Rabu, 31 Desember 2014

Tik Tok Tik Tok


Tik. Tok. Tik. Tok.
Tik. Tok.
Tik. Sepi.
Ini malam terakhir di tahun 2014. Seperti biasa, saya tidak pernah merayakan malam pergantian tahun dengan acara khusus, baik bersama teman-teman maupun bersama keluarga. Saya di rumah saja. Selain karena saya belum pernah ada uang lebih untuk merayakannya saya juga tidak pernah merasa tertarik untuk merayakannya. Untuk apa dirayakan? Bukankah malam pergantian tahun adalah malam yang memilukan bagi akumulasi waktu? Seperti balon raksasa yang terus menerus dipompa gas yang siap kapan saja akan meledak dan mengejutkan semua orang atau malah gasnya meracuni pernapasan orang-orang, mungkin seperti itu. Bukankah itu hal yang mengerikan?
Malam ini, di malam pergantian tahun saya seolah berada di sudut ruangan setelah terlempar dari keramaian lalu dirantai oleh sepi yang nyaris. Beginikah rasanya? Dan... Tik. Tok. Tik. Tok. Cuma itu yang dapat saya tangkap dari indera pendegaran saya. Oh, mungkinkah waktu hendak mengajarkan saya memaknai sepi? Baiklah, terima kasih.

Kamis, 18 Desember 2014

Mungkin


"Dan Kami jadikan tidurmu sebagai istirahat. (9)
Dan Kami jadikan malammu sebagai pakaian. (10)
Dan Kami jadikan siangmu sebagai penghidupan. (11)"
[QS. An-Naba': 09-11]
Mungkin tidur manusia adalah sebuah kehendak Tawakal. Penyerahan diri seorang hamba akan ruhnya terhadap Tuhan yang telah menganugerahinya kehidupan.
Mungkin tidur manusia adalah wujud dari kepasarahan diri, sebuah fitrah manusiawi yang dibawanya sejak lahir dan azali. Kepasrahan akan kausalitas, saat mengantuk pelupuk dan kelopak mata akan mengirim impuls kepada saraf sensori untuk bergerak mengatup, melepaskan ruhnya untuk meleburkan lelah di udara, mengembara lepas mengumpulkan titik-titik cahaya untuk bekal di pagi hari.
Mungkin Tidur diciptakan oleh Tuhan sebagai pintu penghubung antara alam realitas dan alam tanpa pancang langit serta daratan sebagai pijakan. Mungkin juga sebagai pintu bagi hikmah; dunia yang lebih luas saat mata tak dapat lagi dibuka.

Jumat, 12 Desember 2014

Hadiah dari Tuhan


Entah ini detik keberapa di usiaku yang ke 21 tahun. Sejak usiaku menginjak 21 tahun beberapa hari yang lalu aku selalu membuka mata di pagi hari dengan perasaan tergugah. Napas yang kuhela dan udara pagi yang kuhirup selalu hadir sebagai hadiah terbesar dari Tuhan untukku. Tak ada yang bisa kubalas hadiah itu melainkan dengan syukur yang terbatas dan kelemahanku menghitung segala karuniaNya.
Aku kini mulai belajar mengenal dan memahami diri sendiri. Memabaca denyut nadi yang meletup di buku-buku jari, mendengarkan dengan hati jantung yang berdetak dan debarnya yang serupa dentuman asteroid kala membentur bumi, meraba buih-buih ombak yang berdebur di sanubari, dan mengartikan fungsi kaki dan impuls saraf yang menggerakkan secara "refleks" ke titik-titik dimana aku dapat bergerak.
Aku kini mulai memahami pula, bahwa semakin seseorang berusaha menyelami penciptaan dirinya sebagai entitas semesta, maka saat itu juga aral akan datang tiada henti dengan beraneka wujud. Sulit bagiku. Tapi aku tahu bahwa manusia diciptakan dengan seperangkat daya dan upaya yang digerakkan alamiah oleh Tuhan.
Bagiku usia 21 tahun adalah waktu yang teramat panjang namun berlalu seperti anak panah yang meluncur dari busurnya. Sangat panjang namun berlalu bergitu singkat. Aku tak mengerti dengan pemahaman ini. Sepertinya ini di luar nalar kita, ya? Aku menganggap ini perjalanan yang teramat panjang karena banyak track yang kulalui tidak mudah. Mungkin karena aku seperti ikan teri yang terseret ke arus palung samudera, berenang melawan arus tetapi selalu gagal dan berakhir menjadi santapan ikan paus. Di sisi lain waktu berlalu begitu cepat, mungkin karena aku menghabiskan setiap detiknya dengan memintal cerita-cerita aneh dan melihatnya kini sebagai kenangan buruk yang berwujud sebagai hantu penyesalan.
Pagi ini sinar mentari telah tinggi. Aku berkhayal bahwa waktu di antara subuh yang telah berakhir dan pintu duhur yang hendak terbentang lebar aku tengah duduk di beranda Tuhan sambil menghitung hasil perniagaanku yang tak seberapa dan berharap setelah ini waktu akan selalu pagi--membawa gairah kehidupan yang selalu baru--atau waktu akan selalu senja, menghadiahkan wajah yang selalu merona kepada langit di sisinya dan bumi di hadapannya.
Semoga. Dengan dimensi maknanya!

Kamis, 18 September 2014

Kecewa dan Karma



Malam ini benar-benar menyedihkan. Saat kutulis cerita ini, internetku sedang dalam gangguan dan aku belum bisa langsung mengunggahnya ke blog.

Barangkali cerita ini terlalu berlebihan. Lebay atau sejenisnya. Tapi... Sesungguhnya... inilah aku yang sesungguhnya. Aku selalu kagum pada ciptaan Allah bernama “Persahabatan”, begitupun aku sangat menghargai persahabatanku dengannya, dan berharap tak ada hal apapun yang memisahkan persahabatan ini.

Perjalanan pada hari minggu itu di Glenmore-Banyuwangi (14/09) bagiku tak lebih dari sekedar menikmati perjalanan menyusuri belantara hutan Baluran atau membeli sebuah buku dari penerbit yang tak cukup populer dari toko buku yang tak bisa kukatakan besar. Rencana bertemu dengan seorang sahabat di sebuah helatan pernikahan gagal dengan tanpa jejak pertemuan sedikitpun. Aku yakin kejadian memilukan ini ada unsur kesengajaan. Ya, kesengajaan yang Tuhan takdirkan.
Hampir tiga jam aku menunggunya di parkir mobil dengan gelisah dan kalut tanpa kabar apapun darinya. Telepon dan pesan singkat yang kukirim ke ponselnya sama sekali tak ada respon. Apa sih maunya orang itu? Apakah memang sengaja disetting begini? Menunggu, dengan cuaca yang cukup gerah siang itu, pukul sebelas sampai pukul satu siang, telah membuatku menandaskan berkeping-keping crackers ber-taste daun bawang dan berbotol-botol air mineral. Ya, sungguh! Sebagaimana lazimnya, menunggu memang hal yang sangat mengesalkan. Kenyang? Ya, aku kenyang. Tapi soal nasib perut tak kuhiraukan bagaimana kondisinya sebab yang kualami ketika itu adalah kekecewaan yang sangat mendalam.
Semua seolah tiba-tiba bagiku. Kemarin saat kami merencanakan pertemuan kami yang pertama itu, hal yang dapat kami bayangkan adalah pertemuan singkat dengan sapaan manis dan tawa lepas khas sepasang sahabat yang begitu tulus. Namun, apalah daya, semua nyaris tak terbayangkan bahwa apa yang kami bayangkan tak terwujud secuilpun. Oh, malangnya!
Setelah acara pernikahan berakhir dan para undangan berhamburan keluar dari tempat acara, mobil merah yang kuaniki pun keluar dari area parkir roda empat lalu menunggu di seberang jalan. Aku keluar dari mobil, menunggu berkumpulnya keluarga yang semobil denganku. Tiba-tiba dari tempat acara sosok yang tunggu muncul dengan wajah celingukan sembari tangannya sibuk memencet-mencet ponselnya. Mungkin orang itu baru melihat beberapa pesan singkat dan belasan missed call ku. Ya, itu dia orangnya! Sosoknya yang mencuat di antara banyak orang telah meyakinkanku bahwa orang itu adalah orang yang kutunggu. Berkemeja hijau (batik?) lengan pendek, tinggi tubuhnya menjulang, wajahnya yang jenaka dibingkai oleh rambut gondrong yang sangat aneh di mataku. Hhh... Ada selaput bening di mataku. Teganya kamu lakukan semua ini padaku!
Setelah semua keluarga berkumpul kami pun naik ke mobil dan mobilku pun melaju dengan kecepatan sedang. Sembari saling berkirim pesan dengan lelaki itu aku menoleh ke belakang. Kulihat ia yang sedang berdiri di pinggir jalan raya tengah kehilangan jejakku yang terlah berlalu.
Di sepanjang perjalanan pulang aku menatap kosong apa saja yang kulihat. Pemandangan megah jajaran pegunungan vulkanik Gunung ijen dan Gunung Raung dari kejauhan kuabaikan dengan tega meskipun aku tahu mereka menyapaku. Pemandangan laut biru Selat Bali yang begitu anggun turut kuabaikan. Aku mati rasa...
Begitu tiba di daerah kota kuminta Ayah agar mampir sebentar ke toko buku Togamas. Letaknya berhadapan dengan Roxy Square dan bersebelahan dengan Warung Soto. Sementara yang lain makan di Warung Soto aku “menyibukkan diri” di Togamas. Toko buku kecil berlantai dua itu rasanya hambar bagiku. Kupaksakan mencari buku yang menarik, tapi nihil. Koleksi buku disitu sangat sedikit, berbeda dengan Togamas Jember atau Togamas Malang. Namun akhirnya pilihanku jatuh pada sebuah buku berjudul “...” (Aduh... Lupa...)
Setelah selesai membeli buku dan makan di warung soto kami pun melanjutkan perjalanan pulang. Sungguh gagal rupanya, upayaku melupakan kekecewaan itu. Membeli buku dengan berharap aku pulang ke rumah dengan tanpa “tangan kosong” tak cukup mengobati perasaan itu. Oh, Tuhan...
Senja perlahan turun begitu perjalanan telah sampai  kembali di hutan Baluran. Hutan yang tak ada jaringan alat komunikasi dan yang otonomi daerahnya diperebutkan Kapubaten Situbondo dan kabupaten Banyuwangi ini kering meranggas karena musim telah memasuki pertengahan musim panas. Pepohonan gundul. Daun-daunnya yang kering berserakan di tanah. Dengan kecepatan 80 KM/ Jam laju mobil kami pemandangan di sepanjang jalan menimbulkan kesan mewah tersendiri bagiku, pepohonan Jati yang menjulang tinggi tampak menimbulkan efek garis-garis vertikal artistik dengan berlatarbelakang matahari yang mulai berwarna jingga pekat. Subhanallah! Tanpa henti aku berdecak kagum.
Begitu keluar dari area hutan Baluran dan sinyal di ponselku muncul kembali beberapa pesan singkat masuk. Dari sahabatku itu. Isinya pesan yang tak dapat kutangkap dengan rasa maafku. Namun aku tahu kendati pesan singkatnya selama ini nyaris neyeleneh aku tahu penyesalan besar telah melandanya. Untuk sementara kuabaikan.
Hari itu berakhir penat. Aku memejamkan mata, melelapkan semua lelah di kasur kecilku.

Saat kutulis dan kuunggah cerita ini semuanya telah membaik. Kami saling memaklumi; bahwa setiap rencana yang telah dirancang manusia sangat tidak lepas dari kendali dia, Allah, Tuhan Semesta Alam yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dan satu hal yang kulupakan kala itu; aku pernah mengabaikan seseorang yang hendak menemuiku. Mungkinkah ini karma? Jika ya, semoga hal ini tidak menimbulkan karma yang sama pada sahabatku yang hatinya baik itu. Amiin, dengan segala dimensi maknanya.

Rabu, 10 September 2014

Melawan Diri

Selasa kemarin, tepat tanggal 09 September, saya dikejutkan dengan kabar yang sudah lama saya tunggu. Kontes Blog yang diadakan oleh Persaudaraan Profesional Muslim Aswaja (PPM ASWAJA) yang saya ikuti ternyata meloloskan tulisan saya kedalam tiga besar tulisan terbaik. Wah, sungguh belum pernah saya duga sebelumnya bahwa hal ini akan terjad! Meraih posisi yang baik di suatu kompetisi adalah sesuatu yang sangat langka dalam hidup saya sehingga kejadian ini menimbulkan kehebohan tersendiri bagi saya.
Saya lalu teringat bagaimana proses penulisan yang saya lalui. Semula saat PPM Aswaja mengadakan kompetisi Blog dengan tema "Muslim Anti Korupsi" akhir tahun lalu saya tergerak untuk ikut serta dalam kompetisi tersebut melihat tema dan kriteria penulisan yang, katakanlah, tidak begitu sulit. Sesegera mungkin saya merancang outline dan mencari bahan tulisannya. Namun suatu musibah besar tiba-tiba menimpa saya. Penyakit lama yang saya idap tiba-tiba muncul semakin parah dan menggerogoti banyak organ vital di tubuh saya. Penyakit lama yang selidik punya selidik berdasarkan riset ilmiah zaman purba diberi nama Malas itu akhirnya mengantarkan saya pada penyesalan tak berujung. Kala itu saya seperti membunuh diri saya sendiri dengan tanpa pertimbangan sedikitpun. Saya memejamkan mata, meninggalkan outline yang sudah saya buat dengan matang dengan teganya. Padahal kalau saya mau saya dapat menyelesaikannya jauh hari sebelum deadline dengan kesempatan saya dapat mengedit ini-itu dalam tulisan saya sehingga menjadi tulisan yang baik. Ya, saat itu saya dirundung penyesalan yang luar biasa mendalam. Berbagai macam kutukan saya umpat pada diri saya sendiri. Oh, betapa menyesalnya!
Tapi ternyata Tuhan tidak menghendaki saya larut dalam penyesalan itu. Kompetisi Blog diadakan lagi oleh panitia yang sama, yakni dengan tema yang baru, yaitu "Walisongo dan Teladan Sukses Berdakwah". Aha! Ini sungguh kabar baik buat saya! Saya jadi curiga, jangan-jangan ada pihak PPM Aswaja yang memata-matai penyesalan saya selama ini? :D Saya pun segera move on.
Berakit-rakit kehulu... Tepian malah terasa semakin jauh. Penyakit lama yang tak kunjung sembuh itu muncul kembali. Aduh! Bagaimana ini...?! Saya pun pasrah pada keadaan. Ah, deadlinenya sudah semakin dekat, untuk apa sibuk memikirkan hal ini? Bikin tak enak makan saja! Lagi-lagi saya campakkan kertas berisi rancangan tulisan yang sudah saya buat. Saya lalu menyibukkan diri dengan beragam kegiatan, fokus pada rangkaian kegiatan saya sehari-hari, yaitu masak, makan, dan tidur. Ya, sangat fokus malah!
Panas berganti hujan dan hujan pun berganti panas. Hingga tibalah waktu dimana saya harus menatap dalam kalender yang saat itu bulan Mei. Benar, deadline sudah terlewati begitu saja. "Enteng" rasanya. Beberapa waktu lagi bulan Ramadhan akan tiba. Wah... Sepertinya akan menjadi kesempatan baik untuk saya "mengasingkan diri" lagi seperti bulan Ramadhan tahun lalu. Yiha!!! Saya pun berbincang santai dengan ayah, mengutarakan maksud saya untuk kembali ke suatu tempat dimana saya pernah secara tidak sengaja menidurkan diri dan merasakan rindu pada kampung halaman dari jauh. Siah kah!^^ dan ternyata ayah menyetujuinya. Mendukung malah!
Namun, di sepotong siang yang terik di separuh akhir bulan Sya'ban, seekor semut datang pada saya dengan membawa sebuah berita baru yang lagi-lagi mengejutkan saya. Kompetisi Blog yang saya kira selesai ternyata belum! Pihak panitia menjelaskan bahwa waktu kompetisi diperpanjang karena jumlah peserta yang masih sangat sedikit. Wah... Wah.. Rupanya selain Cah Kang PPM Aswaja memata-matai penyesalan saya mereka juga mengasihani saya. Aduh... Saya terharu!
Lamat-lamat saya menimbang dua hal yang sama beratnya. Pertama, jika saya memutuskan untuk pergi "mengasingkan diri", maka saya harus menggagalkan Kompetisi Blog yang sudah berbaik hati menunggu saya. Kedua, sebaliknya, jika saya menggagalkan Kompetisi Blog ini, maka saya harus menggagalkan rencana saya untuk pergi "mengasingkan diri". Saya pun bingung. Setelah berpikir mendalam, akhirnya saya memutuskan untuk menggagalkan rencana saya untuk "mengasingkan diri" dan ikut dalam Kompetisi Blog tersebut. Ya, saya sangat kenal, bahwa Zyadah adalah tipikal orang yang sulit konsentrasi dalam dua hal yang bersamaan. Saya juga penasaran, seakut apa sih penyakit "Purba"  yang diidap Zyadah?
Kemudian, hari demi hari di Bulan Ramadhan saya mulai berbenah. Saya acarok (baca: berperang) dengan diri saya sendiri, mulai dari mengubah lagu-lagu galaunya Rhoma Irama di playlist Music Player dan menggantinya dengan lagu-lagu jingkrak yang ceria (kalau "Unconditionally"-nya Katy Perry jingkrak juga, yaa? :D) sampai mengubah posisi tidur yang semula kepala di utara menjadi kepala di selatan. Ini Perang Suci bagi saya. Hhh... Sebegitunya...
Dan inilah hasil akhirnya. Kompetisi Blog yang sudah saya ikuti, terlepas dari apa dan bagaimana kompensasinya, telah saya ketahui bahwa kegagalan besar yang seringkali saya alami adalah berasal dari penyakit Malas dari dalam diri saya; malas membaca diri sendiri dari luar.
Setelah ini, perang akan semakin memanas. Dan lihat saja, kelak, siapa yang akan menjadi pemenangnya? Saya dan Zyadah, atau...? Ya, semoga!

Selasa, 29 Juli 2014

Sabtu, 19 Juli 2014

Leter Bawang; Delicious!!!


Hari raya Idul Fitri sudah di depan hidung. Merayakan hari lebaran dengan seperangkat fashion kurang lengkap rasanya tanpa kue-kue kering untuk disuguhkan kepada sanak saudara yang datang berkunjung--silaturrahim--ke rumah. Nah, di bawah ini dia aku punya resep kue kering dengan taste Onion yang saaaaangat lezat...! Lets Try!

Bahan:
  • 2 1/2Kg Tepung Terigu Cakra Kembar
  • 500 Gr Blue Band
  • 1 lt Minyak Goreng Bimoli
  • 10 Butir Telur Ayam Kampung, buang putihnya 5.
  • 3 Butir Kuning Telur kocok lepas untuk olesan
  • 250 Gr Bawang Merah Goreng, tumbuk kasar
  • Keju Cheddar Parut
  • 2 Bks Royco Rasa Ayam
  • 150 Gr Gula Halus
  • 1 Sdt Garam
Cara Membuat:
  1. Campur Blue Band, gula halus, dan telur. Kocok sampai merata.
  2. Masukkan bawang goreng, Royco, dan garam, aduk rata.
  3. Tuang minyak goreng, sambil lalu masukkan tepung sedikit demi sedikit, aduk hingga adonan menjadi kalis.
  4. Ambil sebagian adonan, tipiskan dengan ketebalan sesuai selera, cetak, letakkan ke loyang, olesi kuning telur, dan taburi dengan keju parut.

  5. Oven dengan suhu 140'C sampai matang. Angkat. Sajikan.
Tips:
*agar kerenyahan kue tahan lama, masukkan ke toples dalam keadaan dingin.

SELAMAT MENCOBA! :)

Kamis, 17 Juli 2014

Epistemologi Dakwah

Iqra'. Bi-ismi Robbika al-Ladzi Khalaqa (QS. 96: 1)
Bacalah. Dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan

"Bacalah!"
Bacalah! Apa saja. Segala sesuatu yang dapat ditangkap oleh indera penglihat. Segala sesuatu yang dapat ditangkap oleh indera pendengar. Segala sesuatu yang dapat ditangkap oleh indera pencium. Segala sesuatu yang dapat ditangkap oleh indera peraba. Dan segala sesuatu yang dapat ditangkap oleh indera pengecap. Bacalah! Apa saja yang ada di sekelilingmu. Bacalah dengan teliti dan hati-hati. Bacalah dengan penuh mawas diri.
Bacalah! Setiap deru nafas, setiap detak jantung, setiap aliran darah, setiap gemuruh di dada, dan setiap inci hati dan otakmu! Bacalah, terik mentari yang menyengat, uap yang membubung ke awan, awan yang menggumpal, air yang tumpah ruah, tumbuhan yang menghijau, dedaunan yang mulai menguning, dedaunan yang mulai gugur; kembali ke tanah, air yang meluap marah, batu-batu es yang meleleh, pasir-pasir yang mengendap di lautan yang dihampar dengan luas, ikan-ikan dan tumbuhan di lautan, binatang-binatang yang beranak-pinak, burung-burung yang berkicau dan terbang riuh rendah, dan setiap partikel yang ada di gugusan tata surya. Bacalah! Bacalah! Bacalah! Lalu bergeraklah! Bergeraklah dengan fitrah!
Bacalah... Setiap jengkal di radius langkah. Seperti Muhammad, Nabi yang membaca bahasa kaumnya untuk kemudian mengarahkan mereka ke jalan yang haq. Bacalah terlebih dahulu; dirimu sendiri. Perbaiki. Bacalah sekelilingmu! Lalu gerakkanlah dengan fitrah...

Senin, 07 Juli 2014

Terlalu Angkuhkah Aku?

Maha Suci Tuhan Semesta Alam...
Segala Puji Bagi Allah. Tak kusangka, liburan panjang yang sejak lama kutunggu ternyata telah kulalui hampir separuh perjalanan. Seperti pada biasanya, sejak dulu, pesantren tempatku belajar menyediakan hari libur yang cukup panjang dalam setahun, yakni 60 hari. Terhitung dari tanggal 20 Sya'ban sampai tanggal 10 Syawal. Belum lagi liburan-liburan pendek pada hari besar islam yang lain.
Saat ini aku tiba-tiba teringat pada kehebohan teman-temanku saat detik menjelang liburan kemaren. Mereka sedang apa saat ini, ya? Apa saja kesibukan mereka selama liburan? Hhh... Rindu. Selama liburan aku disini hanya diam, tanpa aktifitas yang berarti, mungkin. Sehari-hari aktifitasku hanya membantu pekerjaan rumah Ibu bersama adik-adikku yang lain. Itu saja. Padahal kalau aku mau, aku bisa mengikuti pengajian kitab yang rutin setiap tahun pada bulan puasa yang diadakan oleh pihak pesantren disini. Untuk tahun ini pengajian kitab masih melanjutkan kitab yang digunakan Ramadhan tahun kemaren, yaitu kitab Tafsir Jalalain (sebuah karya monumental dari dua mufassir yang hidup pada rentang abad 15-16 masehi yaitu Syaikh Jalaluddin al-Mahalli dan Syaikh Jalaluddin as-Suyuthi), pengajian ini diasuh langsung oleh pengasuh pesantren sendiri, Kiai Azaim dan dilangsungkan setiap hari selama paruh pertama bulan puasa setiap pagi dari pukul 08-00 sampai 11.00 WIB dengan peserta santri putera dan puteri senior, alumni, dan sebagian tetangga sekitar. Sebenarnya aku ingin mengikuti pengajian tersebut.
Tapi... Entahlah... Aku enggan.
Berat rasanya untuk aku berkenalan dengan kitab sekaliber Tafsir Jalalain. Aku malu, bahkan teramat malu. Aku malu karena jika aku mempelajari Tafsir Jalalain kewajibanku untuk mengamalkan ilmu yang aku dapat akan semakin bertambah, sementara ilmu-ilmu lain yang aku tahu dari Sullam at-Taufiq, Safinah an-Naja, Bidayah al-Hidayah, atau bahkan Qul Hadzihi Sabili serasa belum purna kuamalkan. Aku tak mau terlanjur mengenalnya jika kemungkinan besar aku akan mengacuhkannya, bukankah perkenalan yang kemudian akan disalahkan?
Biarlah aku di rumah saja. Merenungi kesendirianku di bulan suci ini, mengumpulkan energi untuk kupakai di bulan-bulan selanjutnya esok. Dan sejauh ini aku bertanya-tanya dalam hati--dalam blog ini juga :D--sebenarnya, terlalu angkuhkah aku? Lalu bagaimanakah seharusnya? Semoga ada yang mau dan bisa menjawab pertanyaan ini. Aku tunggu.

Sabtu, 05 Juli 2014

Mari Kita Mulai

"Masing-masing manusia
menitipkan dirinya kepada satu sama lain.
Untuk dilindungi, dihormati, dan disayangi."
(Zyadah) 07 Ramadhan 1435 H

Aku mengatakan hal itu pada seseorang yang baru saja datang dan duduk di ruang tamuku. Mengapa? Hal itu aku katakan padanya agar menjadi semacam kontrak bagi pertemananku dengannya, bagi kami ke depan, supaya kami masing-masing segera bertanggungjawab untuk bersama dalam rasa aman, nyaman, dan tentram.
Siapa yang tidak senang dengan persahabatan? Kurasa setiap partikel dalam tata surya menyenangi persahabatan. Manusia terhadap alam, alam terhadap manusia, begitupun sesama manusia. Berangkat dari sunnatullah itu setiap manusia berhak untuk merasa aman, nyaman, dan tentram sehingga setiap kita masing-masing wajib untuk saling menjaga, menghormati, dan menyayangi.
Semoga Tuhan--Yang Maha Menjaga--Melindungi kita dari perilaku saling menghinakan, menyakiti, melukai, dendam, dan saling membenci... Sampai pada saatnya kita tak dapat bersama lagi.
Bismillah. Dengan Nama Allah, mari kita mulai... :)

Jumat, 04 Juli 2014

06.19 - No comments

Bersama Waktu

Seharusnya,
Bulan Ramadhan menjadi goa, tempatku menyendiri
Bukan menjadi terminal
Yang menjadi tempat singgah kendaraan umum

__
Tuhan, mengertilah...
Aku lelah dengan semua ini
Aku butuh sandaran
Dan tak ada sandaran yang kubutuhkan
--melainkan Engkau
Aku ingin sendiri, Tuhan.
Kenapa Engkau malah mengirimkan seseorang
Yang menambah beban di pundakku di hadapan Engkau kelak?
----
Tuhan, aku ingin sendiri
Menyendiri bersama waktu
Menyusun kembali kepingan hati
Dan kekuatan
Untuk sebaik-baiknya... Penghambaan.

Senin, 30 Juni 2014

Sebentar Saja




Setiap manusia berjalan atas nama impiannya. Kendati hidup terkadang sampai pada titik yang membosankan, impian lalu muncul kembali sebagai pengingat bahwa hidup tak boleh jenuh.
Ah... Aku belum bisa melanjutkan catatan ini... Random!


Rabu, 26 Maret 2014

Belajar Kesetiaan dari Sayyidah Rahmah, Istri Nabi Ayub


Nabi Ayyub adalah seorang yang cerdas dan bijaksana. Di dalam tubuhnya mengalir dua tedak kenabian, yakni dari Nabi Ishaq dan Nabi Luth. Sejak ayahnya wafat, Nabi Ayyub menjadi seorang yang sangat kaya raya. Ia mewarisi sejumlah besar hewan ternak yaitu unta, lembu, domba, kuda, keledai, dan himar sehingga tidak ada yang menandingi kekayaannya di negeri Syam.
Nabi Ayyub menikah dengan tiga orang perempuan, salah satunya bernama Sayyidah Rahmah, yang silsilahnya masih bersambung kepada Nabi Yusuf. Dari Sayyidah Rahmah lah Nabi Ayyub memiliki keturunan 24 orang anak, dengan 12 kali mengandung. Dalam kehidupannya, Nabi Yusuf sangat disayang oleh kaumnya. Itu karena beliau sangat dermawan, beliau selalu menyantuni fakir miskin, yatim piatu, dan para janda.
Keshalehan Nabi Ayyub menyebabkan perasaan iri bagi para makhluk sebangsa jin dan iblis. Mereka berkata, “Ayyub benar-benar sukses usahanya, baik dunia maupun akhiratnya. Untuk itu ia harus dirusak salah satu dari keduanya.” Iblis pun menghadap kepada Allah dan berkata,
“Ya Allah, Ayyub sangat rajin beribadah kepada-Mu lantaran ia Engkau lapangkan rizki dan kehidupannya.”
Allah menjawab, “Tidak. Dia orang shaleh. Sekalipun Aku tidak melapangkan rizki dan hidupnya, dia akan tetap beribadah kepada-Ku.”
“Ya Allah, aku ingin menggodanya. Sejauh mana dia tidak lupa beribadah kepada Engkau. Untuk itu beri aku kemampuan untuk menguasainya.” Allah pun memenuhi tuntutan iblis terkutuk itu. Melalui godaan iblis itu Allah menguji iman dan taqwa Nabi Ayyub. Kekayaan Nabi Ayyub yang melimpah seketika di hancurkan oleh mereka. Putra-putri beliau pun mereka racuni sehingga semuanya wafat. Tetapi sayang, para iblis gagal. Nabi Ayyub tetap ikhlas dan tetap istiqamah beribadah kepada Allah. Musibah-musibah besar yang menimpanya sama sekali tidak menggeser dan menggoyahkan keimanannya kepada Allah.
Suatu ketika, iblis datang kembali menggoda Nabi Ayyub yang sedang melaksanakan solat. Ketika tengah bersujud, iblis meniup hidung dan mulut Nabi Ayyub sehingga tubuhnya menggembung dan berpeluh. Kemudian Nabi Ayyub diserang penyakit cacar. Dari seluruh tubuhnya mengeluarkan bau busuk akibat darah dan nanah yang mengalir di permukaan kulitnya dan ulat-ulat pun berjatuhan. Keadaan tersebut membuat sanak familinya jijik kepada Nabi Ayyub sehingga mereka meninggalkannya. Termasuk dua istrinya yang lain, mereka meminta cerai dari Nabi Ayyub.
Semakin lama penyakit di tubuh Nabi Ayyub bertambah parah. Masyarakat setempat yang semula setia menjadi kaum Nabi Ayyub kini berubah menjadi musuhnya. Mereka mengusir Nabi Ayyub agar meninggalkan kampungnya supaya penyakitnya tidak menular. Bersama Sayyidah Rahmah Nabi Ayyub pergi meninggalkan kampung itu untuk hidup terasing agar masyarakat tidak merasa jijik kepadanya. Akhirnya Nabi Ayyub dan Sayyidah Rahmah tinggal di sebuah gubuk tua yang jauh dari pemukiman warga. Nabi Ayyub melihat Sayyidah Rahmah sangat setia kepadanya. Ia begitu rela menemani Nabi Ayyub saat yang lain meninggalkannya, bahkan dalam kondisi terburuk sekalipun.
Suatu ketika Nabi Ayyub berkata pada Sayyidah Rahmah, “Hai Rahmah, pulanglah. Aku rela jika kau menjauh dariku.”
Sayyidah Rahmah menjawab, “Tidak, suamiku. Kau jangan khawatir. Aku tidak akan meninggalkanmu seorang diri. Aku akan berada di sisimu selama hayat dikandung badan.”
Dan untuk menghidupi Nabi Ayyub, Sayyidah Rahmah bekerja di sebuah perusahaan roti. Namun lama kelamaan, masyarakat di daerah itu mengetahui bahwa Sayyidah Rahmah adalah istri Nabi Ayyub. Pemilik perusahaan roti itupun memberhentikan Sayyidah Rahmah dari pekerjaannya, ia berkata,
“Menjuhlah dari kami, sebab kini aku merasa jijik padamu.”
Sayyidah Rahmah menangis, mengadu pada Allah, “Ya Allah, Engkau melihat keadaanku kini. Seolah-olah dunia berubah menjadi sempit bagiku kini. Mereka selalu menghinaku, namun jangan Kau hina aku di akhirat nanti. Mereka selalu mengusirku namun jangan Kau usir aku di akhirat nanti.”
Sayyidah Rahmah akhirnya memutuskan untuk menjual gelungan rambutnya yang berjumlah 12 buah, sangat dan indah dan banyak orang yang menyukainya. Ia pun menjualnya kepada si pemilik perusahaan roti untuk ditukar dengan roti demi agar Nabi Ayyub tidak kelaparan. Melihat roti segar  itu, Nabi Ayyub menyangka Sayyidah Rahmah telah menjual diri. Tetapi Sayyidah Rahmah menampik, dan berkata bahwa rambutnya akan tumbuh kembali bahkan dengan yang lebih indah.
Setiap ada ulat yang jatuh dari tubuhnya, Nabi Ayyub memungutnya kembali dan mletakkannya kembali ke luka-luka di tubuhnya dan berkata, “Hai Ulat-ulat… Makanlah apa-apa yang Allah rizkikan kepadamu.” Penyakit itu semakin parah. Seluruh dagingnya dimakan habis oleh ulat-ulat yang bersarang di butuh Nabi Ayyub sehingga hanya bersisa tulang, urat, dan sarafnya. Menurut suatu riwayat, penyakit ini diderita Nabi Ayyub selama 18 tahun.
Pada Suatu hari Sayyidah Rahmah berkata kepada Nabi Ayyub, “Suamiku, engkau kan seorang Nabi di sisi Tuhanmu. Kalau saja kau mau berdoa untuk kesembuhan tubuhmu, pasti…”
Nabi Ayyub langsung menjawab, “Sudah berapa tahun masa senang kita?”
Sayyidah Rahmah menjawab, “80 tahun…”
“Sungguh malu rasanya jika aku berdoa kepada Allah meminta penderitaan ini segera berkhir, mengingat masa ditimpa musibah belum seberapa dibandingkan dengan masa kita bersenang-senang.” Kata Nabi Ayyub. Penyakit itu semakin bertambah parah saja sampai-sampai ketika mentari terbit menyinari tembuslah sinarnya dari depan sampai punggungnya. Yang tersisa hanyalah hati dan lisannya, sebab hatinya selalu beriman kepada Allah dan lisannya selalu berdzikir kepada Allah. Dan ketika tiada lagi daging pada tubuhnya yang layak untuk disantap, maka ulat-ulatpun saling menyantap sesamanya hingga tersisa dua ekor ulat saja. Yang satu menyantap lisan Nabi Ayyub dan yang lain hendak menyantap hati nabi Ayyub. Saat itulah Nabi Ayyub berdoa kepada Allah,
“Sesungguhnya aku telah ditimpa kemelaratan, sedangkan Engkau lebih pengasih dari segala pengasih…” (QS. Al-Anbiya’: 83)
Kemudian wahyu Allah turun kepadanya, “Hai Ayyub, hati dan ulat adalah milikKsssu, sedangkan derita dan sakitmu adalah dariKu, kenapa harus bersedih?”
Allah pun memberi Nabi Ayyub obat yang dikirim melalui Malaikat Jibril berupa air yang lalu disiramkannya ke tubuh Nabi Ayyub. Allah berfirman,
“Lalu Kami perkenankan doanya, dan Kami lenyapkan penyakit berbahaya pada dirinya, dan Kami datangkan kepadanya seluruh keluarganya semisal mereka, sebagai rahmat dari sisi Kami dan sebagai peringatan bagi orang-orang yang beribadah.” (QS. Al-Anbiya’: 84)
Segera setelah itu penyakit Nabi Ayyub sembuh dan tubunya kembali bersih seolah tidak pernah terkena penyakit. Selesailah ujian dari Allah bagi Nabi Ayyub. Setelah itu, Allah semakin mendekatkan Nabi Ayyub di sisi-Nya, menjadi hamba Allah yang senantiasa dicintai Allah.
***
Sahabatku yang beriman… Dari Kisah Nabi Ayyub banyak hikmah yang dapat kita petik bersama. Salah satunya agar kita tetap bersabar dan beriman kepada Allah dalam keadaan senang maupun keadaan susah. Dalam keadaan sehat atau keadaan sakit. Sebab kesenangan adalah juga bentuk ujian dari Allah, sejauh mana kita mampu bersyukur sebagaimana kesusahan, sejauh mana kita mampu bersabar atasnya.
Selain itu, kita juga belajar tentang kesetiaan Sayyidah Rahmah kepada kondisi terburuk Nabi Ayyub dalam kehidupan rumah tangga kita. Seberapapun buruknya kesehatan suami atau istri, kita harus tetap setia bersamanya. Mendampinginya dengan tulus, untuk tetap bersama-sama beribadah di hadapn-Nya.
Semoga bermanfaat.

*tulisan ini pernah dimuat dalam situs cyberdakwah.com pada tanggal 19 November 2013