13.50 -
Cerita,Sahabat
2 comments
Kecewa dan Karma
Malam
ini benar-benar menyedihkan. Saat kutulis cerita ini, internetku sedang dalam
gangguan dan aku belum bisa langsung mengunggahnya ke blog.
Barangkali
cerita ini terlalu berlebihan. Lebay atau sejenisnya. Tapi... Sesungguhnya...
inilah aku yang sesungguhnya. Aku selalu kagum pada ciptaan Allah bernama
“Persahabatan”, begitupun aku sangat menghargai persahabatanku dengannya, dan
berharap tak ada hal apapun yang memisahkan persahabatan ini.
Perjalanan
pada hari minggu itu di Glenmore-Banyuwangi (14/09) bagiku tak lebih dari
sekedar menikmati perjalanan menyusuri belantara hutan Baluran atau membeli
sebuah buku dari penerbit yang tak cukup populer dari toko buku yang tak bisa
kukatakan besar. Rencana bertemu dengan seorang sahabat di sebuah helatan
pernikahan gagal dengan tanpa jejak pertemuan sedikitpun. Aku yakin kejadian
memilukan ini ada unsur kesengajaan. Ya, kesengajaan yang Tuhan takdirkan.
Hampir
tiga jam aku menunggunya di parkir mobil dengan gelisah dan kalut tanpa kabar
apapun darinya. Telepon dan pesan singkat yang kukirim ke ponselnya sama sekali
tak ada respon. Apa sih maunya orang itu? Apakah memang sengaja disetting
begini? Menunggu, dengan cuaca yang cukup gerah siang itu, pukul sebelas sampai
pukul satu siang, telah membuatku menandaskan berkeping-keping crackers ber-taste
daun bawang dan berbotol-botol air mineral. Ya, sungguh! Sebagaimana lazimnya,
menunggu memang hal yang sangat mengesalkan. Kenyang? Ya, aku kenyang. Tapi
soal nasib perut tak kuhiraukan bagaimana kondisinya sebab yang kualami ketika
itu adalah kekecewaan yang sangat mendalam.
Semua
seolah tiba-tiba bagiku. Kemarin saat kami merencanakan pertemuan kami yang
pertama itu, hal yang dapat kami bayangkan adalah pertemuan singkat dengan
sapaan manis dan tawa lepas khas sepasang sahabat yang begitu tulus. Namun,
apalah daya, semua nyaris tak terbayangkan bahwa apa yang kami bayangkan tak
terwujud secuilpun. Oh, malangnya!
Setelah
acara pernikahan berakhir dan para undangan berhamburan keluar dari tempat
acara, mobil merah yang kuaniki pun keluar dari area parkir roda empat lalu
menunggu di seberang jalan. Aku keluar dari mobil, menunggu berkumpulnya
keluarga yang semobil denganku. Tiba-tiba dari tempat acara sosok yang tunggu
muncul dengan wajah celingukan sembari tangannya sibuk memencet-mencet
ponselnya. Mungkin orang itu baru melihat beberapa pesan singkat dan belasan missed
call ku. Ya, itu dia orangnya! Sosoknya yang mencuat di antara banyak orang
telah meyakinkanku bahwa orang itu adalah orang yang kutunggu. Berkemeja hijau
(batik?) lengan pendek, tinggi tubuhnya menjulang, wajahnya yang jenaka
dibingkai oleh rambut gondrong yang sangat aneh di mataku. Hhh... Ada selaput
bening di mataku. Teganya kamu lakukan semua ini padaku!
Setelah
semua keluarga berkumpul kami pun naik ke mobil dan mobilku pun melaju dengan
kecepatan sedang. Sembari saling berkirim pesan dengan lelaki itu aku menoleh
ke belakang. Kulihat ia yang sedang berdiri di pinggir jalan raya tengah
kehilangan jejakku yang terlah berlalu.
Di
sepanjang perjalanan pulang aku menatap kosong apa saja yang kulihat.
Pemandangan megah jajaran pegunungan vulkanik Gunung ijen dan Gunung Raung dari
kejauhan kuabaikan dengan tega meskipun aku tahu mereka menyapaku. Pemandangan
laut biru Selat Bali yang begitu anggun turut kuabaikan. Aku mati rasa...
Begitu
tiba di daerah kota kuminta Ayah agar mampir sebentar ke toko buku Togamas.
Letaknya berhadapan dengan Roxy Square dan bersebelahan dengan Warung Soto.
Sementara yang lain makan di Warung Soto aku “menyibukkan diri” di Togamas.
Toko buku kecil berlantai dua itu rasanya hambar bagiku. Kupaksakan mencari
buku yang menarik, tapi nihil. Koleksi buku disitu sangat sedikit, berbeda
dengan Togamas Jember atau Togamas Malang. Namun akhirnya pilihanku jatuh pada
sebuah buku berjudul “...” (Aduh... Lupa...)
Setelah
selesai membeli buku dan makan di warung soto kami pun melanjutkan perjalanan
pulang. Sungguh gagal rupanya, upayaku melupakan kekecewaan itu. Membeli buku
dengan berharap aku pulang ke rumah dengan tanpa “tangan kosong” tak cukup
mengobati perasaan itu. Oh, Tuhan...
Senja
perlahan turun begitu perjalanan telah sampai
kembali di hutan Baluran. Hutan yang tak ada jaringan alat komunikasi
dan yang otonomi daerahnya diperebutkan Kapubaten Situbondo dan kabupaten
Banyuwangi ini kering meranggas karena musim telah memasuki pertengahan musim
panas. Pepohonan gundul. Daun-daunnya yang kering berserakan di tanah. Dengan
kecepatan 80 KM/ Jam laju mobil kami pemandangan di sepanjang jalan menimbulkan
kesan mewah tersendiri bagiku, pepohonan Jati yang menjulang tinggi tampak
menimbulkan efek garis-garis vertikal artistik dengan berlatarbelakang matahari
yang mulai berwarna jingga pekat. Subhanallah! Tanpa henti aku berdecak kagum.
Begitu
keluar dari area hutan Baluran dan sinyal di ponselku muncul kembali beberapa
pesan singkat masuk. Dari sahabatku itu. Isinya pesan yang tak dapat kutangkap
dengan rasa maafku. Namun aku tahu kendati pesan singkatnya selama ini nyaris
neyeleneh aku tahu penyesalan besar telah melandanya. Untuk sementara
kuabaikan.
Hari
itu berakhir penat. Aku memejamkan mata, melelapkan semua lelah di kasur
kecilku.
Saat
kutulis dan kuunggah cerita ini semuanya telah membaik. Kami saling memaklumi;
bahwa setiap rencana yang telah dirancang manusia sangat tidak lepas dari
kendali dia, Allah, Tuhan Semesta Alam yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dan
satu hal yang kulupakan kala itu; aku pernah mengabaikan seseorang yang hendak
menemuiku. Mungkinkah ini karma? Jika ya, semoga hal ini tidak menimbulkan karma
yang sama pada sahabatku yang hatinya baik itu. Amiin, dengan segala dimensi
maknanya.