Panas mentari siang itu membikin ubun-ubun mendidih. Bagaimana tidak, dari kepala desa berpakaian gamis putih elit sampai petani dan buruh berkoko putih kucel mengibas-ngibaskan kopyahnya sekedar mengeringkan keringat yang bercucran di wajahnya begitu keluar dari masjid selesai shalat jum’at.
Setiap orangpun mempercepat gerakan langkahnya. Ada yang berjalan kaki, bersepeda gayuh, motor hingga mobil ber-plat hitam, merah dan kuning. Yang jelas mereka benar-benar gerah bersama cuaca yang terik nyaris setiap jum’at siang.
Begitulah setiap keluar dari masjid, semua kembali pada rimbanya. Sepatu mengilap, sandal kulit, sandal butut, dan sebagainya. Pemilik mereka kerap kali saling adu merk, inilah dunia. Lain lagi ketika pemilik mereka berada dalam masjid, semua sama rata. Tak ada yang unggul, karena pemilik mereka di dalam tak beralas. Shaf pertama diibaratkan berkurban unta, meski di luar masjid ia adalah pejalan kaki. Pun sebaliknya, shaf paling belakang diibaratkan bershdaqah telur ayam kendati di luar masjid ia adalah pengendara mobil mewah.
Adalah Islam, menjadi rahmat bagi seluruh alam. Masjid, tempat berkumpulya orang-orang lintas sosial. Tak ada kaya atau miskin, sebab mereka sama-sama menghadap kiblat. Kekayaan jiwanyalah yang dinilai oleh Sang Pencipta.
“Woy, Jelekkk...!!!” teriak sepasang sepatu kulit berwarna hitam mengilat pada sepasang sandal jepit usang di hadapannya dengan jarak agak jauh.
“Ehm, ya? Ada apa?” Jawab keduanya serempak.
“Kupanggil dari tadi, kalian tidak mendengar yah?” bentak sepatu itu.
“Maaf, kami kepanasan. Ngantuk lagi... hufffft...” Sepasang sandal jepit memang selalu kompak kalau berbicara, seperti koor. Kalau sepatu-sepatu biasanya yang satu cerewet, yang satunya lagi tidur.
“Hahahahahaa... pantas saja kupanggil sejak tadi tak mendengar. Oh... aku tahu, mungkin bos kalian sedang sibuk beri’tikaf. Sabar sajalah... hahahaa...” Sepatu kulit itu ketawa terpingkal-pingkal. Dan benar, satunya lagi lelap sekali tidurnya.
“Hei, sepatu sombong....!!! Diam kau! Terserahlah, bos kami mau i’tikaf atau tidur, terserah. Yang penting kami tidak ditinggal pulang. Hm...”
“Huaahhahhahhhaa...” Sepatu kulit itu tertawa kembali.
“Kau sendiri? Kenapa masih di sini? Aku baru lihat sepatu sombong kaya kamu sepi-sepi masih disini. Memang bos-mu kemana?”
“Bos-ku? Oalaaaah... mau tauu ajah. Asal kalian tahu ya, bos-ku itu bukan orang sembarangan. Bos-ku itu orang kaya. Uangnya buaaaaanyak!” katanya dengan angkuh.
“Woyy... bos-ku juga orang kaya. Lebih kaya dari bos-mu. Sawahnya di mana-mana. Kekayaan bos-mu itu Cuma seiprit dibandingkan kekayaan bos-ku. We’ we’ we’we’we’...” ledek sepasang sandal itu bersamaan meledek.
“Ya udahlah,,, bos kaya atau ndak, lha wong kita tetep dipake di kaki.” Jawab sepatu kulit sambil menghela nafas. Rupanya ia lelah adu argumen dengan sepasang sandal butut itu. Ya iya lah... secara dua sandal itu pada teriak-teriak bikin gendang telinga sepatu kulit mau pecah.
Beberapa saat kemudian... ketika dua pasang alas kaki itu tengah santai menikmati sepoi angin, seorang pemuda berpakaian koko yang kumal, kopyahnya berwarna hitam yang memudar berkilauan, melangkah keluar dari masjid.
“Sepatu kulit... sepatu kulit... itu dia bos-ku...” Seru sepasang sandal jepit. Teriakkannya memekakkan telinga. Kontan sepatu kulit melirik pemuda itu. Tatapannya bergidik ngeri.
“Hahahahaahha... bos kok jelek banget! Wajahnya mirip kalian berdua, Dal... kucel dan butut sebutut kalian...!!!” ledek sepatu kulit. Tapi sepasang sandal itu santai.
“Ueeeets... awas kualat kamu lecehin bos-ku.”
“Huuu...” Sepatu kulit itu mencibir.
Pemuda pemilik sepasang sandal butut itu turun dari pelataran masjid, lalu memasukkan dua kakinya pada sepasang sandal itu. Ia memandangi dirinya, sarung di bagian lututnya robek akibat jatuh karena terserempet Honda Jazz yang hendak berbelok ke arah masjid tadi ketika adzan kedua jum’at.
“Eh, sandal...! mau kemana kalian? Masa aku ditinggal sendirian? Duh... kemana lagi tuh, bos-ku....??!!!” sepatu kulit itu menggaruk-garuk hidung.
“Kami pergi dulu ya, Sep...” ucap sepasang sandal sambil melambaikan tangannya pada sepatu..
Pemuda itu melangkahkan kaki. Baru enam langkah ia lalui, ia tercekat. Ia menghentikan langkah kakinya.
“Sepatu... kalian mau ikut kami???” panggil sepasang sandal.
“Mau... mau... lagian bos-ku jahat banget sih, hhhuuuh!!!” rutuknya kesal.
Si pemuda membalikkan tubuhnya, menatap sepasang sepatu itu. Menghampiri dan memungutnya.
“Siapa pemilik sepatu ini? Padahal di dalam masjid sudah tak ada orang lagi. Ya Allah... semoga ini halal untukku. Amin...” pemuda itu membatin. Lalu ia membawa pulang sepatu kulit itu.
Selama di perjalanan menuju rumah, sepatu kulit yang ditenteng dan sepasang sandal yang dipakai pemuda itu tertawa senang bersama.
Allah Mahaadil, Mahapemurah, Mahakasih, Maha segalanya. Dunia yang berputar menjadikan seisinya menikmati berbagai anugerah yang Allah berikan. La Tahzan, Innallaha Ma’ana... Allahumma Shalli ‘Ala Sayyidina Wa Maulana Muhammad...
*****
Selang sepuluh menit kemudian, lelaki tampan berjas-dasi berputar-putar ke sekeliling masjid, mencari sepatu kulitnya. ketika Adzan kedua jum’at ia telah tiba di masjid, namun tak sempat mengikuti shalat jum’at karena tiba-tiba ia mencret dan ia harus menunggui wc berpuluh menit. Akhirnya dengan terpaksa ia berjalan ke arah Honda Jazznya yang terpanggang terik matahari di tengah-tengah lapangan parkir.
Zyadah A. Ishaque
23 Januari 2010