Minggu, 06 Februari 2011

Sedap Malam



Di antara isya' dan subuh
Doadoa barakah
Melepas rindu

Di antara isya' dan subuh
Sujudsujud surgawi
Membuka hijab

Di antara isya' dan subuh
Adalah sedap malam
Aku dan dia,
Bertilawah kepada-Nya..

| Sukorejo, Desember 2010

Pemulung dan Cacing

Ia adalah pemulung
Yang mengais sampah organik
Pagi dan petang sampah ia telan
Lapar tak lapar
Sampah ia telan

Mencakar-cakar tanah
Seperti serigala ia menjilatjilat punggung ulat

Ia adalah pemulung
Yang mengais sampah anorganik
Menimbunnya di saku jinjing

Pagi ia cakar
Petang ia papar
Pada perutperut lapar
Yang mengaum dengan kerongkongan sempit

Sampah di saku jinjing
Tak membusuk tapi merusak
Serakah dan pongah

Ia adalah pemulung
Menumpuk sertifikat ulung
Panas dingin pundipundi kosong mengerut
_ _
Hei pemulung...!!!
Sudahi pekerjaanmu
Pohonpohon hijau di sekitarmu
Akan tumbang menumbangimu

Hei pemulung...!!!
Sudahi pekerjaanmu
Kalau kau tak ingin garuda mematuk leher busukmu
Sudahi pekerjaanmu
Lalu robekrobek jas dan dasimu
Asal kau tahu, mau tak mau
Sampah organik dan anorganik yang kau lahap
Akan mengulat dan mencacing di kelaparanmu
...

Sukorejo, 15 Januari 2011

Ra Ka Dan Shalat Berjama'ah

Jum’at adalah hari kemerdekaan bagi para santri di Ponpes Darussa’adah. Selain libur ke madrasah, semua kegiatan diliburkan termasuk libur kegiatan ekstrakulikuler. Jadi semua santri baik putri maupun putra bebas beraktifitas apa saja. Ada yang baca novel, komik, majalah, dengerin musik, dan kegiatan bermacam-macam lainnya.
Eits, kebebasan itu dikhususkan bagi santri yang tidak punya tanggungan sanksi pada pesantren. Bagi santri yang memiliki pelanggaran atau melanggar peraturan pesantren pada hari-hari lain maka inilah saatnya menebus kesalahan yang para santri lakukan. Ya, pelaksanaan Ta’zir dilakukan hari Jum’at.
Setiap ta’ziran tentu telah disesuaikan dengan peraturan yang dilanggar. Semisal bagi yang tidak piket halaman maka hari ini disanksi membersihkan beberapa wc yang telah ditentukan, bagi yang bolos sekolah diserahkan kepada pengurus madrasah untuk mendapat kebijakan sanksi, bagi yang tidak shalat berjama’ah disanksi mengaji ke dhalem setiap ba’da Isya’ selama seminggu. Yang terakhir ini pelanggaran yang paling ditakuti santri. Jarang sekali santri yang melanggar dari peraturan shalat berjamaah. Karena shalat berjamaah merupakan peraturan pertama yang telah ditetapkan sejak berdirinya pesantren ini oleh pendirinya, yaitu Almaghfurlah Almarhum Kiai Miftahul Arifin. Beliau menanamkan shalat berjamaah selain kepada para santrinya juga kepada keturunannya yang ada. Seluruh elemen santri baik pengurus atas sampai santri baru selalu saling bahu-membahu untuk menegakkan sholat berjamaah lima waktu. Saling menasehati, jika ada yang tertidur maka yang lain membangunkannya. Selalu begitu.
Tiga Jum’at minggu lalu tidak ada satupun santri yang mengaji di dhalem karena tidak sholat berjamaah. Kiai Hasanie Sang Pengasuh betapa membanggakan keadaan ini. Bersyukur kepada Allah, dan terus menghimbau kepada seluruh santri untuk mempertahankan sholat berjamaah yang mulai menjadi prinsip bagi seluruh santri.
Namun berbeda pada hari jum’at ini. Seorang santri putri harus mengaji ke dhalem karena tidak sholat berjamaah satu kali. Ya Allah, Maya tidak percaya harus melakukan ini. Kenapa kemarin Maya melanggar?
Malam harinya, setelah Isya’...
“Maya, kenapa masih di sini? Sudah sana cepat ke dhalem. Tadi Ibu sudah matur ke Bu Nyai, barangkali Bu Nyai Sudah menunggu kamu. Cangkolang kalau membuat Bu Nyai menunggu...” Kata Bu Husnul pelan padaku. Bu Husnul adalah wali kamarku.
“Ba..baik, Bu... Maya segera ke dhalem...” Jawabku lesu. Jantungku berdetak sangat cepat. Tidak siap rasanya untuk berhadapan dengan Bu Nyai untuk sebuah pelanggaran. “Permisi, Bu... Assalamu’alaikum...” Kataku lalu beranjak dari tempatku setelah mencium tangan Bu Husnul.
“Wa’alaikum Salam...” Jawab Bu Husnul.
*****
Sesampainya di dhalem...
Di pendopo Bu Nyai Fadilah tampak duduk di sofa dengan anggun. Bibirnya bergerak seperti sedang wiridan. Wajahnya yang awet muda sangat cerah memancarkan cahaya keimanannya. Maya yang tiba segera mencium ta’dhim tangan Bu Nyai Fadilah lalu dipersilakannya untuk segera mengaji.
Maya pun mulai membaca Alqur’an. Suaranya yang merdu, pelafalannya yang fasih membius pendengarnya. Maklum, selain berparas cantik dan manis plus sikapnya yang kalem, Maya memiliki bakat Qari’ah sejak kecil sebelum menjadi santri di pesantren ini.
Jam menunjukkan pukul 21.15 suara Maya mulai serak. Selama dua jam membaca Alqur’an ia telah menuntaskan lima juz dari Alqur’an.
Bu Nyai keluar dari dhalem...
“Sudah mengajinya... dilanjut besok malam saja...” Kata Bu Nyai begitu melihat Maya yang tengah menguap tanpa sengaja. Duh,,, payah nih, Maya... masa nguap pas barengan dengan kedatangan Bu Nyai...! hihi,
“Shadaqallahul ‘Adhim...” Maya pun mengakhiri. Lalu melanjutkannya dengan doa Rahmat Alqur’an dan Shalawat Nariyah. Setelah itu ketika hendak beranjak dan mencium tangan Bu Nyai, Bu Nyai menahan Maya sebentar,
“Siapa namamu, nak?” Tanya Bu Nyai. Maya duduk bersimpuh di sisi Bu Nyai.
“Maya, Masruroh Yafie...” Jawab Maya. Iya... Nama Maya itu Masruroh. Lalu disambung dengan nama Ayahnya, Ali Yafie, jadi Masruroh Yafie lalu disingkat jadi Maya. Hihie, lucu...
“Dari mana asalmu?” Suara Bu Nyai yang hangat menelusup ke telinganya. Membuatnya teringat akan ibu di kampungnya.
“Traktakan Bondowoso...” lagi-lagi Maya menjawab dengan suara dan nada sehalus mungkin.
“Saya suka suara dan kefasihanmu dalam membaca Alqur’an, Nak... suaramu indah. Mendalam pemaknaannya. Saya yakin kamu membacanya dengan tulus...” kalimat yang terlontar dari bibir orang yang dita’dhiminya ini begitu menyayat keangkuhan jiwanya. Jantungnya berdebar hebat.
“Amin... terima kasih, Bu Nyai...” jawab Maya pelan. Rasa kantuk yang semula menyergapnya kini lenyap begitu saja.
“Kenapa kamu tidak sholat berjamaah?”
“Iya, saya tidak sengaja tertidur di ruang keterampilan ketikan hampir dhuhur. Ketika itu ruang keterampilan tidak di kontrol...” Maya pun menjelaskan sedikit panjang dan sedikit lebar alasannya tidak seholat berjamaah pada Bu Nyai.
“Oh, Ya sudah, Maya... sudah larut malam. Kamu boleh kembali ke asramamu. Jangan lupa besok malam ke sini lagi...” Kata bu Nyai dengan sumringah.
“Inggih Bu Nyai...” Maya pun mencium tangan Bu Nyai “Assalamu’alaikum...” ucapnya lalu beranjak meninggalkan dhalem.
“Wa’alaikum Salam...” jawab Bu Nyai lalu beringsut meninggalkan pendopo ke dhalem. Dan beberapa saat kemudian lampu pendopo telah mati, bertabrakan kontras dengan lampu yang hidup di salah satu kamar dhalem yang jendelanya menghadap taman di depan pendopo. Kamar salah seorang putera Bu Nyai Fadilah.
*****
Paginya di Madrasah Tsanawiyah tepatnya kelas II A.
“Hari ini apa benar Nahwu ada ulangan, Mi?” tanya Maya pada Ami, teman sebangkunya.
“Hahahahaa... Ngawur kamu, May...!” jawab Ami santai sambil menulis di buku catatan Nahwunya.
“Eh, ada nggak?”
“Ya ga ada lah... belum juga ganti Bab. Masa dah mau ulangan... kenapa?”
“Kamu tahu nggak? Tadi malam sampe jam setengah dua belas aku pontang-panting belajar Nahwu yang kupikir ada ulangan.....” Maya jadi lemas.
“Weleh... weleh... dasar kamu aja yang kerajinan, kok belajar sampe larut gitu...?”
Tiba-tiba Ika, teman yang duduk di belakangnya menyahut...
“Lho, kamu ketinggalan berita, Mi...? Maya kan ga sholat berjamaah, otomatis ngaji di dhalem tadi malam. Hihi...”
“Yang bener kamu, May...?” Tanya Ami lagi.
“Ehm-hm... kapok aku dah, Mi. Bener-bener takut ketika ngaji di hadapan Bu Nyai Fadilah...”
“Sama, Uiii... aku juga takut-takut seneng. Hhahahh...” sahut Ika lagi.
“Yee... seneng kenapa, memang?” tanya Ami.
“Nih, ya... denger, aku TAKUT karena ngaji di hadapan Bu Nyai Fadilah. Trus SENENG karena bisa ngeliat Lora Kafka yang cuakep, keren, imut, mirip Kim Bum... duh..... kah.” Jawab Ika cengengesan.
“Masya Allah... kirain apa kamu, Ik... Ik... hati-hati, Uii... ntar kualat... beliau itu guru kita. Jangan tinggi-tinggi deh, kalo mimpi. Ntar jatoh lagi...” tandas Ami memberi alarm kesadaran. 
“Ami, Ika... Kalian ga jawab salam Ustadah Alifah...” Bisik Maya.
Ami dan Ika baru menyadari kalau Ustadah Alifah, pengajar Nahwu telah datang. Beberapa menit kemudian pelajaran Nahwu pun dimulai.
*****
Malamnya...
“Assalamu’alaikum...” Maya mengucap salam di depan pintu dhalem yang memang selalu dibuka lebar-lebar.
“Wa’alaikum Salam... Maya?” Jawab Bu Nyai dari dalam dhalem.
“Inggih...” Jawab Maya pelan.
“Ya sudah, dimulai saja mengajinya...”
“Inggih...” Maya pun memulai mengaji. Sejurus kemudian, tiba-tiba suara bising menyerbu gendang telinganya. Suara yang sangat keras. Memekakkan telinga. Suara itu muncul dari kamar Ra Ka, seperti suara gitar bas. Suara gitar itu membuat Maya menghentikan bacaan ayat Alqur’annya. Tidak konsentrasi.  beberapa saat kemudian dari tirai putih yang agak transparan Maya melihat sesosok bayangan melintas. Bayangan perempuan. Sepertinya Bu Nyai Fadilah. O, rupanya Bu Nyai menyuruh Ra Ka untuk menghentikan permainan gitarnya karena mengganggu bacaan Alqur’an Maya. Suara gitar itu pun berhenti. Kembali sunyi.
Tak berapa lama Bu Nyai Fadilah tiba-tiba muncul...
“Maya... mulailah mengaji....” Kata Bu Nyai tiba-tiba.
“Ehm..e,,inggih, Bu Nyai...” Maya jadi gugup dibuatnya.
Maya pun melantunkan ayat-ayat Alqur’an dengan tartil. Suaranya melawan malam yang dingin. Menghangatkan kelopak-kelopak bunga di taman yang kedinginan. Sementara itu di kamar Ra Ka...
Ra Ka memandangi perempuan yang sedang membaca Alqur’an di pendopo itu dari balik tirai di kamarnya yang sengaja digelapkan. Ia terpaku menikmati suara Maya. Keteduhan suaranya nyaris membuat jiwanya teragagap. Ayat-ayat Tuhan yang ia bacakan menyihir nafsu-nafsu pemberontaknya.
*****
Beberapa hari kemudian... Dini hari...
Enam pemuda di pos ronda kecil yang berada di tepi pertigaan jalan bernyanyi dengan suara sumbang dengan petikan gitar amburadul tak beraturan. Mata mereka menyerang kantuk dengan kopi pekat berasap. Entah apa yang mereka nikmati. Kegetiran menerima kenyataan hidup yang jauh-jauh dekat dari Tuhan. Namun hanya Allah yang Tahu jarak antara Dia dan hamba-hamba-Nya.
“Ra Ka, sudah jam 3. Sejam lagi subuh. Ga mau pulang ke rumah? Nanti Umminya khawatir. Kasihan...” Kata Samsul pada Ra Ka yang sedang sibuk memutar-mutar senar gitarnya. Ra Ka mengangkat wajahnya. Sedikit terperangah.
“Nanggung, Sul... Aku mau pulang subuh aja...” Jawab Ra Ka kembali menyibukkan diri dengan senar gitarnya. Keempat teman yang lainnya hanya saling berpandangan. Ra Ka memang misterius. Sulit ditebak.
*****
Begitu memasuki ruang tamu, udara hangat yang ia rasakan. Tangan kirinya menyandangkan jaket di pundaknya sementara tangan kanannya menenteng gitar oblong berwarna hitam miliknya.
Ia melangkah pelan tanpa suara. Tiba-tiba...
“Nak... dari mana saja, Kafka? Kenapa baru datang?” Tanya Ummi serta merta mendekapnya. “Kau baik-baik saja, kan? Sudah makan? Mandi dulu ya, Ummi sudah siapkan air hangat untukmu...” Kata Ummi pada putera kesayangannya, Ra Kafka. Begitu Ummi melepas pelukannya, Aba muncul dari kamar.
“Dari mana saja, Kafka?” tanya Aba dengan suara dingin. Kafka tak menjawab. “Aba tanya dari mana saja kamu?” Ulang Aba kali ini dengan suara bernada tinggi.
“Aba, sudah... Kafka pasti kelelahan. Biarkan dia menyegarkan tubuh dulu.” Ummi membela. “Kafka, kamu bersih-bersih dulu sana, shalat Subuh.” Kata Ummi pada Kafka. Tanpa menyahut, Kafka meninggalkan Aba dan Umminya ke kamar.
Ummi, adalah penawar angkara Aba.
*****
Pagi, pukul 07.00 WIB
“Aba, Ummi... Saya berangkat kuliah dulu.” Kafka beranjak dari kursinya setelah meneguk habis segelas susu lalu mencium tangan Aba dan Umminya.
“Hat-hati bawa mobil, Kaf...” Kata Aba, menasehati.
“Hati-hati di jalan, Nak...” kali ini Ummi.
“Iya Aba, Ummi... Saya berangkat dulu. Assalamu ‘alaikum...” Jawabnya sembari mencium ta’dhim tangan Aba dan Umminya.
“Wa’alaikum Salam...” jawab Aba dan Umminya. Ra Ka pun meninggalkan dhalem, mengendarai mobil pribadinya menuju kampus yang berada di jantung kota Situbondo. Saat ini ia tercatat sebagai mahasiswa semester 3 Fakultas Ushuluddin jurusan Tafsir Hadist.
*****
Siang harinya di beranda samping dhalem...
“Aba... Seharusnya Aba tidak terlalu memaksakan Kafka untuk ngajar kitab di pesantren ini.” Kata Ummi pada Aba yang tengah serius menyesapi rokoknya.
“Tidak terlalu memaksakan bagaimana, Mi? Dia sudah dewasa. Kepemimpinan harus segera ia pelajari untuk meneruskan perjuangan Aba.” Jawab Aba.
“Ummi rasa tekanan dari Aba membuat Kafka semakin belum siap. Makanya tingkah lakunya akhir-akhir ini semakin aneh. Bermain gitar segila itu. Keluyuran ga jelas. Kurus. Ummi bukan memanjakannya. Hanya saja Kafka masih butuh pendekatan dari hati ke hati.” Kata Ummi menerangkan dengan pelan.
“Aba hanya prihatin, Mi... Kenapa kepribadian Kafka sangat jauh berbeda dengan Rifqy.” Suara Aba memelan. Rifqy adalah kakak kandung Kafka yang saat ini tengah menempuh studi beasiswa S2 di Sudan bersama Istri yang menemaninya. Sudah 3 bulan ia menetap di sana. Jiwa kepemimpinan Ra Rifqy telah nampak sejak usianya masih belia. Terbukti ia telah bisa mengisi pengajian untuk santrinya seperti kitab Tafsir Yasin, Nashaihul Ibad, Diwan Imam Syafi’i dan kitab-kitab lain sejak masih duduk di bangku Madrasah Aliyah.
“Kafka bisa, Ba... Tetapi masih perlu Aba bimbing dengan bimbingan yang baik. Menasehtinya dengan pelan. Toh, kemauannya untuk belajar akan ada dengan sendirinya nanti.” Ummi mengerti perasaan Aba. Aba masih belum bisa menerima kepergian putra sulungnya.
Untuk berberapa lama Aba terdiam. Mencerna perkataan istri tercintanya itu. Dan hatinya pun membenarkan.
*****
Malam ini malam Jum’at. Kiai Hasanie dan Bu Nyai Fadilah sedang meyos ke pengajian rutin bulanan di luar kota. Otomatis Bu Nyai Fadilah tidak bisa meniteni Maya mengaji yang malam ini adalah malam terakhir baginya mengaji di dhalem. Abdi dhalem, Mbak Hayati, menyampaikan pesan Bu Nyai agar Maya mengaji saja menuntaskannya malam ini meski bukan beliau yang meniteni, yaitu Mbak Hayati sendiri. Maya pun mengaji...
Lagi-lagi Ra Ka terpaku di tepi jendela kamarnya. Menatap tajam santri putri yang tengah mengaji itu. Ia menyelami makna ayat-ayat Alqur’an yang Maya bacakan. Ayat yang menjelaskan semangat jihad fi sabilillah, memerangi hawa nafsu, dan beramar makruf nahi munkar. Tiba-tiba jiwanya terbakar. Hatinya bertafakkur. Betapa besar rahmat Allah tak pernah henti tercurah pada setiap hamba-Nya. Termasuk dirinya juga. Lalu mengapa ia menyia-nyiakannya? Bathinnya bergemuruh dahsyat. Bertubi-tubi penyesalan mencekalnya. Ia teringat kepercayaan besar yang telah diberikan oleh kedua orangtuanya. Ia harus bangkit. Menyemangati Aba dan Umminya. Membahagiakan mereka sekuat tenaga. Tiba-tiba tetes bening jatuh dari kedua sudut matanya...
Begitu melihat Mbak hayati meninggalkan dhalem, Ra Ka keluar dari kamarnya. Dengan gugup ia mendatangi Maya yang duduk sendiri sedang mengaji di pendopo... Suasana sepi....
“Shadaqallahul Adhim...” Maya pun mengakhiri bacaannya dengan kalimat Tashdiq lalu mencium Alqur’annya. Sesaat kemudian ia pun beranjak dari duduknya. Hendak meninggalkan dhalem. Namun sebuah suara mencegahnya,
“Maya...” Panggil Ra Ka. Maya menoleh kaget.
“A...ada apa, Ra...?” Jawabnya gugup.
“Aku suka suaramu. Terima kasih...” Kata Ra Ka.
“Terima kasih juga, Ra... Saya pamit kembali ke asrama dulu...” Balasnya.
“Sebentar...! besok malam kau mengaji lagi kan?”
“Malam ini terakhir saya mengaji, Ra. Ta’ziran saya sudah selesai malam ini...” Jawab Maya dengan menunduk.
“Oh, begitu... Ya sudah... kamu boleh pergi.” Perasaan kecewa jelas nampak dari suara Ra Ka.
“Permisi, Ra... Assalamu ‘Alaikum...” Ucapnya lalu meninggalkan pendopo.
“Wa’alaikum Salam...” Balas Ra Ka pelan sambil menatap Maya yang melenggang pergi lalu lenyap.
Perempuan itu pergi, membekas di hati...
Tuhan Maha Indah, dan perempuan itu... salah satu ayat-Nya.

10 Desember 2010

Selasa, 07 Desember 2010

Afuf

Selamat Ulang Tahun,
Saudariku terkasih...
Semoga Allah memberkahi hidupmu.
Amin...

Salam hangat dari Sukorejo