan Reog. Kami lalu ke sisi lain gedung itu. Rupanya benar, aku melihat beberapa orang menggunakan kaos hitam, jersey Kampus Fiksi, tengah sibuk berlalu lalang mempersiapkan acara Kampus Fiksi Roadshow yang masih sejam lagi akan dimulai. 

Kami masuk. Peserta yang datang tak sampai sepuluh orang. Asyik! Sepertinya kami tidak akan lesehan, lebih-lebih diusir seperti yang kubayangkan sebelumnya. Satu persatu peserta berdatangan. Aku segera ke bagian akomodasi untuk ‘mendaftarkan diri’. Hehee...

“Iya, tidak apa-apa, Mbak. Tapi kami hanya menyediakan kupon untuk 200 orang. Kalau peserta yang hadir kurang dari 200, kami akan masukkan Mbak dan dua temannya.” Jawab salah satu panitia begitu aku ‘mendaftarkan diri’. 

“Oh, baik, Mbak. Terima kasih banyak, ya?” Balasku.

“Iya, sama-sama.” Jawabnya lagi.

Sekedar untuk melihat suasana, kami keluar dari ruang acara dan duduk di beranda di sebelah seorang perempuan berjilbab. Perempuan yang belakangan kuketahui adalah Ibu muda itu tersenyum.

“Permisi,” sapaku. 

“Iya, silakan. Eh, Mbak sudah daftar jauh hari, ya?” Tanya perempuan bernama Ria itu padaku.

“Nggak. Saya baru saja mendaftarkan diri, tapi kata Panitia masih nunggu peserta kurang dari 200 orang, lalu kami baru bisa masuk daftar peserta. Kalau Mbak sendiri?” Jawabku. 

“Oya? Kalau begitu sama! Kita senasib!” Serunya antusias.

Alhamdulillah kami punya teman senasib. “You never walk alone” kata Liverpool. Kami pun saling bertukar cerita. Tak berapa lama kemudian, seorang panitia berpipi gembil menghampiri kami. 

“Permisi, Mbak. Tadi sampeyan yang mau daftar, ya?” Tanya perempuan itu.

“Iya,” Kami berempat menjawab hampir bersamaan dibarengi dengan cekikikan.

“Ini ada kursi kosong, kebetulan empat. Mbak bisa tulis nama, email, dan tanda tangan disini, dan nanti Mbak ambil kupon buku gratis dan kupon makan di panitia.” Kata perempuan itu sembari menyerahkan pada kami selembar kertas absensi.

Wuw... Wuw... Wuw...!!! 

Aku tahu kami berempat bertepuk tangan di dalam hati. Asyiiiiiik...!!! Tak sampai lima menit kertas itu telah kami isi data diri kami.

“Mbak siapa namanya?” Tanya perempuan imut itu padaku. 

“Saya Zyadah.”

“Saya Ve, Avifah Ve. Mbak dari mana, ya?” Oalah, ini yang dua minggu lalu kuhubungi itu.

“Oh, sampeyan Mbak Ve yang dua minggu saya telepon itu, ya? Saya Zyadah dari Situbondo, yang tanya pendaftaran acara ini kemarin? Masih ingat?” Tanyaku panjang lebar. 

“Oh, ya, saya masih ingat. Wah, jauh banget, ya? Tapi sampai juga kesini. Alhamdulillah...” Mbak Ve mengangguk cepat dan tertawa. Kami pun berbincang singkat. Dan setelah itu, pukul 10 kurang kami masuk ke ruang acara karena acara akan segera dimulai. Tidak sia-sia rupanya aku datang lebih awal ke tempat ini. Baiklah! Acara pun dimulai. 

Detik itu aku baru tahu kalau acara Kampus Fiksi Roadshow ini merupakan kerjasama yang diadakan oleh UNSA (UNtuk SAhabat), sebuah komunitas menulis Surabaya, dengan Penerbit Diva Press Jogjakarta. Hal ini tidak dijelaskan di pamflet pengumuman, so, aku baru tahu.

Selama acara berlangsung, aku tidak detail menyimaknya. Pikiranku tidak konsentrasi. Yang jelas aku sudah tahu, yang sejak awal berdiri di depan adalah orang-orang bernama Mas Ridho, Mbak Jazim, Mas Aji Sidik, Mas Widya, Mas Ken Hanggara, Bella Vanilla, dan ini, Pak Edi Mulyono, sosok yang berani-beraninya bikin pikiranku tidak konsentrasi.

Perlu diketahui, bahwa tujuanku ke tempat ini bukan untuk belajar menulis yang utama. Lebih dari itu, aku ingin berterima kasih secara langsung kepada orang yang telah memberi teladan berharga kepadaku melalui waqaf bukunya yang tumpah satu truk ke desa kami. Ah, ini bukan pujian. Ini bukan Fiksi seperti kampusnya yang Kampus Fiksi itu. Ini beneran nyata. Aku mengenal sosoknya yang nyentrik itu dari seorang Kiai sekaligus Penulis dari Sumenep Madura, yang juga nyentrik, Kiai Muhammad Faizi namanya. Itulah yang ‘mengantarkanku’ jauh-jauh datang ke Surabaya. 

Berlebihan, ya? Kurasa tidak.
Pukul 12 siang, acara berhenti sejenak, dijeda istirahat selama 45 menit. Kami dan para peserta menukar kupon makan di meja panitia. Setelah makan, sambil menunggu Kak Afuf dan Hurin solat, aku berjalan melihat-lihat pertunjukan Reog yang masih berlangsung di halaman Gedung Balai Pemuda. Bosan, aku meninggalkan keramaian itu. Tak jauh dari situ, aku melihat Pak Edi Mulyono sedang berdiri sibuk dengan gadgetnya, bersandar pada tiang  kokoh penyanggah bangunan gedung. 

Aku terus berjalan, mendekatinya.
“Assalamu alaikumm, Pak.” Sapaku. Lelaki yang mengenakan jersey hitam Kampus Fiksi, celana skinny jeans, sepatu sneakers, dan berambut klimis itu menoleh. Sepertinya aku telah mengganggunya.

Seketika itu, dunia bergerak terasa sangat lambat. Sekelilingku menjadi blur. #Gombal, ah
“Waalaikum salam.” Jawabnya dengan seulas senyum. 

“Maaf, apa Bapak mengingat saya?” Tanyaku narsis. Ekspresi wajah Pak Edi berubah, seperti berusaha mengingat sesuatu namun gagal.

“Ehmm... Iya, ehmm...” 

“Saya yang kemarin inbox menyapa Bapak di Facebook. Nama saya Zyadah Khairoh.” Imbuhku. Ah, kebiasaan nih, ga mungkin ingat, Zyadah. Ga mungkin ingat! 

“Oh, iya, ingat,” Jawab beliau langsung, masih dengan seulas senyum. Ah, bohong. Masa sih? “Jam berapa sampai?” lanjutnya.

“Tadi pagi jam enam, Pak. Dari terminal langsung kesini.” Aku menjawab dengan gugup. Grogi.

“Oh, iya. Sudah makan siang?” Wuih, pertanyaan yang benar-benar so sweet. #eh

“Iya, sudah barusan,” Aku menunduk, mengingat-ingat kalimat apa yang akan kusampaikan setelah kurancang dari kemarin. “Ehm, saya ingin berterima kasih kepada Bapak.” Kataku akhirnya.

“Oh, iya, soal apa, ya?” tanya beliau dengan raut muka penasaran. Bah... belum tahu dia. Hehee.

“Saya dan teman-teman di rumah sudah menerima banyak sumbangan buku dari Bapak, melalui Kiai Faizi.” Jawabku terus terang.

“Lho, kok tahu Kiai Faizi?” Lelaki di hadapanku itu kaget.

“Iya, beliau itu guru saya.”

“Oh, begitu? Iya, iya, Kiai Faizi juga guru saya. Saya banyak belajar kepada Beliau. Beliau juga sangat alim dan rendah hati.” Ujarnya.

“Oh, iya, iya. Beliau banyak bercerita tentang Bapak. Kemudian beliau menawarkan saya buku hibah dari Penerbit Diva Press, saya menerima tujuh kardus dan teman-teman senang semua.” Jawabku dengan, lagi-lagi masih gugup. Biasa, cah... Kopdar pertama!

“Alhamdulillah kalau senang. Ambil yang bermanfaat saja. Saya juga tidak tahu buku-buku yang kami hibahkan, semua genre nyampur.” Tukasnya.

“Iya, tidak apa-apa. Alhamdulillah. Terima kasih banyak, Pak.”

“Iya, sama-sama,” setelah tak ada lagi yang kami obrolkan, “Kalau begitu mari masuk, sebentar lagi materi saya.” Percakapan kami pun berakhir. Aku melangkah duluan untuk masuk ke ruang acara.

Jarum jam menunjukkan 12.50. Para peserta Kampus Fiksi telah duduk di kursi masing-masing, kami telah siap menerima materi selanjutnya yang akan disampaikan langsung oleh Bapak Edi Mulyono atau yang lebih dikenal dengan Edi Akhiles, CEO Penerbit Diva Press.


Aku menghembuskan napas lega. Tujuanku sudah tercapai. Dan, tiba saatnya untuk mengikuti pengajian kitab Taklimul Muta’allim, maksudku pelatihan menulis. Hahaa... Maklum saja, dari saking seringnya aku mengikuti pelatihan nulis seperti ini, aku sampai kenyang blass. Penyakit malas stadium tiga yang mengeksekusi dari pengajian langsung kepada Pipiet Senja, Gol A Gong, sampai Habiburrahman El Shirazy! Astaghfirullaaaahh... Tobat, Nak... Tobat! Ah, tapi semoga setelah ini aku bisa beli truk besar semacam Fuso buat ngelindes penyakit aneh itu. Diamini lho, ya!
Begitu acara usai, kami, sebagaimana lazimnya sebuah pertemuan dengan penulis hebat, mengantre—aku ambil antrean yang terakhir—untuk minta tanda tangan penulis di buku “Silabus Menulis Fiksi dan Non Fiksi” yang gratis dibagikan tadi dan “Andai Aku Jalan Kaki” yang baru kubeli kemarin lusa di koperasi pesantren. Tak lupa kami meminta foto bersama dengan Penulis, kapan-kapan jika ada kesempatan, aku masih ingin foto bersama dengan Kiai yang mengenalkanku pada penulis keren ini. Ah, ya, aku memberi Beliau sebuah buku berbahasa Arab yang kubungkus dengan amplop cokelat, sebagai kenang-kenangan, setidaknya agar aku tak mudah untuk dilupakan olehnya.
 ***
Sore itu, sambil menyusuri trotoar kota Surabaya, kami berdecak kagum akan banyak hal yang telah Tuhan hidangkan kepada kami. Mendung yang tebal ketika itu meluruhkan air hujan yang melimpah, mengguyur penat. Dengan membayar ongkos Rp. 20.000 untuk tiga orang, kami membeli tenaga kakek tua mengayuh pedal becaknya untuk mengantarkan kami ke Sunan Ampel, lalu bermalam di rumah kawan Ibuku yang tak jauh dari Sunan Ampel, untuk pulang esok harinya.