Rabu, 31 Desember 2014

Tik Tok Tik Tok


Tik. Tok. Tik. Tok.
Tik. Tok.
Tik. Sepi.
Ini malam terakhir di tahun 2014. Seperti biasa, saya tidak pernah merayakan malam pergantian tahun dengan acara khusus, baik bersama teman-teman maupun bersama keluarga. Saya di rumah saja. Selain karena saya belum pernah ada uang lebih untuk merayakannya saya juga tidak pernah merasa tertarik untuk merayakannya. Untuk apa dirayakan? Bukankah malam pergantian tahun adalah malam yang memilukan bagi akumulasi waktu? Seperti balon raksasa yang terus menerus dipompa gas yang siap kapan saja akan meledak dan mengejutkan semua orang atau malah gasnya meracuni pernapasan orang-orang, mungkin seperti itu. Bukankah itu hal yang mengerikan?
Malam ini, di malam pergantian tahun saya seolah berada di sudut ruangan setelah terlempar dari keramaian lalu dirantai oleh sepi yang nyaris. Beginikah rasanya? Dan... Tik. Tok. Tik. Tok. Cuma itu yang dapat saya tangkap dari indera pendegaran saya. Oh, mungkinkah waktu hendak mengajarkan saya memaknai sepi? Baiklah, terima kasih.

Kamis, 18 Desember 2014

Mungkin


"Dan Kami jadikan tidurmu sebagai istirahat. (9)
Dan Kami jadikan malammu sebagai pakaian. (10)
Dan Kami jadikan siangmu sebagai penghidupan. (11)"
[QS. An-Naba': 09-11]
Mungkin tidur manusia adalah sebuah kehendak Tawakal. Penyerahan diri seorang hamba akan ruhnya terhadap Tuhan yang telah menganugerahinya kehidupan.
Mungkin tidur manusia adalah wujud dari kepasarahan diri, sebuah fitrah manusiawi yang dibawanya sejak lahir dan azali. Kepasrahan akan kausalitas, saat mengantuk pelupuk dan kelopak mata akan mengirim impuls kepada saraf sensori untuk bergerak mengatup, melepaskan ruhnya untuk meleburkan lelah di udara, mengembara lepas mengumpulkan titik-titik cahaya untuk bekal di pagi hari.
Mungkin Tidur diciptakan oleh Tuhan sebagai pintu penghubung antara alam realitas dan alam tanpa pancang langit serta daratan sebagai pijakan. Mungkin juga sebagai pintu bagi hikmah; dunia yang lebih luas saat mata tak dapat lagi dibuka.

Jumat, 12 Desember 2014

Hadiah dari Tuhan


Entah ini detik keberapa di usiaku yang ke 21 tahun. Sejak usiaku menginjak 21 tahun beberapa hari yang lalu aku selalu membuka mata di pagi hari dengan perasaan tergugah. Napas yang kuhela dan udara pagi yang kuhirup selalu hadir sebagai hadiah terbesar dari Tuhan untukku. Tak ada yang bisa kubalas hadiah itu melainkan dengan syukur yang terbatas dan kelemahanku menghitung segala karuniaNya.
Aku kini mulai belajar mengenal dan memahami diri sendiri. Memabaca denyut nadi yang meletup di buku-buku jari, mendengarkan dengan hati jantung yang berdetak dan debarnya yang serupa dentuman asteroid kala membentur bumi, meraba buih-buih ombak yang berdebur di sanubari, dan mengartikan fungsi kaki dan impuls saraf yang menggerakkan secara "refleks" ke titik-titik dimana aku dapat bergerak.
Aku kini mulai memahami pula, bahwa semakin seseorang berusaha menyelami penciptaan dirinya sebagai entitas semesta, maka saat itu juga aral akan datang tiada henti dengan beraneka wujud. Sulit bagiku. Tapi aku tahu bahwa manusia diciptakan dengan seperangkat daya dan upaya yang digerakkan alamiah oleh Tuhan.
Bagiku usia 21 tahun adalah waktu yang teramat panjang namun berlalu seperti anak panah yang meluncur dari busurnya. Sangat panjang namun berlalu bergitu singkat. Aku tak mengerti dengan pemahaman ini. Sepertinya ini di luar nalar kita, ya? Aku menganggap ini perjalanan yang teramat panjang karena banyak track yang kulalui tidak mudah. Mungkin karena aku seperti ikan teri yang terseret ke arus palung samudera, berenang melawan arus tetapi selalu gagal dan berakhir menjadi santapan ikan paus. Di sisi lain waktu berlalu begitu cepat, mungkin karena aku menghabiskan setiap detiknya dengan memintal cerita-cerita aneh dan melihatnya kini sebagai kenangan buruk yang berwujud sebagai hantu penyesalan.
Pagi ini sinar mentari telah tinggi. Aku berkhayal bahwa waktu di antara subuh yang telah berakhir dan pintu duhur yang hendak terbentang lebar aku tengah duduk di beranda Tuhan sambil menghitung hasil perniagaanku yang tak seberapa dan berharap setelah ini waktu akan selalu pagi--membawa gairah kehidupan yang selalu baru--atau waktu akan selalu senja, menghadiahkan wajah yang selalu merona kepada langit di sisinya dan bumi di hadapannya.
Semoga. Dengan dimensi maknanya!

Kamis, 18 September 2014

Kecewa dan Karma



Malam ini benar-benar menyedihkan. Saat kutulis cerita ini, internetku sedang dalam gangguan dan aku belum bisa langsung mengunggahnya ke blog.

Barangkali cerita ini terlalu berlebihan. Lebay atau sejenisnya. Tapi... Sesungguhnya... inilah aku yang sesungguhnya. Aku selalu kagum pada ciptaan Allah bernama “Persahabatan”, begitupun aku sangat menghargai persahabatanku dengannya, dan berharap tak ada hal apapun yang memisahkan persahabatan ini.

Perjalanan pada hari minggu itu di Glenmore-Banyuwangi (14/09) bagiku tak lebih dari sekedar menikmati perjalanan menyusuri belantara hutan Baluran atau membeli sebuah buku dari penerbit yang tak cukup populer dari toko buku yang tak bisa kukatakan besar. Rencana bertemu dengan seorang sahabat di sebuah helatan pernikahan gagal dengan tanpa jejak pertemuan sedikitpun. Aku yakin kejadian memilukan ini ada unsur kesengajaan. Ya, kesengajaan yang Tuhan takdirkan.
Hampir tiga jam aku menunggunya di parkir mobil dengan gelisah dan kalut tanpa kabar apapun darinya. Telepon dan pesan singkat yang kukirim ke ponselnya sama sekali tak ada respon. Apa sih maunya orang itu? Apakah memang sengaja disetting begini? Menunggu, dengan cuaca yang cukup gerah siang itu, pukul sebelas sampai pukul satu siang, telah membuatku menandaskan berkeping-keping crackers ber-taste daun bawang dan berbotol-botol air mineral. Ya, sungguh! Sebagaimana lazimnya, menunggu memang hal yang sangat mengesalkan. Kenyang? Ya, aku kenyang. Tapi soal nasib perut tak kuhiraukan bagaimana kondisinya sebab yang kualami ketika itu adalah kekecewaan yang sangat mendalam.
Semua seolah tiba-tiba bagiku. Kemarin saat kami merencanakan pertemuan kami yang pertama itu, hal yang dapat kami bayangkan adalah pertemuan singkat dengan sapaan manis dan tawa lepas khas sepasang sahabat yang begitu tulus. Namun, apalah daya, semua nyaris tak terbayangkan bahwa apa yang kami bayangkan tak terwujud secuilpun. Oh, malangnya!
Setelah acara pernikahan berakhir dan para undangan berhamburan keluar dari tempat acara, mobil merah yang kuaniki pun keluar dari area parkir roda empat lalu menunggu di seberang jalan. Aku keluar dari mobil, menunggu berkumpulnya keluarga yang semobil denganku. Tiba-tiba dari tempat acara sosok yang tunggu muncul dengan wajah celingukan sembari tangannya sibuk memencet-mencet ponselnya. Mungkin orang itu baru melihat beberapa pesan singkat dan belasan missed call ku. Ya, itu dia orangnya! Sosoknya yang mencuat di antara banyak orang telah meyakinkanku bahwa orang itu adalah orang yang kutunggu. Berkemeja hijau (batik?) lengan pendek, tinggi tubuhnya menjulang, wajahnya yang jenaka dibingkai oleh rambut gondrong yang sangat aneh di mataku. Hhh... Ada selaput bening di mataku. Teganya kamu lakukan semua ini padaku!
Setelah semua keluarga berkumpul kami pun naik ke mobil dan mobilku pun melaju dengan kecepatan sedang. Sembari saling berkirim pesan dengan lelaki itu aku menoleh ke belakang. Kulihat ia yang sedang berdiri di pinggir jalan raya tengah kehilangan jejakku yang terlah berlalu.
Di sepanjang perjalanan pulang aku menatap kosong apa saja yang kulihat. Pemandangan megah jajaran pegunungan vulkanik Gunung ijen dan Gunung Raung dari kejauhan kuabaikan dengan tega meskipun aku tahu mereka menyapaku. Pemandangan laut biru Selat Bali yang begitu anggun turut kuabaikan. Aku mati rasa...
Begitu tiba di daerah kota kuminta Ayah agar mampir sebentar ke toko buku Togamas. Letaknya berhadapan dengan Roxy Square dan bersebelahan dengan Warung Soto. Sementara yang lain makan di Warung Soto aku “menyibukkan diri” di Togamas. Toko buku kecil berlantai dua itu rasanya hambar bagiku. Kupaksakan mencari buku yang menarik, tapi nihil. Koleksi buku disitu sangat sedikit, berbeda dengan Togamas Jember atau Togamas Malang. Namun akhirnya pilihanku jatuh pada sebuah buku berjudul “...” (Aduh... Lupa...)
Setelah selesai membeli buku dan makan di warung soto kami pun melanjutkan perjalanan pulang. Sungguh gagal rupanya, upayaku melupakan kekecewaan itu. Membeli buku dengan berharap aku pulang ke rumah dengan tanpa “tangan kosong” tak cukup mengobati perasaan itu. Oh, Tuhan...
Senja perlahan turun begitu perjalanan telah sampai  kembali di hutan Baluran. Hutan yang tak ada jaringan alat komunikasi dan yang otonomi daerahnya diperebutkan Kapubaten Situbondo dan kabupaten Banyuwangi ini kering meranggas karena musim telah memasuki pertengahan musim panas. Pepohonan gundul. Daun-daunnya yang kering berserakan di tanah. Dengan kecepatan 80 KM/ Jam laju mobil kami pemandangan di sepanjang jalan menimbulkan kesan mewah tersendiri bagiku, pepohonan Jati yang menjulang tinggi tampak menimbulkan efek garis-garis vertikal artistik dengan berlatarbelakang matahari yang mulai berwarna jingga pekat. Subhanallah! Tanpa henti aku berdecak kagum.
Begitu keluar dari area hutan Baluran dan sinyal di ponselku muncul kembali beberapa pesan singkat masuk. Dari sahabatku itu. Isinya pesan yang tak dapat kutangkap dengan rasa maafku. Namun aku tahu kendati pesan singkatnya selama ini nyaris neyeleneh aku tahu penyesalan besar telah melandanya. Untuk sementara kuabaikan.
Hari itu berakhir penat. Aku memejamkan mata, melelapkan semua lelah di kasur kecilku.

Saat kutulis dan kuunggah cerita ini semuanya telah membaik. Kami saling memaklumi; bahwa setiap rencana yang telah dirancang manusia sangat tidak lepas dari kendali dia, Allah, Tuhan Semesta Alam yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dan satu hal yang kulupakan kala itu; aku pernah mengabaikan seseorang yang hendak menemuiku. Mungkinkah ini karma? Jika ya, semoga hal ini tidak menimbulkan karma yang sama pada sahabatku yang hatinya baik itu. Amiin, dengan segala dimensi maknanya.