Sabtu, 29 Desember 2012

TOTTO-CHAN


Dulu. Di sebuah ruang abstrak,
“Kau siapa?” Aku bertanya pada sosok bening di hadapanku yang belakangan ini menyelinap ke dalam buku harian dan imajinasiku.

“Aku adalah sahabatmu. Yang akan terus menemanimu bercengkrama dengan gerimis dan segala sesuatu di labirin otakmu.” Jawabnya tanpa ragu.

Aku ragu. Namun keberadaanya hingga saat ini meyakinkanku.

---------

Totto-chan.

“Pernahkah kamu  mendengar nama itu, Zyadah?” Lelaki tampan dan misterius itu bertanya padaku dengan nada yang sungguh pelan tanpa memandang ke arahku.

Aku menolehinya, “Pernah, itu nama seorang anak SD yang sangat cerdas dan menggemaskan dalam sebuah novel terjemahan Bahasa Jepang.” Jawabku. Memang benar, beberapa waktu lalu aku baru menamatkan bacaan buku tersebut. “Ada apa dengan Totto-chan?” Lanjutku.

Lelaki itu menarik napas dan melepasnya pelan seolah tak ingin aku mendengar desah napasnya. “Kau sudah membaca bukunya?” Tanyanya lagi. Aku segera menganggukkan kepala meski wajahnya tetap tak tertuju padaku. “Apa yang ada di pikiranmu ketika membaca buku karya Tetsuko Kuroyanagi itu?” Susulnya.

Aku celingukan ke udara. “Kenapa kau masih bertanya hal itu padaku? Bukankah biasanya kau selalu tahu dan seringkali menyelinap ke dalam pikiranku?” Kilahku. Lelaki itu diam tanpa ekspresi, mengisyaratkan bahwa jawabanku yang demikian tidak ia butuhkan. Ops. Baiklah, “Yang ada di pikiranku ketika membacanya, aku teringat masa kecilku saat belajar di bangku sekolah dasar.” Jawabku simple.

“Hanya teringat???” Tanyanya seperti melecehkan. Lagi-lagi tanpa ia menolehiku aku mengangguk. “Kau tidak merindukan masa kecilmu itu?” ia memastikan. Aku bingung dengan pertanyaannya. “Kenapa kau diam? Dasar bodoh! Percuma kau membacanya jika kau tak ingin kembali ke masa itu.” Tandasnya ia menimpali.
Aku tersinggung dikatakannya bodoh. Memang dia siapa? Seenak jidatnya dia menghinaku.
“Jangan tersinggung. Bersikaplah dewasa. Kalau aku terus memanjakanmu dengan pujian manis bisa-bisa kau diabetes. Pikirkanlah, mengapa kau tak merindukan masa kecilmu itu! Jangan selalu mencariku untuk menemani khayalan dan imajinasimu.” Tegurnya. Nah, kan! Dia bisa tahu pikiranku.
Tiba-tiba aku terhenyak mendengar kalimat panjang terakhirnya yang ia katakan padaku barusan. Masa SD.

Pada pagi yang kelabu lantaran langit sedang mendung di tepi tebing yang curam itu aku seperti tersedot oleh “arah belakang” yang menarik tubuhku. Arah itu menyedotku dengan kuat, membawaku ke sebuah lorong dengan pemandangan abstrak yang menyeretku dengan cepat melewati sebuah terowongan aneh.
Brukk!!!
Tiba-tiba aku terduduk di halaman sebuah sekolah dengan siswi yang berlalu-lalang menggunakan seragam merah putih. Aku terkejut bukan main. Di sekolah SD? Kenapa aku berada disini? Anak-anak kecil yang berlalu-lalang di depanku itu sama sekali tak menyadari keberadaanku, atau aku memang tak tampak di mata mereka? Dari arah utara, bel masuk berbunyi. Anak-anak pun masuk ke kelas masing-masing.
Tiba-tiba ada seorang anak menghampiriku,
“Kakak sedang apa? Kenapa duduk di tanah?” Anak kecil berjilbab minang itu menyapaku. Aku kaget. Lamat-lamat aku menatap wajahnya dengan teliti. Aku seperti mengenalnya…
Aku segera bangkit dari dudukku. “Tidak sedang apa-apa. Kenapa adik masih disini? Tuh, semua teman-teman sudah masuk ke kelas.” Jawabku sembari membersihkan rokku yang sebagian berdebu.
“Oh, iya. Ayo kakak ikut aku ke dalam kelas…” Ajaknya. Wajahnya polos. Tatapan matanya bening tanpa dosa.
“Tidak, terima kasih. Sana cepat masuk, nanti adik ketinggalan pelajaran…” Balasku.
“Sekarang tidak ada pelajaran, Kak. Sekarang kan pembagian rapor.” Jawabnya manis. “Ya sudah, aku ke kelas dulu ya, Kak. Dadah…” belum sempat aku menanggapi perkataannya anak itu sudah berlari meninggalkanku ke kelasnya.
Aku bingung. Inikah lorong waktu seperti di serial tv Lorong Waktu besutan Deddy Mizwar itu? Sepertinya iya. Lalu untuk apa aku berada di sini? Lalu siapa anak kecil yang mengajakku ke kelasnya tadi?
Diam-diam aku mengikuti anak kecil itu ke arah kelas berlabel “Kelas 2” di pintunya. Aku berdiri di luar kelas melihat suasana di dalam kelas itu dari jendela. Ternyata memang benar, sedang pembagian rapor. Seorang guru perempuan cantik sedang membagikan rapor. Saat itu tiba-tiba aku merasa de javu.
“Ranking dua, diraih oleh Ummil Barokah.” Suara tepuk tangan mulai riuh. Siswi bernama Ummil Barokah tersebut maju ke depan. “Ranking tiga, diraih oleh Dyan Jannatul Firdausiyah.” Suara tepuk tangan kembali riuh, selanjutnya siswi bernama Dyan Jannatul Firdausiyah itu juga maju. Dan… “Ranking satu, di raih oleh… Ziyadatul Khairoh.” Blarrrrrrr… Aku kaget setengah mati. Di dalam kelas suara tepuk tangan kembali terdengar sorak sorai.  Siswi yang terakhir dipanggil itu menoleh ke arahku sambil tersenyum dan mengerlingkan mata kemudian maju ke depan kelas.
Ziyadatul Khairoh?
Ziyadatul Khairoh?
Anak kecil itu siapa? Aku?
Sejurus kemudian, sesuatu telah menyeretku ke dalam suasana yang berbeda namun tetap di tempat yang sama.
Aku tetap berdiri di luar melihat ke dalam kelas melalui jendela. Di dalam kelas tampak gadis kecil yang meraih ranking satu tadi sedang membacakan sebuah cerita dongeng Timun Emas dari buku teksnya. Ekpresi wajahnya berubah-ubah, ketika ia membaca dialog tokoh raksasa dalam dongeng maka suaranya ia besar-besarkan dan ketika ia membaca dialog Timun Emas ia kecil-kecilkan suaranya. Sungguh lucu.
“Itu kau, Zyadah…” Lelaki tampan dan misterius itu tiba-tiba muncul di sampingnya. Aku tak merespon perkataannya. Aku terdiam. Mulutku terkunci rapat. “Ayo ikut aku…” Ajak lelaki itu lalu menggandeng tanganku.
Baru selangkah kami berjalan tiba-tiba aku berada di sebuah auditorium yang padat penonton. Di muka, gadis kecil yang membaca cerita dongeng Timun Emas tadi sedang tampil di pentas bersama temannya yang lain memerankan adegan Bawang Merah dan Bawang Putih dalam sebuah drama Bahasa Inggris.
“Itu juga kau, Zyadah.” Kata lelaki tak bernama itu lagi. Nada bicaranya seperti sedang memanas-manasiku. Aku memejamkan mata sekuat-kuatnya. Aku benci dengan kejadian ini. Aku terus memejamkan mata…
“Zyadah, buka matamu. Ayo! Bersikaplah dewasa. Jangan manja.” Suara lelaki tak bernama itu sedikit meninggi. Aku membuka mata perlahan.
Dan perlahan namun pasti, dimensi waktu saat itu telah berbeda. Aku telah berada di sebuah lapangan terbuka dengan suara musik yang bercampur aduk dengan tepuk tangan manusia.
"Zyadah, lihat ke depan. Lihat!” Seru lelaki tak bernama itu. Aku yang bingung dengan keberadaanku segera memfokuskan penglihatanku pada arah yang sama dengan lelaki di sebelahku itu.
Di depan, di atas sebuah panggung, berdiri beberapa anak kecil sedang bernyanyi bersama, mereka tampil dalam sebuah kontes Nasyid dengan membawakan lagu Show Me the Right Path milik Raihan dan I Have a Dream milik Westlife. Aku terperangah melihat penampilan mereka. Sungguh penampilan yang amat alamiah tanpa dibuat-buat. Dari panggung itu, salah seorang gadis kecil melihat ke arahku, melempar senyum jenaka. Aku tak membalas senyumnya, sebab bibirku terkunci sangat rapat.
Ada selaput bening di mataku. Lagi-lagi lelaki misterius itu mengagetkanku sehingga mengurungkan selaput bening di mataku yang hendak jatuh.
“Kau menangis???” Tanyanya lalu sesegera mungkin menyeka airmataku yang perlahan-lahan mulai turun menyelinap di pipiku. “Sungguh Demi Dzat yang jiwa raga kita ada di dalam GenggamaNnya, aku tidak bermaksud membuatmu bersedih. Sudah… Sudah… berhentilah menangis. Aku minta maaf. Sungguh…” Sergahnya seolah malu jika ada orang yang melihat kami berdua meskipun pada kenyatannya mereka tidak sadar dengan keberadaan kami. Aku segera memulihkan suasana dan tersenyum riang pada sosok bertubuh bening yang namun begitu gurat ketampanannya tampak sekalipun samar dan setiap kumenyentuhnya aku seperti menyentuh benda seperti jelly.
“Setelah ini kau mau kuajak ke tempat yang lain lagi?” Tawarnya. Belum sempat kujawab, “Kumohon… ini yang terakhir…” Pintanya dengan suara rendah dan memelas.
Dengan berat hati aku mengangguk pelan. Aku melihat lelaki misterius itu kemudian tersenyum penuh arti. Digenggamnya tanganku dengan erat dan beberapa detik kemudian aku telah berada di dimensi tempat yang berbeda lagi.
Sebuah auditorium yang penuh dengan santri-santri putra maupun putri berseragam. Aku terpaku di sudut ruangan luas itu, dan lelaki misterius di sampingku merangkul pundakku. Dari podium, seorang MC menyebutkan nama-nama yang kemudian nama yang disebut maju ke depan. Selang beberapa nama kemudian…
“Siswi Teladan SD Ibrahimy, diraih oleh… Ziyadatul Khairoh binti Abdul Wasi’ Ihsan.” Gadis yang tadi menyapanya itu pun maju ke depan berjajar bersama santri-santri yang telah dipanggil sebelumnya.
Deggg!!
Hati, akal, dan pikiranku kaget bukan main serasa diruntuhi batu besar dari tebing yang longsor.
Anak itu lagi.
"Dia siapa…?” Tanyaku lirih. Suaraku bergetar menahan air mata yang hendak tumpah.
“Itu kamu, Zyadah.” Jawab lelaki di sampingku.
“Aku ingin pulang. Aku ingin pulang… Bawalah aku pergi dari tempat ini. Hik… Hik… Hik…” Aku memukul-mukul dada lelaki itu mendesaknya agar segera meninggalkan dimensi aneh ini. Air mataku mengalir deras.
Tak sampai dua menit aku telah kembali berada di pinggir tebing yang curam sebagaimana awal kami bercengkrama. aku menangis sejadi-jadinya, sekuat-kuatnya, sampai napasku tersengal dan sesenggukan. Lelaki itu tiba-tiba berkata dengan suara yang amat sangat pelan, lirih, bergetar dengan mata yang berkaca-kaca,
“Mana, Zyadah yang dulu. Yang selalu tepat waktu tiba di sekolah, yang rajin belajar, yang teguh memegang prinsip optimistis, yang berani berdamai dengan badai-badai kemalasan, yang tidak mau buang waktu untuk hal yang tidak berguna,
Mana, Zyadah yang lincah. Yang pandai berbahasa Inggris, yang pandai bernyanyi melagukan mimpi dan cita-cita, yang selalu mempersembahkan yang terbaik kepada Ayah dan Bunda, yang tidak meminta hadiah pada keduanya setiap menang melawan rintangan,
Mana, Zyadah yang bukunya lusuh karena selalu dibaca, yang buku tulisnya penuh dengan nilai-nilai baik dari para ustadzah, yang selalu diacungi jempol oleh guru sosial, yang selalu disayang guru Bahasa Indonesia, yang selalu disemangati oleh guru Matematika, yang selalu digenggam tangannya oleh guru Sains,
Mana, Zyadah yang pandai menggambar, yang mood berkreasinya selalu baik,.” Kata lelaki itu panjang lebar. Matanya basah. Mungkin ia berempati padaku. Mendengar perkataannya, tangisku semakin menjadi-jadi.
“Zyadah, aku tahu masa remaja itu penuh gejolak. Aku selalu memperhatikanmu dari jauh, saat kau masih di bangku SMP dan SMA, saat kau  sedang tidak membutuhkanku, kau yang mulai belajar be a flexible person, terlalu membuang-buang waktu di luar kelas. Kau mulai tidak peduli pada pelajaran di sekolah sekalipun itu pelajaran favoritmu. Kau mulai sering malas sekolah. Meskipun di sisi lain kau semakin suka membaca novel, koran, majalah.”
Aku mengangkat wajahku ketika dia berhenti berbicara.
"Terima kasih kau telah mengajakku ke tempat-tempat tadi, mengajakku bermuhasabah. Mulai detik ini aku akan berusaha menghidupkan kembali semangat masa kecilku. Aku akan membahagiakan Ayah dan Bunda kembali. Aku akan terus berusaha menikmati sisa hidupku ini dengan sebaik-baiknya cara. Aku…” Lidahku tercekat. Airmataku mengalir tanpa henti.
Tiba-tiba… bongkahan rindu pada masa kecil itu menyesaki ruang-ruang pernafasanku. Jutaan kesedihan menyergapku dari segala arah. Jutaan penyesalan yang kini menjadi serpih pelan-pelan mengendap di dasar hati.
Di ruang lain, aku melihat Totto-chan sedang berlari-lari riang bersama Zyadah Kecilku di tengah taman bunga yang menghampar luar di sekitar gerbong-gerbong kereta api yang diam namun menemani perjalanan belajar mereka. Betapa riangnya mereka. Betapa bahagianya mereka menjadi makhluk yang dirindukan banyak orang. Betapa…
“Zyadah, jangan bersedih.” Ucapnya lembut. “Jalanmu masih sangat panjang, usiamu masih sangat muda. Di depan sana, masih banyak lahan-lahan kosong yang menunggumu untuk kau tanami bibit-bibit pohon yang nanti berkanopi indah.”
“Terima kasih, terima kasih…” Ucapku di tengah isak tangisku. Aku tergugu di hadapannya.
-----------
Aku mengerjapkan mata yang terasa basah. Berat. Sebagian kepalaku terasa sakit seperti dipalu godam. Aku menggerakkan badan dan mengerang. Persendianku ngilu, Akh. Aku tertidur di depan komputer.
Waktu menunjukkan pukul 22. 15 wib, ternyata semua hanya mimpi. Mimpi yang ‘membangunkan’ku. Mimpi yang mengetuk-ngetuk pintu ‘rumah’ku. Aku meraih buku hard cover berjudul “Totto-chan, Gadis Cilik di Jendela”1 di meja bukuku dan kemudian lamat-lamat kupandangnya dengan kedalaman hati.
Aku harus berubah. Menjadi lebih baik.
Bismillah, namsyi ‘alaa barokatillah.
Setelah itu aku beranjak untuk berwudlu dan dilanjutkan solat Isya’ untuk kemudian tidur kembali.

Jumat, 14 Desember 2012

PERCAKAPAN GALAU

Setelah tergesa-gesa berangkat ke kampus untuk mengikuti kuliah malam, ternyata sampai di kampus…
            Mrs. Hil mengirim pesan kepada Bebh, sahabatku;
            “Assalamualaikum…
            Bebh, this is Mrs. Hilya.
            Unfortunately, I can’t come tonight
            for our class.
            I wan’t you all to make an opinion
            about Shahrukh Khan. Indonesian-English. Tq.”
            Sip! Terbayarlah rasa malas yang sungguh luar biasa untuk kuliah Bahasa Inggris tersebut. Akhirnya aku, Ocha, dan Bebh berangkat ke rumah Bebh untuk yaa… katakanlah, obrolan santai mencari malam begitu. Sesampainya di rumah Bebh, rupanya Dyan, salah satu sahabat yang tidak sekampus denganku telah menunggu. Wajahnya muram dan galau lantaran ada masalah dengan pihak Akademi Kebidanan tempatnya berkuliah. Namun begitu aku bukan mau bercerita masalah yang menimpa Dyan. Masalah itu, biar kami simpan saja.
            ----
            Malam beranjak senyap. Samar-samar aroma pandan menyeruak di udara. Malam-malam begini apakah masih ada ibu-ibu yang menanak nasi? Aku teringat ibu yang kadang menyelipkan beberapa daun pandan di dalam beras yang sedang ditanak. Ah, bukan. Bebh bilang itu aroma Musang Pandan yang sering berkeliaran di kebun sebelah timur rumahnya. Ih… Seram. Aku bergidik ngeri.
            Disusul kemudian gerimis turun dengan pelan. Udara dingin berhembus menyelinap kedalam pori-pori cengkrama kami.
            “Kapan, ya… Aku punya Blackberry…” celetuk Ocha tiba-tiba. Haha.. Aku menyahut,
            “Halah… Hari gini Blackberry udah ga musim.”
            “Ya, aku juga sebenernya pengen yang Curve, tapi mahal.” Sahut Bebh. Wah… menular.
            “Hah? Blackberry Curve maksudnya? Itu kan jadul. Sekalian aja Blackberry Dacota, lima jeti. Hahaha…” Tangkis Dyan. Gleg. Ponsel apaan tuh sampai seharga lima juta. Aku mengedarkan pandangan kepada semua temanku satu-persatu.
            “Boh… Ck ck ck ck… Ga sesuai banget dengan isi kantong. Aku pengen yang slide.” Jawab Ocha.
            “Oh, itu Blackberry Torch.” Seru Dyan hapal.
            “Nah, itu tiga jeti.” Kata Bebh. “Aku juga pengen Samsung Galaxy Tab yang warna putih. Keren…!” Lanjutnya sambil menghadap ke udara, membayangkan smartphone tersebut.
            “Sekalian juga iPad sama Android, biar lengkap. Aaa… pengen… pengen…” Ocha mupeng. “Pokoknya aku harus punya Blackberry…!” Tandasnya.
            Aku yang sejak tadi celingukan, dengan penasaran aku bertanya. “Memang apa gunanya sih?”
            “Ya, kan enak, chatting, Facebook, Twitter… keren, gaul pula!” Papar Dyan.
            Aku hanya menjawab sekenanya. Selanjutnya di pikiranku berkelebat berbagai macam-macam keinginan. Balckberry mungkin menempati angka yang sekian-sekian dalam keinginanku, namun hanya satu yang mendesak di angka pertama keinginanku: Aku Ingin Punya Perpustakaan.
            Uang sebanyak lima juta, untuk sebuah ponsel atau elektronik lain yang kita belum tahu memaksimalkan penggunaannya agar benar-benar bermanfaat, dihambur-hamburkan. Bukankah uang sebanyak itu jika dibawa ke toko buku akan mendapat puluhan buku atau beberapa kardus berisi buku—syarat ilmu pengetahuan—yang tidak sedikit bahkan jika kita putar untuk investasi akhirat dengan membuka Taman Baca misalnya, atau yang paling sederhana kita mengamalkan isi dari buku-buku tersebut, bukankah itu jaaauh lebih baik?
            Masya Allah… Modernisasi, sebegitukah?
            Heran, separah inikah tuntutan pergaulan zaman sekarang? Kebutuhan tersier disejajarkan dengan kebutuhan sekunder atau lebih parah menjadi kebutuhan primer. Software yang manakah yang harus diupdate demi kembalinya mindset pada khittahnya? Sehingga tidak demi gengsi kita mengorbankan banyak hal.
            Ponsel bagus itu tidak penting. Yang penting dengan siapa kita berkomunikasi? Dengan orang yang baik atau malah sebaliknya? Dengan cara yang baik atau tidak?
            Ponsel yang aku punya saat ini sudah sedikit lebih maju dari ponselku yang sebelumnya. Tetapi aku belum bisa memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya pemanfaatan. Malah aku seringkali menggunakannya dengan hal-hal negatif. Lalu bagaimana jika aku memakai ponsel seperti yang mereka inginkan? Ah… sulit rasanya membayangkan. Lagi pula ponsel semahal itu tidak mungkin kalau hanya diisi pulsa lima sampai dua puluh ribu, sebagaimana ponsel biasa. Percuma karena fitur-fitur di dalamnya akan sia-sia tak terpakai.
            ----
            Gadget-gadget yang mulai bermunculan saat ini merupakan tuntutan kemajuan zaman. Mereka yang memproduksi memang tengah memperbarui kemajuan perekonomian dunia, tetapi di ruang lain, kebersahajaan tersakiti, kelas sosial semakin kontras, rasa empati mulai terkikis, semuanya serba gengsi, berpotensi tabdzir, tabarruj, dan konsumerisme.
            Mungkin sikapku yang begini memang tampak sok tidak ingin terhadap barang-barang itu. Kalau inginnya sih ingin. Itu manusiawi sekali. Tetapi bukankah masih banyak hal yang lebih penting yang harus dipenuhi?
            Dalam hal dunia kita harus melihat yang lebih rendah dari pada kita dan sebaliknya, dalam hal akhirat kita harus melihat yang lebih tinggi dari kita.
            ----
            Dear, Allah…
            Bimbing hatiku untuk terus bersabar dan bersyukur atas segala keterbatasan dan segala nikmat yang telah Engkau Karuniakan kepadaku…
            Dear, Allah…
            Bimbing hatiku untuk terus menjadi pribadi yang semakin tua semakin  berusaha untuk menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi sesama…
Dear, Allah…
            Bimbing hatiku untuk terus qanaah
            Bersama pulsa yang tak pernah lebih dari dua puluh ribu
            Bersama komputer jadul dengan CPU yang mendesing seperti desing kipas angin yang sekarat dan monitor yang kembung
            Bersama internet yang loadingnya sangat lambat
            Bersama dompet yang isinya tak pernah meluap
            ----
            Ah…
            Apapun semua itu pemberianMu yang senantiasa setiap detik membuatku terus belajar dewasa menyikapi banyak hal.

Selasa, 11 Desember 2012

Transformasi Komunikasi


Sukorejo, Tuesday, November 20, 2012
Dalam berkomunikasi, saya memiliki pengalaman yang sangat tak terlupakan seumur hidup saya. Pengalaman tersebut tentu sangat berharga, sebab boleh jadi jika saya tidak memiliki pengalaman tersebut kemungkinan besar saya tidak akan menjadi akademisi seperti sekarang ini.
Dulu, saat pertama kali saya memasuki dunia SMA, sebagaimana teman-teman lain yang saat itu digandrungi internet saya pun turut terbawa dalam arus alamiah tersebut. Sebut saja Facebook. Sebagai social network dengan segala atribut menariknya saya menjadi salah seorang yang sangat menyukai bahkan kecanduan dengannya. Satu hari saja jika tanpa log in, update status, berkomentar ini itu di status orang, perasaan saya gelisah dan geregetan sekaligus penasaran, “Ada berita terbaru apa saja ya di Facebook?” sungguh saya terkena virus Facebook Addicted.
Di dalam Facebook, saya mengenal banyak orang dari berbagai macam latar pendidikan, sosial, ekonomi dan budaya. Keberagaman tersebut tentunya menyebabkan watak yang berbeda dan cara berkomunikasi yang berbeda pada setiap individunya. Sebenarnya inilah yang menjadi sudut pandang kecanduan saya terhadap Facebook.
Oleh Mark Zuckerberg, saya dikenalkan kepada beberapa akademisi, sastrawan, aktivis sosial dan lingkungan, dan pengacara (pengangguran banyak acara) yang semuanya sangat hebat di bidangnya. Mereka mayoritas memiliki hobi membaca sehingga tak pelak wawasan mereka luas dan etika mereka dalam berkomunikasi secara tertulis di Facebook juga bagus. Oleh karena itu secara tidak langsung, lingkungan ini mengarahkan saya pada hal yang setidaknya sama dengan mereka.
Melalui mereka kecintaan saya terhadap buku semakin terpupuk. Kalau dulu ketika SD dan SMP saya menyukai buku-buku Teenlit, Metropop dan buku bergenre Novel lainnya, maka sejak SMA saya mulai merambah ke dunia buku yang berkali-kali menyuguhkan ilmu pengetahuan setiap saya mengulangi membacanya. Di masa SMA ini saya bertemu dan berkenalan dengan Dewi Lestari (Supernova; Kesatria Puteri dan Bintang Jatuh, Akar, Petir, Partikel. Perahu Kertas, Madre), Gus Mus (Satu Rumah Seribu Pintu, Koridor), Andrea Hirata (Padang Bulan dan Cinta di Dalam Gelas), buku-buku tentang Gus Dur, Asma Nadia (Istana Kedua, Emak Ingin Naik Haji, Catatan Hati, Rumah Tanpa Jendela), Ernest Hemingway (The Old Man and The Sea) serta beberapa penulis lain yang menyuguhkan buku-buku bergizi lainnya.
Begitu juga style mereka dalam mengapresiasi Bahasa Indonesia, mereka sangat menghindari bahasa dan gaya berbahasa alay atau gaya berbahasa yang style-nya membingungkan lawan komunikasinya. Seperti:
“Horeee… Hrii nii aqquwh gaGh dA doseN.a, onLine yuKKk..!”
Kalau pun ada di antara mereka yang keluar dari kaidah berbahasa Indonesia, mungkin itu hanya bahasa-bahasa ekspresif dengan lelucon segar di dalam forum-forum non-formal bersama-sama teman sekomunitasnya.
Dengan mencontoh mereka, saya terus berusaha melatih tata bahasa Indonesia saya dengan menulis status dan berkomentar di status orang lain dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Sementara di sekolah, saya berproses di tengah teman-teman dan guru yang tidak begitu mendisiplinkan tata Bahasa Indonesia. Saya ambil contoh, salah satu guru mata pelajaran Bahasa Indonesia saya setiap memberi penilaian terhadap tugas-tugas menulis siswinya seringkali melewatkan aspek penting dalam menulis dengan membiarkan pola penulisan yang tidak sesuai dengan kaidah Bahasa Indonesia, susunan kalimat yang tidak teratur bahkan terkesan tidak masuk akal, semuanya tidak diteliti secara detail sehingga siswi cenderung mengentengkan mata pelajaran ini.
Pergaulan saya di dunia maya membuat saya perlahan-lahan membangun prinsip agar menjadi akademisi yang  taat pada lalu lintas Bahasa Indonesia. Bagaimana merespon kalimat orang lain, bagaimana etika berkomunikasi di ruang publik seluas Facebook, dan ditambah dengan teman-teman yang menuntut saya harus begitu semua itu membuat saya berpikir selangkah lebih maju dalam berbahasa di antara teman-teman di lingkungan off-line saya.
Dan jauh di dalam lubuk hati saya, tiba-tiba saya memiliki keinginan besar untuk menjadi seorang penulis meski upaya-upaya yang saya lakukan masih sangat tidak sesuai dengan impian besar saya.
Sikap saya yang demikian, menjauhi Alayisme, membuat saya dilecehkan oleh penganut Alayisme tersebut. Saya diklaim kuno, kaku, tidak gaul, dll. Ah, tapi saya tidak peduli. Saya malah semakin termotivasi untuk terus taat pada lalu lintas bahasa Indonesia dan setidaknya saya berusaha belajar menepati Sumpah Pemuda yang terakhir:
“Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.” (Sumpah Pemuda dalam versi ejaan lama)
Mengenai hal ini saya teringat tulisan Asma Nadia:
“Daripada menyingkat Assalamu ‘Alaikum jadi “Ass” [dalam bahasa Inggris ass berarti apa ya?] Lebih baik sempurnakan ucapan salam. Ucapan salam adalah doa, dengan mengucapkan camlequm atau lamlekum, kita membatalkan sebuah doa. Ya Allah, jangan dirubah “Ya Olo ” atau “Ya aloh”, jangan katakan “Masa olo” tapi Masya Allah. Degradasi ajaran Islam, salah satunya melalui bahasa sasaran empuknya melalui anak-anak dan generasi muda, jadi jangan alaykan terminologi Islam.”1
Saya sangat sepakat dengan pendapat Asma Nadia di atas. Sebab dengan demikian saya merasa ada perbedaan mana warga negara yang menghormati dan tidak menghormati Bahasa Indonesia.
1) Asma Nadia, Twittografi Asma Nadia (Depok: Asma Nadia Publishing House, 2011), hal. 60

 
  

Kamis, 18 Oktober 2012

Kamis, 28 Juni 2012

Elegi Bangil


            Senin 25 Juni 2012

            Aku ingin mencatat sebuah kisah dalam perjalanan yang beberapa jam lalu kutempuh bersama-sama orang terkasih. Ibu, adik bungsu (jagoan kedua Ibu dan Ayahku), paman, kedua bibi, dan adik-adik sepupuku.
            Ingin membacanya? Baik, biar kumulai menulisnya…
            _
            Jum’at lalu.
Kalimat-kalimat doa kami hantarkan kepergiannya dengan penuh harap agar ingatan dan doa-doa sedikitpun tak pernah diluputkan Bibi selama di tanah suci nanti. Mobil yang kami naiki pun bertolak dari Juanda Airport Surabaya setelah melepas kepergian Bibi untuk ibadah umroh setelah sebelumnya transit di Jakarta.
Selepas itu, dalam perjalanan menuju Bangil, Pasuruan, seisi mobil mulai ribut. Pasalnya paman yang bertindak sebagai sopir dalam perjalanan itu kebingungan untuk melewati jalan yang mana menuju rumah kawan lama Ibu bernama Farida yang terletak di jantung kota Bangil. Maklum, paman belum cukup berpengalaman dalam hal mengmudi mobil di jalan raya. Sedangkan Ibu yang sejak memasuki kota Sidoarjo digertak oleh paman agar segera sigap, jalan yang mana yang harus dilewati, mulai tampak sangat kebingungan dan kesal terhadap gertakan-gertakan paman begitu dua jalan searah atau persimpangan telah tampak di hadapan kemudi paman.
“Kalau kamu tidak sigap mobil ini terpaksa berhenti di tengah jalan. Dan kamu ‘kan tahu apa risikonya? Mobil-mobil di belakang akan mengklakson atau kita akan ditilang polisi…!” Pekik paman.
“Iya, coba sampeyan bersikap santai sedikit. Jangan gaduh agar saya tidak tambah kebingungan. Saya sudah lama tidak main ke rumah Farida jadi saya tidak ingat betul jalannya. Lagi pula saya tidak pernah naik mobil tiap main ke rumahnya. Saya selalu naik Bus.” Timpal Ibu kesal.
Tampak emosi yang meletup-letup dari wajah Ibu. Sejenak Ibu melirikku, dan hati kami pun bercakap. “Paman memang begitu. Di samping sikapnya yang humoris, paman berwatak keras dan agak egois. Kalau bercanda sangat menyenangkan tapi kalau sedang kalap, suaranya keras dan agak… huh! Yah intinya begitulah.” Cukup.
 Hari beranjak sore. Setelah menempuh perjalanan yang cukup menguras emosi di samping  menguras tenaga, akhirnya mobil kami berbelok ke arah kiri memasuki kawasan pemukiman warga. Lagi-lagi, banyaknya persimpangan membuat paman kembali bingung, untungnya jalanan di kawasan pemukiman ini cukup lebar dan agak sepi. Ibu pun menghubungi Farida agar di jemput di satu titik persimpangan tempat kami berhenti karena kebingungan.
Tiga tahun lebih tak menjalin silaturrahim dengan Farida membuat ibu benar-benar lupa jalan menuju rumah Farida.
_
Dari kejauhan tampak mendekat seorang perempuan             berjilbab bertubuh mungil mengendarai motor maticnya yang berwarna merah. Rupanya Farida. Perempuan itu melempar senyum menyapa. Lalu dikawalnya mobil kami menuju ke arah rumahnya.
Memasuki gang sempit selebar mobil kami.
Sesampainya di rumah Farida. Rumah kecil dipagari besi, di sampingnya terdapat halaman yang tidak begitu luas yang cukup untuk digunakan parkir mobil kami. Setelah itu kami pun dipersilakan masuk.
Sembari paman berbincang-bincang hangat dengan suami Farida, Farida menghidangkan beberapa kudapan dan kopi susu hangat.
Rumah kecil yang nyaman, ruang tamu yang mungil, dua buah kamar yang mungil, sebuah dapur di ujung rumah, kamar mandi dan musolla yang juga mungil. Rumah kecil tapi teramat bersih.
Selepas solat isya setelah kami diparantah* dan makan, paman dan putrinya yang juga ikut pamit untuk pulang ke rumah istrinya di daerah Kramat, Pasuruan. Dan tinggallah aku, ibu dan adikku menginap di rumah itu untuk esoknya ke Malang, menjemput adik laki-laki pertamaku yang sedang menempuh pendidikan di sebuah pesantren Alqur’an.
Malam mulai pekat. Ibu pun bercengkrama dengan Farida, bernostalgia masa-masa remaja mereka sementara aku bertindak sebagai pendengar.
_
Di balik keluwesannya bersikap, Farida yang tampak sangat welcome dengan kedatangan kami ternyata menyimpan kisah yang syarat kedewasaan, ketulusan menerima takdir sebagai seorang istri dan ibu bagi kedua anaknya. Dalam keadaan setengah sadar, aku yang mulai mengantuk, mendegar kisah hidup yang ia ceritakan pada Ibu.
_
Umurnya yang masih sangat muda, menjadi ibu yang lemah lembut dan penuh kesabaran bagi kedua anaknya.
Suaminya, Taufik, adalah seorang kepercayaan Kyai di pesantren tempat ia mengaji dulu, menjadi sopir keluarga pesantren yang terpercaya. Sampai masa pertama pernikahannya dengan Farida ia masih mengabdi pada keluarga pesantren tersebut dengan penuh keikhlasan dan ketakziman. Sampai suatu ketika ia harus angkat kaki menjadi sopir, disebabkan fitnah yang menimpanya. Aku menarik kesimpulan, inilah babak baru dalam rumah tangga mereka di mana keimanan dan kesabaran mereka tengah diuji oleh Allah.
Sejak berhenti menjadi sopir Kyai, Taufik tak memiliki kerja yang tetap. Kadang mencari uang dengan jalan ini dan jalan itu, namun tetap dalam koridor halal di mata syari’at. Ia bekerja dengan tidak menentu. Jika menemukan pekerjaan, ia bekerja. Jika tak menemukan, ia tidak bekerja. Ketabahannya benar-benar diuji.
Wajahnya yang sendu tetap terpancar bahwa jauh di dalam hati dan jantungnya yang masih berdegup, ada nama Allah yang senantiasa bertahta menemani dan menyemangati ikhtiarnya.
Di hati yang lain, Farida menyungkur sujudnya kepada Allah. Matanya yang sayu menangis setiap malam dalam munajatnya. Ribuan bahkan jutaan doa ia iringkan bagi suaminya, agar diberi kekutan membina rumah tangganya dengan baik. Menghidupi denyut ibadah dalam hati istri dan kedua anaknya yang mulai bersekolah. Hari demi hari ia berusaha hidup sewajarnya, menghemat dan menabung, jika ada uang.
Melihat jerih payah Taufik, Farida kemudian berinisiatif untuk meringankan beban suaminya dengan ikut bekerja. Mencari pekerjaan ternyata susahnya bukan main, demikian ia berpikir, mengingat dulu ketika masih nyantri di pesantren Kyai tempat suaminya mengabdi -lalu berjodoh dengan dirinya- ia sering kali meminta ini itu pada Ayahnya di rumah untuk dikirim ke pondok.
Ia pun melamar pekerjaan di sebuah pabrik sepatu milik Seorang Korea yang letak pabriknya agak jauh dari rumahnya. Setelah diterima, dalam masa trainning ia mendapat tugas yang entah apa sebutan tepatnya, mengelem kulit-kulit imitasi elastis yang sudah diberi motif ke alas yang sudah tercetak sehingga menjadi sepatu yang utuh. Itu ia lakukan mulai dari pukul tujuh pagi sampai bedug siang, istirahat, bekerja lagi sampai sore, tanpa berbicara tak penting dengan sesama karyawan, karena jika itu dilanggar, Seorang Korea yang menjadi juragannya akan marah besar, murka, dengan ancaman pemecatan.
“Kalau tidak siap disiplin, lebih baik kamu angkat kaki dari pabrik ini! Tidak ada gunanya saya punya karyawan selengean seperti kamu!” Begitu biasanya Si Bos membentak dengan kasar dan mengerikan dengan bahasa Indonesianya yang kacau bercampur dengan bahasa ibunya.
Kemarahannya juga bisa terjadi disebabkan kerja para karyawannya yang tidak becus. Misalnya mengelem dengan cara yang salah sehingga menyebabkan lemnya tidak merekat kuat.
“Dasar tidak becus! Hoahhh!!! Apa kamu mau saya pecat??!! Hah??!!!” Demikian Si Bos membentak sembari melempar dengan keras sepatu yang salah lem tersebut ke lantai. Hal ini pernah terjadi suatu ketika pada Farida. Kemarahan Si Bos yang mengerikan ditambah wajahnya yang kemerah-merahan semakin membuat Farida terkaget-kaget.
Dengan gaji lumayan besar selama hampir sebulan tersebut, akhirnya kesabaran Farida terkikis. Ibunya yang sakit parah di Surabaya meminta agar Farida pulang menjenguknya. Ia pun meminta waktu untuk cuti kepada Bosnya. Namun dengan tega dan tak punya hati, Si Bos tidak mengabulkan permintaan cutinya dengan alasan perusahaan tidak ingin mempunyai karyawan yang plin-plan dengan pekerjaannya. Menurutnya, menjenguk Ibu yang sedang sakit bukanlah hal yang pantas dimintai waktu cuti.
Dan kesabarannya pun mulai terkikis. Bagaimana tidak, ia yang sejak pagi bekerja sampai sore menjelang, menyebabkan tangannya luka-luka melepuh, panas akibat lem sepatu tadi. Setiap pulang dari pabrik sesampainya di rumah ia segera merendam kedua tangannya yang sukar digerakkan karena luka-lukanya yang mulai mengering ke dalam baskom berisi air hangat. Begitu pun sebelum berangkat kerja. Melihat wajah istrinya yang meringis menahan perih lukanya, suaminya yang lebih dahulu datang dari bekerja serabutannya merasa kasihan dan tak tega.
“Maafkan Mas, Dik. Tidak seharusnya kamu begini.” Taufik berujar pelan. Air yang mejadi kaca-kaca di matanya mulai jatuh.
“Mas, tidak, jangan minta maaf. Bukankah mas pernah bilang bahwa Allah yang akan membalas semua ini dengan pahala yang berlipat? Adik ikhlas…” Jawabnya lirih. Perlahan tangannya yang perih mengangkat menuju pipi suaminya. Ia seka air mata suaminya dengan penuh ketulusan. Kemudian didekaplah tubuh istrinya dengan penuh cinta.
Begitu.
Akhirnya Farida memutuskan untuk menjenguk ibunya di Surabaya setelah sebelumnya berpamitan pada Bos-nya untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya. Memang makan hati menjadi karyawan dari juragan yang terlalu idealis seperti bos Farida. Lagi pula bukankah telah maklum, pekerja keras yang berasal dari negara-negara maju, salah satunya seperti Korea disiplinnya luar biasa. Tidak seperti kita, Orang Indonesia.
_
Mendengar cerita yang dituturkan Farida, Ibu hanya menasehati dengan kesabaran dan keikhlasan serta keyakinan kuat bahwa perjuangan dalam berumahtangga adalah dalam rangka meraih ridha Allah serta mendapat investasi besar di Akhirat kelak.
Risiko orang hidup memang seperti itu. Terlebih ketika kita dihadapkan dengan pilihan mutlak sebagai ibu dari anak-anak yang mau tidak mau juga sedikit banyak harus membantu ikhtiyar suami. Jalannya hanya dengan keimanan dan kesabaran kita mampu bertahan, sebab inilah jihad besar terutama bagi perempuan yang membantu perjuangan suami.
Farida hanya berterima kasih. Selanjutnya malam semakin larut. Farida memutuskan untuk segera beristirahat dan mempersilakan Ibu beristrirahat. Sementara aku yang sejak tadi samar-samar menguping perbincangan keduanya, menarik ikhtisar untuk pelajaran penting bagi masa depanku untuk kemudian benar-benar menutup mata. Melunasi kantuk.
_
Esok paginya, pagi-pagi sekali kami memohon pamit kepada Farida untuk keberangkatan kami menjemput adik ke Malang. Farida pun mengantar kami ke pertigaan jalan raya untuk menunggu jemputan paman.
***


*dipersilakan untuk makan setelah asyik bercengkrama.

Minggu, 26 Februari 2012

Intensitas Cahaya

Organel yang berperan dalam fotosintesis adalah kloroplas. Organel tersebut berisi pigmen klorofil yang menyebabkan warna hijau pada tumbuhan.
~
Tumbuhan yang mestinya hijau, harus tetap dipertahankan kehijauannya. Mengapa? yaitu agar bisa terus membantu respirasi semua makhluk hidup di muka bumi. Pigmen klorofil yang berada dalam kloroplas harus selalu berfungsi baik dengan menangkap terus energi sinar matahari.
~
Pada tubuh manusia ada hati yang harus terus dijaga intensitas cahayanya dengan iman kepada Allah. Mengapa? Yaitu agar ia mampu menjaga diri dan menjaga eksisitensinya sebagai manusia yang memikul visi-misi kekhalifahannya di bumi.
~
Hati adalah kloroplas, Iman adalh Intensitas Cahaya, dan klorofil adalah zat hijau daun yang menjadi Rahmatan Lil'Alamin.

(Malam Rabu, 15 November 2011)

Rabu, 15 Februari 2012