Sabtu, 31 Januari 2015

Catatan Perjalanan Ke Kampus Fiksi Roadshow Surabaya (Bagian I)

Inilah kali keempat aku bepergian ke tempat jauh, lintas kota, tanpa ditemani oleh ibu atau siapa yang lebih tua dan berpengalaman. Pengalaman pertama saat aku masih SMA ke kota Jember bersama seorang teman untuk sebuah urusan sekolah. Kedua ke kota Rembang Jawa Tengah (ini perjalanan tergawat yang pernah kulakukan) seorang diri, tanpa ditemani siapapun, berbekal rasa cemas dan kesal orang-orang rumah untuk urusan yang kuanggap penting, entah anggapan mereka. Ketiga setahun lalu ke kota Jember lagi bersama saudari tertuaku untuk urusan “bisnis” kecil. Dan inilah yang keempat, ke kota Surabaya dalam rangka menghadiri acara pelatihan menulis, Kampus Fiksi Roadshow Divapress bersama saudariku yang pertama, namanya Afuf, dan seorang temanku bernama Hurin. Ya, kami bertiga saat itu. 

Usiaku sudah 21 tahun lebih 2 bulan. Barangkali catatan perjalanan ini mengindikasikan karakter pribadiku yang anak rumahan dengan ruang lingkup yang sangat sempit. Kasihan.
***

Malam itu kegalauan yang sejak siang melandaku memuncak menunggu keputusan Tuhan untuk menakdirkanku berangkat ke Surabaya atau tidak. Namun begitu dengan berat Ibu dan Ayah akhirnya mengijinkan kami untuk berangkat ke Surabaya setelah kujelaskan betapa pentingnya moment ini untuk mengisi celah-celah kosong di masa mudaku. Berat karena Ibu dan Ayah tidak dapat mengantarku dan membiarkan kami bertiga, perempuan, jalan malam hari. Bagi orangtua ini kondisi yang cukup mencemaskan. Namun ada yang lebih penting dari sekedar mengisi celah kosong itu, nanti biar kujelaskan.Pukul 22.45 sabtu malam (24/01) setelah salim ke Ibu kami berangkat, saat itu Ayah sudah tidur. Berbekal niat, sangu yang tidak kurang dan tidak lebih alias pas, masing-masing tiga botol air minum dan sebungkus nasi. Dengan menumpangi becak motor kami bertiga telah sampai di congap[1] Sukorejo. Begitu kami tiba Abang Becak yang mangkal disana berujar bahwa Bus Akas yang ke Barat (Surabaya) baru saja lewat sekitar setengah jam yang lalu. Sayang sekali...

“Wah, Mbak, Bus Akas jurusan Surabaya sudah lewat sekitar jam sepuluh tadi.” Ujar Abang Becak berpakaian kumal dengan topi kupluk sembari menghampiri kami.

“Oya? Lalu kapan ada Bus  lagi?” Jawab Kak Afuf  bertanya.

"Biasanya kalau Bus yang jam sepuluh sudah lewat, Bus selanjutnya dua jam lagi baru ada. Kalau dari timur sepi penumpang bisa pukul tiga atau sebelum subuh baru ada.” Jawaban Abang Becak itu sontak meragukan kami.

“Oh, baiklah. Kami akan menunggu.” Kataku dengan setengah kawatir.
Akhirnya kami memutuskan untuk menunggu, berapa pun lama waktunya. Aku tak bisa terbayang jika tak ada Bus ke arah barat lalu aku kembali pulang ke rumah dengan memanggul sekarung kekecewaan dan niat yang tinggal niat. Kami menunggu, menunggu dengan diliputi perasaan harap-harap cemas tak karuan.

Puluhan Bus malam berlalu sudah meninggalkan kami dengan sapaan klakson dan lampu terang yang menyilaukan kami bertiga menandakan Bus-bus itu tak mau menaikkan kami. Mobil-mobil box berlabel besar “PAKET KILAT”, “PAKET EXPRESS”, “JNE EXPRESS”, sampai “Pos Indonesia” juga telah melintas cepat berlalu lalang di hadapan kami. Bahkan dua Bus Pariwisata dari arah barat dan timur yang berbelok masuk ke Sukorejo untuk ziarah ke maqbarah Hadratus Syaikh KHR. As’ad Syamsul Arifin, Sang Mediator lahirnya ormas Islam terbesar di Indonesia Nahdlatul Ulama itu, juga keluar dari desa kami. Oh, begitu lamanya kami menunggu. 

Finally, kesabaran kami berbuah manis. Tepat pukul 00.45 Bus Akas jurusan Banyuwangi-Surabaya berhenti di depan kami. Ternyata tak terasa dua jam sudah kami menunggu. Begitu kami naik patutlah kami membaca doa naik kendaraan, mengucap syukur dan melepas napas lega karena bus tersebut ternyata tidak penuh dengan penumpang dan ada kursi kosong di formasi tiga paling depan. Duduklah kami di situ. Ehem, kursi paling depan memang tempat favoritku! Thanks God! 

Kami membeli tiga karcis ke Surabaya langsung. Perkarcis Rp. 47.000. Namun  kami cukup membayar Rp. 140.000 saja, dipotong Rp. 1000. Aku melemparkan pandangan ke barisan belakang menatap wajah-wajah para penumpang, perasaan takut, curiga, dan negative thinking lainnya perlahan kuhilangkan. Mungkin memang begini jadi anak rumahan, setiap keluar dari rumah selalu menaruh curiga dan perasaan awas terhadap orang asing di sekitarnya. 
"Oh, God!” Aku menyempalkan perasaan macam itu sesegera mungkin. Asalkan bersikap wajar, air muka yang tenang dan raut emosi yang stabil, berpenampilan sesederhana mungkin yang tidak menimbulkan kesan “orang kaya”, barangkali ini bisa menjadi tips agar tetap aman dalam melakukan perjalanan. Tsah! Baru keluar beberapa kali saja sudah berlaga ngasih tips. Sok tahu, nih!

Pukul 01.20 bus berhenti di terminal Situbondo untuk menaikkan penumpang baru. Sesekali kami bertiga bercanda, ngobrol untuk menghilangkan suasana tegang dan rasa kantuk yang mulai muncul. Tak berapa lama kemudian seorang pemuda berpenampilan lusuh sembari menenteng gitar naik ke Bus. Menyapa para penumpang dengan sapaan khasnya yang disusul dengan petikan gitarnya perlahan-perlahan. Kurasa aku tak dapat memberinya poin A untuk petikan gitarnya. 

Jreng...
Lalu menyanyilah ia. Tubuhnya yang kerempeng larut menyanyikan lagu Jowo Osing dengan suaranya yang cempreng. Geli sendiri aku mendengarnya. Baiklah, kudengarkan  saja dengan seksama dan harus dengan tempo yang sesingkat-singkatnya heheheheehh. Tapi, maaf. Aku tak bisa memberinya duit, rokok, atau permen seperti yang dipesankannya saat baru memberi sambutan tadi. Maaf, yaa? J

Setelah tak ada lagi penumpang yang naik, tepat pukul 01.40 Bus kami kemudian melaju kembali meninggalkan terminal Situbondo. Saat malam hari kota kecil ini sangat lelap, tidur dalam balutan sunyi. Suasana yang jauh berbeda dengan kota besar saat malam hari yang tetap sibuk dengan kegiatan malamnya. Beberapa sumber mengatakan bahwa kotaku ini masuk dalam jajaran kota termiskin di Jawa Timur. Luas geografisnya yang tak luas, letaknya yang menjorok ke laut dan tak ada keunggulan hasil alam yang khas membuat kota ini tak semakmur kota-kota lain yang memiliki ciri khas baik dari hasil alam atau sektor pariwisatanya. Tak apalah, bagaimana pun “Kota Santri” adalah predikat paling prestisius yang disandang oleh kota ini. Aku masih ingat kejadian beberapa tahun silam, Kiaiku beserta ribuan santrinya tumpah ruah turun ke jalan raya, menutup akses jalur protokol Banyuwangi-Surabaya untuk melakukan demonstrasi atas kasus korupsi yang dilakukan Bupati Situbondo. Demonstrasi ini sebuah respon sekaligus desakan agar KPK segera meringkus Bupati yang kemenangannya dimonopoli oleh suara santri dan masyarakat asuhan Kiaiku itu. Lengkaplah sudah kemiskinan kota ini. Bagaimana kabar mantan Bupatiku itu, ya? *baik-baik sayang... :D

Jarum jam menunjukkan pukul 02.20. Sopir menginjak pedal rem tepat di depan sebuah toko swalayan kecil. Aku mengedarkan pandangan, mencari tahu dimana Bus kami berhenti. Oh, Besuki. Wah, rupanya Bus ini ngesot dari terminal Situbondo tadi. Jam segini, jalanan tak begitu ramai, seharusnya kurang dari satu jam waktu tempuh dari terminal Situbondo ke Besuki. Aku menguap lebar. Rasa kantuk tak dapat lagi kutahan. Kak Afuf dan Hurin di sebelahku telah lelap. Oh, Pak Edi... Demi bertemu denganmu... Semoga Tuhan mempertemukan kita dalam mahligai yang diridaiNya. Wkwkwwkkkk... 

Kututup mataku. Kupasrahkan segalanya kepada Sang Penjaga. Kutitipkan seluruh perjalanan hidupku kepadaNya. Intinya tidur! Beberapa waktu kemudian mesin Bus berderum kembali menimbulkan efek getar pada tubuh, kuintip jam di ponselku, pukul 02.45. Segera kurapatkan kembali mataku. Semoga aku bisa datang ke tempat acara jauh lebih awal dari peserta lain, tidak diusir lantaran tidak mendaftarkan diri terlebih dahulu atau tidak lesehan karena tidak dapat jatah kursi. Hus... Hus... Naudzubillah! 

Angin yang berhembus cepat menghadirkan udara malam yang amat dingin dikombinasi dengan kecepatan Bus yang melesat dibawah kendali sopir yang kesetanan. Aku tidur semakin lelap saja. Inilah yang dimaksud  tebak-tebakan yang sering kita dengar, mengapa kita dapat tidur nyenyak di atas Bus? Karena ban Bus-nya bundar, bukan persegi. Hahahhh! 

Cckkkiiiiiitttttt!!!!! Prrannnggg!!!!!

Bus tiba-tiba berhenti, ngerem mendadak. Kaca jendela Bus sebelah kiri pecah berserakan. Segera kubuka mata, terlonjak kaget. Suasana di dalam Bus seketika itu menjadi riuh dan kacau. Semua mantra keselamatan segera kurapal. Ada apa ini? Perasaan takut dan cemas menyergap para penumpang sekaligus. Ada apa? Ada apa??? 

Pak Kenek dan Pak Kondektur Bus turun dari Bus dan berlari mengejar pelaku. Menurut saksi mata, penumpang Bus yang melihat kejadian itu, sekelompok ABG yang tampak mabuk  telah melempar sebuah batu dengan keras ke arah Bus sehingga tepat mengenai ke kaca Bus bagian kiri yang melintas di hadapannya. Pak Kenek dan Pak Kondektur yang mengejar ABG itu kembali ke Bus dengan nihil. Rupanya ABG itu kabur.

Akhirnya suasana kacau itu tak segawat yang kupikirkan. Kukira kecelakaan hebat telah menimpa kami. Di kepalaku berkelebat bayangan ban Bus bagian depan menggelinding lepas, disusul Bus yang mendadak berhenti menyekaratkan seluruh penumpang yang ada. Lalu polisi berdatangan dengan tim-tim penyelamat. Seperti di berita-berita di televisi. Astaghfirullah... Lindungi kami Tuhan.... 

Pak Kenek, Pak Kondektur, dan Pak Sopirnya pun berusaha menenangkan diri. Setelah itu perjalanan pun dilanjutkan kembali. Kasak-kusuk penumpang masih terdengar riuh di dalam Bus. Agaknya mereka merasa iba pada “aparat” Bus, termasuk kami bertiga. Kecelakaan macam itu sudah barang tentu “memakan” jatah penghasilan mereka hari ini atau syukur kalau tidak.

Tak jauh dari jarak kecelakaan tadi, Bus berhenti lagi, ditunggu Bus baru yang penumpangnya masih sedikit. Kami semua dioper. Sepertinya memang lebih baik begitu, tapi aku tetap merasa iba pada Pak Sopir dan rekannya itu. Mereka pasti bingung.

Tanpa parkir di terminal Probolinggo, Bus kami terus melaju. Melintasi jalanan kota yang sesak dengan haru biru kehidupan. Malam merambat di dinding langit yang mulai merekahkan fajarnya. Kami yang lelap pun terbangun begitu sinar mentari menyorot kaca jendela Bus, menyilaukan mata. Indera penciumanku menghela aroma pagi yang segar dibauri gas-gas polutan yang berputar-putar di udara. Begitu membuka mata dengan lebar, kami tengah melintasi jalan Tol Gempol yang tampak lengang berbeda dari biasanya.
Pukul 06.07 WIB kami tiba di terminal Bungurasih Surabaya. Begitu turun dari Bus kami disambut oleh para calo Bus, sopir taksi, sopir Bus kota, dan penjaja makanan kecil. Kami menolak karena kami masih harus ke Masjid untuk istirahat sebentar, bersiap-siap untuk langsung ke tempat acara Kampus Fiksi Roadshow di Gedung Balai Pemuda. 

Kami bertiga melangkah menuju masjid dekat pintu masuk terminal, sayangnya aku tak menangkap suasana ini ke dalam kamera ponselku. Disana kami membersihkan diri, mandi, Kak Afuf dan Hurin mengganti solat subuh. Setelah itu kami makan nasi bekal yang kami bawa. Hahaha... Selain sebagai bentuk penghematan, membawa bekal makanan saat melakukan perjalanan adalah salah satu cara menghindari makanan warung cepat saji yang sudah tentu  mengandung pengawet makanan yang berbahaya, atau yang lebih sadis makanan di warung pinggir jalan yang bikin ngeri pas lihat tempat cuci piringnya jorok. Alesan nih, anak. Bilang aja kere! 

Selesai bersiap dan makan kami bertiga  bergegas ke terminal keberangkatan Bus Kota. Sesampainya, kami lalu naik Bus Kota jurusan Tunjungan Plaza. Lagi-lagi mendapat kursi di bagian depan. Kami duduk dan tak berapa lama kemudian, silih berganti pedagang asongan masuk menjajakan jualannya. Mulai dari jualan suara alias ngamen, buku-buku mewarnai untuk anak, buku-buku tutorial hijab, pulpen warna-warni, kancing celana denim, sampai sabuk celana yang harganya murah meriah hanya Rp. 10.000. Sayangnya aku tak membeli sesuatupun dari mereka.
Sesaat setelah mereka mempromosikan jualannya, pukul 07.49Damri yang mengangkut kami pun beringsut meninggalkan terminal yang ramainya tak berujung ini. Dengan membayar karcis Rp.6000x3= Rp. 18.000, kami bertiga diantar dengan selamat dan turun di sebelah jembatan penyeberangan yang tak jauh dari Tunjungan Plaza. Dan tahukah, bahwa hatiku semakin penasaran, apa saja yang hendak Tuhan hidangkan padaku setelah ini?
 

[1] aduh, susah ngejelasinnya. yang tau, bantu, ya?!!!

Jumat, 23 Januari 2015

Menyerahlah

Wahai Amarah, menyerahlah engkau!
Serupa tawanan perang di padang pasir di bawah terik kemenangan lawan. Menyerahlah dengan pasrah, serupa kepasrahan burung yang terjatuh saat terbang lantaran sayapnya telah rapuh mengepak di angkasa luas.
Wahai Amarah, mengalahlah engkau!
Serupa mendung awan tebal yang menurunkan hujan, mengalah pada bumi yang kering meranggas. Mengalahlah dengan kelapangan jiwa, seumpama perahu kecil yang mengalah pada ombak yang berdebur dengan gelombangnya yang besar.
Wahai, Amarah, pejamkan gegas matamu! Karamkan perahu-perahu angkuhmu ke palung samudera terdalam. Pejamkan segera matamu, karena senja telah berakhir dan malam tak boleh dilalui dengan amarah; sebab malam diciptakan hanya bagi jiwa yang pasrah karena lelah mengembara.
Wahai, Amarah, menyerahlah!

Minggu, 04 Januari 2015

Namaku Mizan

Namaku Mizan. Hhh... Ini hari ketiga di tahun 2015. Tahun baru yang sungguh nyaris sepi. Saat teman-temanku merayakan tahun baru, aku tak beranjak sama sekali dari ruang kosong bernama Sepi ini. Betapa teganya pihak-pihak yang melemparkanku ke sudut terpencil ini! Tega!

Aku menamai ruang kosong ini dengan Sepi sebab segala hal yang di ruang ini nyaris tak berwarna. Pintu kosanku sepi, tak ada seoranpun yang mengetuk. Jendela kosanku sepi, saat membukanya aku hanya melihat jemuran pakaian dalam usang milik tetangga yang dijemur di loteng rumahnya. Lemari esku sepi, tak ada makanan yang membuatku berselera untuk melahapnya. Dan... Ponselku sepi, tak ada seorangpun yang menghubungiku. Termasuk dia.

Namanya Alya. Dia pacarku. Hubunganku dengannya sudah masuk bulan ketiga. Hampir dua minggu belakangan ini dia menghilang dari peredaran tanpa sedikitpun kabar yang kuterima, ponselnya tidak aktif dan saat kukunjungi dia ke tempat kuliah atau kosannya dia selalu mengindar dengan beragam alasan, sibuklah, manipadilah, ada janji dengan anulah. Ok, fine!

Kurasa dia sosok yang berbeda dari gadis kebanyakan. Beda karena tanpa kutahu mengapa aku memperlakukannya sebagai seorang yang sangat kubutuhkan, aku selalu menghubungi dia duluan, mengajaknya kencan duluan, dan ini bukan hal yang biasa kulakukan pada perempuan. Maaf, bukan aku bermaksud sombong, aku termasuk pribadi yang senang berkawan, bersosial, sekalipun aku seorang kutu buku. Dan yang perlu digarisbawahi, aku memiliki wajah tampan dan postur tubuh yang sangat ideal. Ini testimoni banyak orang, lho. Sebab itulah aku dikejar banyak cewek di kampus, mereka bilang cinta, aku iyakan saja.  Tapi ingat, aku bukan tipe peselingkuh. Saat hubunganku dengan seseorang mengindikasikan akan putus, selalu saja ada pengganti yang datang. Ini seolah-olah menjadi hal yang absolut dalam hidupku. Aneh, memang. Tapi ini nyata!

Aku merasa dia berubah saat aku sibuk menjadi anggota tim relawan bencana banjir yang kemarin terjadi di kota Jember yang merendam 4 desa 2 kecamatan. Bersama tim relawan yang juga sebagian perempuan kami menjadi teman bagi korban banjir yang masih di usia sekolah dengan cara mengajak mereka membaca buku-buku cerita yang kami bawa ke lokasi pengungsian korban banjir, setidaknya ini upaya untuk meringankan beban psikologis anak-anak disana.

Jarum jam menunjukkan pukul 00:45 WIB. Hhh...
Aku menghela napas dalam-dalam. Tulang-tulangku rasanya akan remuk akibat lelah dari pengungsian korban banjir sehari tadi. Sepertinya aku harus tidur. Aku mencoba memejamkan mata yang mulai berat mengantuk.

Ting tung. Ting tung. 1 New Message.

Aku membuka kembali mataku. Pesan singkat dari Roni. Kubuka segera.

“Mizan, elo udah tidur? Sori ya, gue ga ada maksud apa, kok. Cuma mau bilang, barusan gue ngeliat Alya masuk ke mobil keren sama cowok model Om-om gitu. Ini gue lampirin fotonya.”

Aku segera bangkit dari tidurku, mengucek-ngucek mata dan tak percaya atas foto yang kulihat, seorang gadis berpenampilan seksi tampak dari depan dirangkul oleh seorang lelaki berjas hitam.

Baiklah. Aku tak peduli lagi. Aku ngantuk, mau tidur. Kemudian, malam itu berakhir dengan tidur lelapku.
#

Hhh... Ini hari keempat di tahun 2015. Segala puji bagi Tuhan yang masih memberiku napas untuk bertahan hidup. Waktu berjalan begitu cepat. Aku pernah membaca sebuah buku, katanya, kecepatan waktu berjalan seumpama panah yang meluncur dari busurnya. Secepat itukah? Aku juga sulit membayangkannya. Aku sudah tua. Usiaku kini 22 tahun, dan setelah ini waktu akan terus berlalu semakin cepat. Alya, dan atau siapapun sekaligus absolutely-nya. Bullshit! Aku kini tak peduli lagi.  Untuk sementara aku akan keluar dari keabsolutan itu dan menyejajarkan langkahku dengan Sang Waktu, mengubah diri menjadi pribadi yang semakin sibuk mempersiapkan segala sesuatu yang dapat menjadi bekal di waktu-waktu mendatang. Selamat tinggal, Sepi...
(Flash Fiction ini ditulis dalam rangka memenuhi tantangan Penerbit Mizan di Twitter @PenerbitMizan. Hehee)