Beberapa hari
terakhir desa Sukorejo diguyur hujan. Udara yang demikian lembab membuat
suasana hati juga turut malas berktifitas keluar ruangan. Rasanya ingin
meringkuk di dalam selimut atau makan makanan yang hangat bersama teman-teman
sekamar, demi sejenak melupakan cucian pakaian yang tak kunjung kering. Mungkin
itu yang dirasakan oleh sebagian santri Salafiyah. Namun keadaan ini tiba-tiba
membawa ingatan saya pada kejadian beberapa hari lalu. Kejadian yang sangat biasa
saja, bahkan jika mau saya bisa sekejap melupakannya tanpa bekas, dan dari
kejadian sepele itu lahirlah catatan tak penting ini.
Beberapa hari lalu saya ke Madura
(31/03) untuk suatu kepentingan keluarga di kota Pamekasan, acara walimatul ‘ursy saudara.
Dari rumah saya di kota Sampang kami sekeluarga
berangkat pukul 06.15 menuju kota
Pamekasan (03/04). Bagi saya, di sepanjang perjalanan (kemanapun) tak ada hal
yang menarik yang dapat dilakukan di dalam mobil, selain mengamati pemandangan di
bahu kanan-kiri jalan. Banyaknya pemandangan itu seakan mengajak saya
bertafakkur atas segala yang saya lihat. Namun ada fokus yang menarik perhatian
saya. Yaitu Hutan Bakau (Mangrove).
Memasuki kecamatan Camplong
perjalanan kami sedikit terganggu macet karena aktifitas di pasar pesisir
Camplong. Tapi itu tidak lama karena lalu lintas kembali normal. Mobil kami pun
melintasi jalan raya yang berbatasan langsung dengan laut.
Di tepian laut yang gelombangnya
beriak halus, tampak pepohonan bakau tumbuh dengan indah. Kadang rimbun
sehingga laut yang luas di baliknya tampak seolah mengintipku di daratan dan
kadang pula mereka tumbuh dengan jarang sehingga laut luas di baliknya seolah
akan menenggelamkanku. Mareka yang tumbuh dengan jarang, sungguh terlihat
merana. Seperti yatim-piatu yang diasuh oleh ayah ibu yang tak sepenuhnya
mencintainya. Bagaimana tidak merana, rerimbunan hijau yang sebagian merupakan
hasil reboisasi itu mungkin tak seindah dulu. Terlintas di benakku, kondisi
alam saat ini saja sangat indah lalu bagaimana keindahan alam ratusan tahun
lalu? Ketika alam masih sangat jarang tersentuh tangan manusia. Mungkin bisa
dikatakan miniatur dari surga. Amboi, betapa indahnya mungkin. Subhanallah.
![](http://www.surabayapost.co.id/gambar/ecef36c0c3bd974f9fe950900606d6a5.jpg)
Indonesia
merupakan negara kepulauan yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia
(antara 2,5 hingga 4,5 juta ha) melebihi Brazil
(1,3 juta ha), Nigeria (1,1
juta ha) dan Australia
(0,97 ha). Di sepanjang garis pantai tersebut tumbuh subur pepohonan bakau yang
menjadi habitat beberapa fauna laut yang dapat dikonsumsi karena nilai gizinya
yang tinggi. Namun beberapa dekade terakhir, populasi bakau di Indonesia
semakin menyusut seiring dengan pertumbuhan penduduk, pembangunan, dan
industrialisasi.
Secara fisik, hutan bakau berfungsi sebagai penjaga kestabilan garis
pantai, melindungi panatai (dan tebing sungai) dari abrasi dan erosi, atau
sebagai filter dari air asin ke air tawar. Secara kimia hutan bakau berfungsi
sebagai penyerap karbon dioksida dan tempat recycle (daur ulang)
oksigen. Kemudian, secara biologi, hutan bakau berfungsi sebagai kawasan untuk
berlindung, bersarang, berkembang biak bagi burung-burung laut serta menjadi
salah satu tempat berkembangbiaknya udang, kepiting, kerang, ikan, dll.
Bagi masyarakat awam, mungkin hutan
bakau hanya pemandangan bagi mata, pohon-pohon tak berguna, atau bahkan sampah
yang menyempitkan ruang gerak manusia. Tapi sadarkah kita, bahwa tanpa
pepohonan tersebut, abrasi pantai, punahnya flora dan fauna di dalam laut ,
bahkan naiknya permukaan laut (akibat global warming), semua itu akan mengancam
kehidupan kita saat ini dan anak cucu kita di masa mendatang.
Tiba-tiba saya teringat perkataan Dee
dalam Supernova: Partikel-nya. Begini,
”niat
mulia manusia menanam ulang pepohonan tidak akan pernah bisa menggantikan hutan
yang terbentuk alami melalui proses puluhan ribu tahun. Dengan naifnya, manusia
berusaha mengembalikan hutan kembali seperti sedia kala. Di mataku, kegiatan
ini cuma simbolis, sekadar pelipur bagi rasa bersalah kita yang telah merampas
sedemikian banyak dari alam. Sama seperti Ayah, aku percaya, cuma alamlah yang
punya kekuatan untuk menyembuhkan dirinya sendiri. Dengan atau tanpa kita.”
Saya tercenung. Pikiran saya
merambat kemana-mana. Saya lalu teringat kampung halaman saya di Sukorejo. Desa
yang sudah memasuki periode keempat dalam kepemimpinannya itu kini melakukan
pembangunan gedung besar-besaran untuk fasilitas pendidikan, banyaknya lahan
hijau yang kini dibabat untuk proyek investasi akhirat tersebut membuat desa
Sukorejo kian hari semakin bercuaca tak menentu. Desa saya menjadi desa yang paling
terakhir menerima hujan.
Ketidakstabilan cuaca ini disinyalir di antaranya akibat semakin
banyaknya masyarakat yang menggunakan kendaraan bermotor (penghasil gas Carbon
Dioxide/CO2), penggunaan secara berlebihan barang-barang elektronik
yang menyebabkan munculnya gas CFC (Chloro Fluoro Carbon), penggunaan paving
yang menghambat tumbuhnya tumbuhan, dan tidak sedikitnya petani-petani yang menyarang
hujan karena ketidaksiapan tanaman menerima air hujan sebagai pangairan alami.
Di Sukorejo padatnya kendaraan
bermotor di jalan umum adalah sesuatu yang sangat biasa. Bahkan yang tampak
menjadi hal yang langka adalah kendaraan nonmigas (seperti sepeda pedal dan
becak pedal). Sederet aktifitas masyarakat yang menggunakan kendaraan bermotor
juga menjadi salah satu pemicu banyaknya warga yang terserang penyakit
berbahaya seperti Diabetes, Stroke, Jantung Koroner, Asam Urat, dll. Yang hebatnya
penyakit-penyakit tersebut tidak hanya menyerang kalangan “atas” saja, bahkan
kalangan “bawah” juga mendapat “jatah” ini.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgsk62hAZsCFke_hFVk86AddYE-XSD3wLirl80NFqw3op_1yWs08lX2MinBoZOoT0ysxLwSE66EpBXMsK4z1T6N9c-oF0O7bJNNaIGQ7UGeZsH29RYin5eac5iM1dtTqJFND8rzc6trKsVc/s1600/IMG_1917.JPG)
Terbukti saat saya melakukan obrolan singkat dengan salah seorang tukang
becak di Sukorejo (22/03), saya bertanya lebih baik mana kondisi kesehatan Anda
sebelum dan ketika menggunakan becak motor? Tukang becak itu menjawab bahwa
kondisi kesehatannya lebih baik sebelum menggunakan becak motor. Namun karena
tuntutan ekonomi (termasuk sosial dan budaya), tukang becak tersebut terpaksa
menggunakan becak motor. Fenomena ini
menunjukkan betapa kurangnya kesadaran masyarakat terhadap butuhnya (baca:
cinta) mereka terhadap lingkungan, dan semakin membengkaknya budaya instant
serta pola hidup konsumerisme yang berakibat sangat fatal bagi kesehatan.
Kondisi masyarakat yang demikian kemudian didukung dengan pembangunan
gedung besar-besaran, menyebabkan kompleksitas permasalahan lingkungan di desa
saya. Sebut saja program yang baru tuntas dilaksanakan, yaitu pemasangan paving
di seluruh halaman pesantren baik asrama putra maupun putri. Sepintas,
penggunaan paving memang sangat nyaman bagi kebersihan. Lingkungan tampak
bersih, rapi, dan tidak becek ketika hujan. Tapi tahukah kita, bahwa penggunaan
paving, pada dasarnya sangat mengurangi kepekaan dan kecintaan kita terhadap
lingkungan. Kaki yang semula berpijak pada tanah dan bersahabat dengan lumpur, lalu
tangan kita yang saling bertegur sapa saat mencabut rerumputan liar ketika
mulai meninggi—dan kembali pada penciptaan manusia yang bermaterial tanah—kini
terpangkas sudah karena sikap elitis kita. Bahkan bukan hal yang tidak mungkin adalah
ancaman banjir lebih-lebih jika sistem darinase tidak diperhatikan, seperti
Plaza UOB di Jakarta yang terendam banjir awal tahun kemarin sehingga memakan
banyak korban baik nyawa maupun materi.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjIqNua3jBIGPYypPRgCtMzbU1b_-YHkORj6kLeYMy_ar8zIub-G6iHqcJysy0PF4Dv3o2ITjASvud2ZSlRFtbYIMNWFzrPnqDqcDLmq8fiDKJfoEojRQoQYrmTavtUhQIi6p6zLQvvN5wx/s1600/IMG_1920.JPG)
Selain itu juga, kini hampir semua rumah (baca: bangunan) di Sukorejo
dengan rajin memproduksi sampah plastik—yang pada kenyataannya sulit terurai di
tanah—dan gas CFC. Gas berbahaya ini
merupakan hasil dari pemakaian berlebihan dari senyawa Chlor, Fluor dan
Carbon. Ketiga senyawa ini dapat ditemukan dalam lemari pendingin (kulkas),
kaleng aerosol (kaleng parfum, kaleng obat nyamuk cair, dll), Air
Conditioner (AC), dsb.
Semua gas berbahaya yang merupakan sisa aktifitas manusia di bumi
menyebabkan lapisan ozon, yang melindungi bumi dari radiasi, kini menipis
sehingga bumi semakin panas, permukaan laut naik yang disebabkan mencairnya
gunung es di daerah kutub, cuaca yang sulit diprediksi (tiba-tiba terik,
tiba-tiba mendung), hujan asam (hujan yang turun dari awan yang tercemar zat
polutan sehingga tumbuhan yang terkena air dari hujan asam ini akan rusak dan
fauna dilaut akan sulit menmukan oksigen).
Terus terang saya sedih dengan keadaan ini. Saya takut. Keadaan alam yang
beginikah yang kelak akan saya wariskan pada anak-cucu saya…? Kasihan mereka
kelak. Diam-diam saya membayangkan, seandainya Sukorejo dihijaukan kembali…
Betapa indahnya, gedung-gedung bertingkat akan
tampak ramah dengan pepohonan yang tumbuh di dekatnya, masyarakat dan
santri mengadakan penanaman bibit pohon dalam rangka penghijauan, mengurangi
setidaknya 50% angka pengguna kendaraan bermotor (mengganti sepeda motor dengan
sepeda pedal atau mengganti kembali becak motor dengan becak pedal secara
serentak) dan penjagaan ketat terhadap kebersihan (selokan dan membuang sampah
ke tempat semestinya).
Pembaca yang budiman, bila ada beberapa orang saja, yang juga setidaknya
sama-sama memikirkan keadaan ini namun tak punya teman untuk berbagi keresahan
dan melakukan tindakan nyata untuk lingkungan kita ini, jangan cemas. Ayo, ajak
saya untuk menemani Anda. Namun jika bayangan saya ini hanya mengusik
ketenangan para pembaca, baiklah, semoga Allah SWT Yang Mengatur semuanya,
Membantu saya.
Bacaan pendukung catatan ini:
- Watt, Fiona & Francis Wilson. 2004. Sains
& Percobaan dari Usborne, Cuaca & Iklim. Pakar Raya: Bandung.
- Dee. 2012. Supernova; Partikel. Bentang Pustaka: Jakarta.
12 April dan 05 Mei 2013