10.37 -
Refleksi
No comments
![](http://2.bp.blogspot.com/-JT3fWNy_jgM/TpEPF0wj1vI/AAAAAAAAEP8/vq7ZtgglKGw/s1600/ico_file.png)
![](http://2.bp.blogspot.com/-8N6vJXITgi4/TpEPD0ikCcI/AAAAAAAAEPs/YTFszF--q68/s1600/ico_comment.png)
Transformasi Komunikasi
Sukorejo, Tuesday, November 20, 2012
Dalam berkomunikasi, saya memiliki pengalaman yang sangat tak terlupakan seumur hidup saya. Pengalaman tersebut tentu sangat berharga, sebab boleh jadi jika saya tidak memiliki pengalaman tersebut kemungkinan besar saya tidak akan menjadi akademisi seperti sekarang ini.
Dulu, saat pertama kali saya memasuki dunia SMA, sebagaimana teman-teman lain yang saat itu digandrungi internet saya pun turut terbawa dalam arus alamiah tersebut. Sebut saja Facebook. Sebagai social network dengan segala atribut menariknya saya menjadi salah seorang yang sangat menyukai bahkan kecanduan dengannya. Satu hari saja jika tanpa log in, update status, berkomentar ini itu di status orang, perasaan saya gelisah dan geregetan sekaligus penasaran, “Ada berita terbaru apa saja ya di Facebook?” sungguh saya terkena virus Facebook Addicted.
Di dalam Facebook, saya mengenal banyak orang dari berbagai macam latar pendidikan, sosial, ekonomi dan budaya. Keberagaman tersebut tentunya menyebabkan watak yang berbeda dan cara berkomunikasi yang berbeda pada setiap individunya. Sebenarnya inilah yang menjadi sudut pandang kecanduan saya terhadap Facebook.
Oleh Mark Zuckerberg, saya dikenalkan kepada beberapa akademisi, sastrawan, aktivis sosial dan lingkungan, dan pengacara (pengangguran banyak acara) yang semuanya sangat hebat di bidangnya. Mereka mayoritas memiliki hobi membaca sehingga tak pelak wawasan mereka luas dan etika mereka dalam berkomunikasi secara tertulis di Facebook juga bagus. Oleh karena itu secara tidak langsung, lingkungan ini mengarahkan saya pada hal yang setidaknya sama dengan mereka.
Melalui mereka kecintaan saya terhadap buku semakin terpupuk. Kalau dulu ketika SD dan SMP saya menyukai buku-buku Teenlit, Metropop dan buku bergenre Novel lainnya, maka sejak SMA saya mulai merambah ke dunia buku yang berkali-kali menyuguhkan ilmu pengetahuan setiap saya mengulangi membacanya. Di masa SMA ini saya bertemu dan berkenalan dengan Dewi Lestari (Supernova; Kesatria Puteri dan Bintang Jatuh, Akar, Petir, Partikel. Perahu Kertas, Madre), Gus Mus (Satu Rumah Seribu Pintu, Koridor), Andrea Hirata (Padang Bulan dan Cinta di Dalam Gelas), buku-buku tentang Gus Dur, Asma Nadia (Istana Kedua, Emak Ingin Naik Haji, Catatan Hati, Rumah Tanpa Jendela), Ernest Hemingway (The Old Man and The Sea) serta beberapa penulis lain yang menyuguhkan buku-buku bergizi lainnya.
Begitu juga style mereka dalam mengapresiasi Bahasa Indonesia, mereka sangat menghindari bahasa dan gaya berbahasa alay atau gaya berbahasa yang style-nya membingungkan lawan komunikasinya. Seperti:
“Horeee… Hrii nii aqquwh gaGh dA doseN.a, onLine yuKKk..!”
Kalau pun ada di antara mereka yang keluar dari kaidah berbahasa Indonesia, mungkin itu hanya bahasa-bahasa ekspresif dengan lelucon segar di dalam forum-forum non-formal bersama-sama teman sekomunitasnya.
Dengan mencontoh mereka, saya terus berusaha melatih tata bahasa Indonesia saya dengan menulis status dan berkomentar di status orang lain dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Sementara di sekolah, saya berproses di tengah teman-teman dan guru yang tidak begitu mendisiplinkan tata Bahasa Indonesia. Saya ambil contoh, salah satu guru mata pelajaran Bahasa Indonesia saya setiap memberi penilaian terhadap tugas-tugas menulis siswinya seringkali melewatkan aspek penting dalam menulis dengan membiarkan pola penulisan yang tidak sesuai dengan kaidah Bahasa Indonesia, susunan kalimat yang tidak teratur bahkan terkesan tidak masuk akal, semuanya tidak diteliti secara detail sehingga siswi cenderung mengentengkan mata pelajaran ini.
Pergaulan saya di dunia maya membuat saya perlahan-lahan membangun prinsip agar menjadi akademisi yang taat pada lalu lintas Bahasa Indonesia. Bagaimana merespon kalimat orang lain, bagaimana etika berkomunikasi di ruang publik seluas Facebook, dan ditambah dengan teman-teman yang menuntut saya harus begitu semua itu membuat saya berpikir selangkah lebih maju dalam berbahasa di antara teman-teman di lingkungan off-line saya.
Dan jauh di dalam lubuk hati saya, tiba-tiba saya memiliki keinginan besar untuk menjadi seorang penulis meski upaya-upaya yang saya lakukan masih sangat tidak sesuai dengan impian besar saya.
Sikap saya yang demikian, menjauhi Alayisme, membuat saya dilecehkan oleh penganut Alayisme tersebut. Saya diklaim kuno, kaku, tidak gaul, dll. Ah, tapi saya tidak peduli. Saya malah semakin termotivasi untuk terus taat pada lalu lintas bahasa Indonesia dan setidaknya saya berusaha belajar menepati Sumpah Pemuda yang terakhir:
“Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.” (Sumpah Pemuda dalam versi ejaan lama)
Mengenai hal ini saya teringat tulisan Asma Nadia:
“Daripada menyingkat Assalamu ‘Alaikum jadi “Ass” [dalam bahasa Inggris ass berarti apa ya?] Lebih baik sempurnakan ucapan salam. Ucapan salam adalah doa, dengan mengucapkan camlequm atau lamlekum, kita membatalkan sebuah doa. Ya Allah, jangan dirubah “Ya Olo ” atau “Ya aloh”, jangan katakan “Masa olo” tapi Masya Allah. Degradasi ajaran Islam, salah satunya melalui bahasa sasaran empuknya melalui anak-anak dan generasi muda, jadi jangan alaykan terminologi Islam.”1
Saya sangat sepakat dengan pendapat Asma Nadia di atas. Sebab dengan demikian saya merasa ada perbedaan mana warga negara yang menghormati dan tidak menghormati Bahasa Indonesia.
|