Senin, 03 Juni 2013

Spion


Beberapa waktu yang lalu ketika saya sedang asyik membereskan buku-buku di meja, untuk yang kesekian kalinya saya "berjumpa" kembali dengan dua buku lama favorit saya. Kedua buku tersebut berjudul "PEMAHAMAN GEOGRAFI DARI USBORNE: LAUT DAN SAMUDRA" dan "SAINS & PERCOBAAN DARI USBORNE: CUACA DAN IKLIM" dengan judul asli "Seas and Ocean" (Usborne publishing, Ltd) dan "Weather & Climate"(Usborne publishing, Ltd) yang keduanya sama-sama di terjemahkan oleh penerbit Pakar Raya Bandung.

Saya membeli kedua buku tersebut ketika saya masih duduk di bangku kelas 5 SD saat saya mulai bisa membaca, "mengapa ada gempa bumi?" dan "mengapa Tsunami di Aceh terjadi?" pada tanggal 08-Mei-2005 dan 01-Juli-2005 yang saya tulis di sampulnya dengan harga Rp. 17.000 dan Rp. 15.000.
Buku bertemakan sains ini sangat menyenangkan. Sampai saat ini saya tak bosan-bosan membacanya selain karena kertasnya berkualitas baik dan fullcolour, kedua buku ini membahas berbagai macam fenomena alam yang dikupas dengan bahasa yang sangat mudah dipahami dan disertai gambar-gambar ilustrasi yang menarik.


Kedua buku ini pula yang melecut kesadaran saya setiap kali saya membukanya. Kesadaran akan persaudaraan saya seutuhnya dengan alam. Kesadaran akan egoisnya sikap dan perilaku saya terhadap alam. Kesadaran akan betapa tergantungnya saya--sepenuhnya--terhadap alam. Dan hingga saat ini, saya masih sedang berusaha meniti di jalan yang baik itu. Jalan yang wajib saya tempuh, untuk setidaknya bersyukur atas diciptakan dan ditempatkannya saya di bumi ini.
Sampai saat ini, saya masih ingin mengoleksi seri lainnya (sebab sejak dulu belum sempat) untuk saya dan adik-adik saya yang juga sangat menyukai kedua buku tersebut. Semoga tekka hajat. Allahumma Aamiin. :)

Sabtu, 25 Mei 2013

Catatan April


Beberapa hari terakhir desa Sukorejo diguyur hujan. Udara yang demikian lembab membuat suasana hati juga turut malas berktifitas keluar ruangan. Rasanya ingin meringkuk di dalam selimut atau makan makanan yang hangat bersama teman-teman sekamar, demi sejenak melupakan cucian pakaian yang tak kunjung kering. Mungkin itu yang dirasakan oleh sebagian santri Salafiyah. Namun keadaan ini tiba-tiba membawa ingatan saya pada kejadian beberapa hari lalu. Kejadian yang sangat biasa saja, bahkan jika mau saya bisa sekejap melupakannya tanpa bekas, dan dari kejadian sepele itu lahirlah catatan tak penting ini.
            Beberapa hari lalu saya ke Madura (31/03) untuk suatu kepentingan keluarga di kota Pamekasan, acara walimatul ‘ursy saudara. Dari rumah saya di kota Sampang kami sekeluarga berangkat pukul 06.15 menuju kota Pamekasan (03/04). Bagi saya, di sepanjang perjalanan (kemanapun) tak ada hal yang menarik yang dapat dilakukan di dalam mobil, selain mengamati pemandangan di bahu kanan-kiri jalan. Banyaknya pemandangan itu seakan mengajak saya bertafakkur atas segala yang saya lihat. Namun ada fokus yang menarik perhatian saya. Yaitu Hutan Bakau (Mangrove).
            Memasuki kecamatan Camplong perjalanan kami sedikit terganggu macet karena aktifitas di pasar pesisir Camplong. Tapi itu tidak lama karena lalu lintas kembali normal. Mobil kami pun melintasi jalan raya yang berbatasan langsung dengan laut.
            Di tepian laut yang gelombangnya beriak halus, tampak pepohonan bakau tumbuh dengan indah. Kadang rimbun sehingga laut yang luas di baliknya tampak seolah mengintipku di daratan dan kadang pula mereka tumbuh dengan jarang sehingga laut luas di baliknya seolah akan menenggelamkanku. Mareka yang tumbuh dengan jarang, sungguh terlihat merana. Seperti yatim-piatu yang diasuh oleh ayah ibu yang tak sepenuhnya mencintainya. Bagaimana tidak merana, rerimbunan hijau yang sebagian merupakan hasil reboisasi itu mungkin tak seindah dulu. Terlintas di benakku, kondisi alam saat ini saja sangat indah lalu bagaimana keindahan alam ratusan tahun lalu? Ketika alam masih sangat jarang tersentuh tangan manusia. Mungkin bisa dikatakan miniatur dari surga. Amboi, betapa indahnya mungkin. Subhanallah.

            Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia (antara 2,5 hingga 4,5 juta ha) melebihi Brazil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha) dan Australia (0,97 ha). Di sepanjang garis pantai tersebut tumbuh subur pepohonan bakau yang menjadi habitat beberapa fauna laut yang dapat dikonsumsi karena nilai gizinya yang tinggi. Namun beberapa dekade terakhir, populasi bakau di Indonesia semakin menyusut seiring dengan pertumbuhan penduduk, pembangunan, dan industrialisasi.
Secara fisik, hutan bakau berfungsi sebagai penjaga kestabilan garis pantai, melindungi panatai (dan tebing sungai) dari abrasi dan erosi, atau sebagai filter dari air asin ke air tawar. Secara kimia hutan bakau berfungsi sebagai penyerap karbon dioksida dan tempat recycle (daur ulang) oksigen. Kemudian, secara biologi, hutan bakau berfungsi sebagai kawasan untuk berlindung, bersarang, berkembang biak bagi burung-burung laut serta menjadi salah satu tempat berkembangbiaknya udang, kepiting, kerang, ikan, dll.
            Bagi masyarakat awam, mungkin hutan bakau hanya pemandangan bagi mata, pohon-pohon tak berguna, atau bahkan sampah yang menyempitkan ruang gerak manusia. Tapi sadarkah kita, bahwa tanpa pepohonan tersebut, abrasi pantai, punahnya flora dan fauna di dalam laut , bahkan naiknya permukaan laut (akibat global warming), semua itu akan mengancam kehidupan kita saat ini dan anak cucu kita di masa mendatang.
Tiba-tiba saya teringat perkataan Dee dalam Supernova: Partikel-nya. Begini,
”niat mulia manusia menanam ulang pepohonan tidak akan pernah bisa menggantikan hutan yang terbentuk alami melalui proses puluhan ribu tahun. Dengan naifnya, manusia berusaha mengembalikan hutan kembali seperti sedia kala. Di mataku, kegiatan ini cuma simbolis, sekadar pelipur bagi rasa bersalah kita yang telah merampas sedemikian banyak dari alam. Sama seperti Ayah, aku percaya, cuma alamlah yang punya kekuatan untuk menyembuhkan dirinya sendiri. Dengan atau tanpa kita.”
            Saya tercenung. Pikiran saya merambat kemana-mana. Saya lalu teringat kampung halaman saya di Sukorejo. Desa yang sudah memasuki periode keempat dalam kepemimpinannya itu kini melakukan pembangunan gedung besar-besaran untuk fasilitas pendidikan, banyaknya lahan hijau yang kini dibabat untuk proyek investasi akhirat tersebut membuat desa Sukorejo kian hari semakin bercuaca tak menentu. Desa saya menjadi desa yang paling terakhir menerima hujan.


  Ketidakstabilan cuaca ini disinyalir di antaranya akibat semakin banyaknya masyarakat yang menggunakan kendaraan bermotor (penghasil gas Carbon Dioxide/CO2), penggunaan secara berlebihan barang-barang elektronik yang menyebabkan munculnya gas CFC (Chloro Fluoro Carbon), penggunaan paving yang menghambat tumbuhnya tumbuhan, dan tidak sedikitnya petani-petani yang menyarang hujan karena ketidaksiapan tanaman menerima air hujan sebagai pangairan alami.
           Di Sukorejo padatnya kendaraan bermotor di jalan umum adalah sesuatu yang sangat biasa. Bahkan yang tampak menjadi hal yang langka adalah kendaraan nonmigas (seperti sepeda pedal dan becak pedal). Sederet aktifitas masyarakat yang menggunakan kendaraan bermotor juga menjadi salah satu pemicu banyaknya warga yang terserang penyakit berbahaya seperti Diabetes, Stroke, Jantung Koroner, Asam Urat, dll. Yang hebatnya penyakit-penyakit tersebut tidak hanya menyerang kalangan “atas” saja, bahkan kalangan “bawah” juga mendapat “jatah” ini.
Terbukti saat saya melakukan obrolan singkat dengan salah seorang tukang becak di Sukorejo (22/03), saya bertanya lebih baik mana kondisi kesehatan Anda sebelum dan ketika menggunakan becak motor? Tukang becak itu menjawab bahwa kondisi kesehatannya lebih baik sebelum menggunakan becak motor. Namun karena tuntutan ekonomi (termasuk sosial dan budaya), tukang becak tersebut terpaksa menggunakan becak motor.  Fenomena ini menunjukkan betapa kurangnya kesadaran masyarakat terhadap butuhnya (baca: cinta) mereka terhadap lingkungan, dan semakin membengkaknya budaya instant serta pola hidup konsumerisme yang berakibat sangat fatal bagi kesehatan.
Kondisi masyarakat yang demikian kemudian didukung dengan pembangunan gedung besar-besaran, menyebabkan kompleksitas permasalahan lingkungan di desa saya. Sebut saja program yang baru tuntas dilaksanakan, yaitu pemasangan paving di seluruh halaman pesantren baik asrama putra maupun putri. Sepintas, penggunaan paving memang sangat nyaman bagi kebersihan. Lingkungan tampak bersih, rapi, dan tidak becek ketika hujan. Tapi tahukah kita, bahwa penggunaan paving, pada dasarnya sangat mengurangi kepekaan dan kecintaan kita terhadap lingkungan. Kaki yang semula berpijak pada tanah dan bersahabat dengan lumpur, lalu tangan kita yang saling bertegur sapa saat mencabut rerumputan liar ketika mulai meninggi—dan kembali pada penciptaan manusia yang bermaterial tanah—kini terpangkas sudah karena sikap elitis kita. Bahkan bukan hal yang tidak mungkin adalah ancaman banjir lebih-lebih jika sistem darinase tidak diperhatikan, seperti Plaza UOB di Jakarta yang terendam banjir awal tahun kemarin sehingga memakan banyak korban baik nyawa maupun materi.

 Selain itu juga, kini hampir semua rumah (baca: bangunan) di Sukorejo dengan rajin memproduksi sampah plastik—yang pada kenyataannya sulit terurai di tanah—dan gas CFC. Gas berbahaya ini  merupakan hasil dari pemakaian berlebihan dari senyawa Chlor, Fluor dan Carbon. Ketiga senyawa ini dapat ditemukan dalam lemari pendingin (kulkas), kaleng aerosol (kaleng parfum, kaleng obat nyamuk cair, dll), Air Conditioner (AC), dsb.
Semua gas berbahaya yang merupakan sisa aktifitas manusia di bumi menyebabkan lapisan ozon, yang melindungi bumi dari radiasi, kini menipis sehingga bumi semakin panas, permukaan laut naik yang disebabkan mencairnya gunung es di daerah kutub, cuaca yang sulit diprediksi (tiba-tiba terik, tiba-tiba mendung), hujan asam (hujan yang turun dari awan yang tercemar zat polutan sehingga tumbuhan yang terkena air dari hujan asam ini akan rusak dan fauna dilaut akan sulit menmukan oksigen).
Terus terang saya sedih dengan keadaan ini. Saya takut. Keadaan alam yang beginikah yang kelak akan saya wariskan pada anak-cucu saya…? Kasihan mereka kelak. Diam-diam saya membayangkan, seandainya Sukorejo dihijaukan kembali… Betapa indahnya, gedung-gedung bertingkat akan  tampak ramah dengan pepohonan yang tumbuh di dekatnya, masyarakat dan santri mengadakan penanaman bibit pohon dalam rangka penghijauan, mengurangi setidaknya 50% angka pengguna kendaraan bermotor (mengganti sepeda motor dengan sepeda pedal atau mengganti kembali becak motor dengan becak pedal secara serentak) dan penjagaan ketat terhadap kebersihan (selokan dan membuang sampah ke tempat semestinya).
Pembaca yang budiman, bila ada beberapa orang saja, yang juga setidaknya sama-sama memikirkan keadaan ini namun tak punya teman untuk berbagi keresahan dan melakukan tindakan nyata untuk lingkungan kita ini, jangan cemas. Ayo, ajak saya untuk menemani Anda. Namun jika bayangan saya ini hanya mengusik ketenangan para pembaca, baiklah, semoga Allah SWT Yang Mengatur semuanya, Membantu saya.

Bacaan pendukung catatan ini:
  • Watt, Fiona & Francis Wilson. 2004. Sains & Percobaan dari Usborne, Cuaca & Iklim. Pakar Raya: Bandung.
  • Dee. 2012. Supernova; Partikel. Bentang Pustaka: Jakarta.
 12 April dan 05 Mei 2013

Sabtu, 27 April 2013

EGGPLANT GREEN SPICY TOMATO


Masak, Yuk! Walaupun sederhana, tapi masakan ini kumasak dengan penuh cinta! :D Coba pandangi masakan di atas… Bayangkan kau tengah menyantapnya di siang hari, di gubuk sederhana yang dikelilingi pemandangan hijau di pinggiran hiruk pikuk kota, di tambah angin pegunungan yang sejuk-sepoi… Aaa… Indonesiaku… :D
Ini masakan apa, yah? Ada yang tahu? Sekilas mirip masakan padang tapi sepertinya bukan deh! Hahaha… Resep masakan ini merupakan hasil eksperimen ibuku ketika bosan dengan masakan Terong yang biasa, lalu aku menirunya. Mau tahu resepnya? Yuuukkk….
Bahan:
- 2 pieces of medium size Green Eggplant
- 4 pieces of large Tomatoes
- 2 pieces of Leek
- 10 pieces of Cayenne Pepper (to taste)
- Salt
- Pepper
- Oil for frying
How to cook:  
- Cut the eggplant lengthwise and fry with a floating hot oil until half cooked, remove and drain.
- Mince roughly Tomatoes, Leeks, and Cayenne Pepper.
- Heat 6 tablespoons oil, then enter the seasoning ingredients, add salt and pepper to taste and cook until fragrant and wilted.
- Serve Green Eggplant that have been fried eggplant on a serving plate then sow with herbs that have been cooked.
- Green Eggplant Tomato Spicy ready to be served.
Enjoy!

Jumat, 01 Maret 2013

Aku Ingin Kembali pada Masa Lalu

Aku ingin kembali ke masa lalu. Ke sebuah tempat yang paling aman
dan nyaman di dunia,
Tempat saat aku pertama kali mendengar suara-suara indah;
gemericik aliran darah, desah nafas, gerakan metabolisme dalam tubuh,
mesin kecil yang menyerap sari makanan, dan gelembung oksigen.
Tempat saat aku berangsur menjadi fisik yang utuh dan sempurna,
Tempat yang di dalamnya aku meringkuk hangat,
Tempat yang di dalamnya aku diajarkan merangkai doa oleh
jutaan bidadari putih untuk dua orang yang menyebabkan aku ada,
Tempat yang dari sana aku berbincang langsung dengan Tuhan dan para Malaikat-Nya
Dan tempat itu adalah...
Rahim Ibu.
"Allahku... Cintai ummi dan aba selama-lamanya, aamiin.."
[Yang Nakal, Zyadah]